Adinda Hasna Sheleisya, Semester 2 S2 IPAI FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia. Lentera24.com Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki pera...
Lentera24.com Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peran vital dalam membentuk karakter dan kepribadian peserta didik. Tujuan utamanya bukan sekadar mentransfer pengetahuan keislaman, melainkan juga menanamkan nilai - nilai spiritual, moral, dan sosial dalam diri siswa. Sayangnya, dalam praktik pembelajaran di sekolah, asesmen PAI masih kerap terjebak dalam pengukuran kognitif semata. Ujian tertulis, hafalan materi, dan soal pilihan ganda menjadi wajah utama evaluasi, seolah keberhasilan siswa diukur dari seberapa banyak informasi yang dapat mereka ingat.
Disinilah urgensi transformasi asesmen PAI menjadi relevan. Kita perlu bergerak dari paradigma lama yang hanya menguji ilmu, menuju pendekatan baru yang juga menguji nilai. Yakni, nilai- nilai Islam yang telah diajarkan apakah benar - benar menjiwai perilaku siswa dalam kehidupan nyata.
Asesmen PAI: Mengapa Harus Diubah?
Kurikulum Merdeka, sebagaimana kurikulum sebelumnya, menekankan pentingnya capaian pembelajaran yang holistik mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam.konteks PAI, ketiga ranah ini seharusnya tidak bisa dipisahkan. Misalnya, ketika seorang siswa mempelajari rukun iman, ia tidak hanya dituntut memahami maknanya (kognitif), tetapi juga menunjukkan keyakinan yang kokoh (afektif), serta perilaku yang mencerminkan imannya dalam keseharian (psikomotorik).
Namun dalam praktiknya, asesmen seringkali tidak menggambarkan kompleksitas ini. Banyak guru yang masih terpaku pada bentuk evaluasi kognitif seperti ujian akhir semester atau tugas tertulis. Nilai siswa akhirnya hanya menjadi angka statistik, bukan cerminan dari perubahan sikap atau peningkatan kualitas diri.
Transformasi asesmen bukan berarti mengabaikan aspek pengetahuan, melainkan menempatkannya dalam konteks yang lebih luas. Yakni, bagaimana ilmu itu mampu mengubah cara berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan ajaran Islam.
Nilai-Nilai Islam: Bisakah Diukur?
Salah satu tantangan terbesar dalam asesmen PAI adalah mengukur aspek afektif dan spiritual. Bagaimana cara menilai ketulusan seseorang dalam berdoa?Bagaimana membedakan antara siswa yang benar-benar ikhlas bersedekah dan yang melakukannya sekadar menggugurkan tugas?
Memang, nilai-nilai seperti kejujuran, disiplin, empati, atau ketakwaan tidak bisa diukur secara objektif seperti menjawab soal pilihan ganda. Tapi bukan berarti tidak bisa dinilai sama sekali. Disinilah peran penting pendekatan authentic assessment atau asesmen autentik, yaitu menilai kompetensi melalui aktivitas nyata yang relevan dengan dunia kehidupan siswa.
Beberapa strategi yang bisa diterapkan guru PAI untuk menilai nilai-nilai Islam secara lebih bermakna antara lain:
Observasi perilaku harian siswa, baik didalam maupun diluar kelas. Guru bisa membuat catatan atau checklist sederhana untuk memantau konsistensi perilaku siswa, seperti kehadiran salat berjamaah, kepedulian terhadap teman, atau penggunaan bahasa yang sopan.
Penugasan berbasis proyek keagamaan, seperti membuat jurnal ibadah harian, mengorganisir kegiatan keagamaan disekolah, atau membuat konten dakwah digital. Dari sini, guru tidak hanya menilai produk akhirnya, tetapi juga proses, partisipasi, dan nilai- nilai yang tercermin selama pengerjaannya.
Refleksi diri dan penilaian teman sebaya, yaitu memberi ruang bagi siswa untuk menilai diri mereka sendiri dan temannya secara jujur dan terbimbing. Metode ini menumbuhkan kesadaran diri (self-awareness) dan rasa tanggung jawab moral.
Portofolio keagamaan, di mana siswa mengumpulkan bukti-bukti kegiatan keagamaan mereka selama satu semester. Portofolio ini bisa berupa dokumentasi foto, video, tulisan reflektif, atau surat keterangan partisipasi.
Peran Guru: Dari Penilai Menjadi Pembimbing Moral
Transformasi asesmen PAI tidak akan terjadi tanpa perubahan cara pandang guru. Guru PAI tidak lagi cukup menjadi “penguji ilmu agama”, tetapi juga harus menjadi pembimbing nilai, pelatih karakter, dan teladan nyata dalam kehidupan beragama.
Asesmen bukan sekadar mencari siapa yang paling tahu, tetapi siapa yang paling berusaha mengamalkan. Oleh karena itu, guru harus membangun relasi yang erat dan empatik dengan siswa, agar bisa menilai dengan adil dan mendalam. Penilaian yang bersifat kualitatif membutuhkan keterlibatan emosional dan pemahaman kontekstual terhadap setiap siswa.
Guru juga perlu didukung oleh pelatihan dan perangkat asesmen yang memadai. Banyak guru PAI mengeluhkan kurangnya pedoman yang konkret dalam menilai aspek afektif. Maka, diperlukan modul, rubrik, dan contoh asesmen yang dapat diterapkan dengan mudah, tanpa membebani administrasi guru.
Tantangan dan Solusi Implementasi
Tentu, ada beberapa tantangan dalam menerapkan asesmen nilai dalam PAI, seperti:
Subjektivitas dalam penilaian, yang bisa menimbulkan bias.
Keterbatasan waktu dan jumlah siswa yang banyak, membuat observasi perilaku jadi sulit dilakukan secara konsisten.
Kurangnya literasi guru terhadap model-model asesmen alternatif.
Solusinya bukan menyerah, tetapi beradaptasi. Pendekatan kolaboratif bisa menjadi jalan keluar. Misalnya, melibatkan guru BK atau wali kelas dalam menilai perkembangan spiritual siswa, atau menggunakan aplikasi sederhana untuk pelaporan kegiatan keagamaan harian. Selain itu, pelatihan asesmen berbasis nilai perlu diintensifkan, terutama untuk guru-guru baru yang belum memiliki pengalaman panjang dalam pendidikan karakter Islam.
Arah Baru: Asesmen sebagai Proses, Bukan Hanya Hasil
Pada akhirnya, transformasi asesmen PAI harus memandang penilaian sebagai proses pembinaan, bukan hanya pengumpulan data. Dalam Islam, amal dinilai bukan hanya dari hasilnya, tetapi juga dari niat, usaha, dan keikhlasan. Maka, asesmen PAI juga harus mengedepankan proses pembentukan nilai yang terus-menerus — bukan sekadar hasil ujian akhir.
Dengan demikian, kita bisa membentuk generasi yang tidak hanya tahu tentang agama, tetapi juga menghidupinya dalam tindakan nyata. Generasi yang tidak sekadar cerdas secara spiritual, tetapi juga matang secara moral.
Penutup
Asesmen dalam Pendidikan Agama Islam tidak boleh berhenti pada pengukuran ilmu, tetapi harus menembus ranah nilai. Melalui pendekatan yang lebih otentik, reflektif, dan kontekstual, asesmen dapat menjadi bagian dari. proses pembentukan manusia seutuhnya yang berpikir benar, merasa benar, dan bertindak benar.
Jika pendidikan adalah proses menanam, maka asesmen PAI adalah proses memastikan benih iman dan akhlak itu tumbuh dengan subur. Maka, mari kita ubah paradigma penilaian dari sekadar mengejar angka menjadi menumbuhkan makna.***