HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Dukungan Psikososial: Pilar Tak Terlihat dalam Pemulihan Korban Bencana Alam

Zahra Syahidatul Insani, Mahasiswi Semester 2 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon  Lent...

Zahra Syahidatul Insani, Mahasiswi Semester 2 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon 


Lentera24.com + Bencana alam tidak hanya mengakibatkan kerusakan fisik seperti bangunan yang runtuh atau infrastruktur yang rusak, tetapi juga menimbulkan luka batin yang sering kali tidak terlihat dan tidak disadari. Dikutip dalam "Buku Saku Kesehatan Jiwa dan Dukungan Psikososial dalam Situasi Darurat Bencana" yang diterbitkan oleh Konsorsium Locally Led Disaster Preparedness and Protection (LLDPP) Plan Indonesia pada tahun 2022 menyebutkan betapa kompleksnya dampak yang ditimbulkan oleh keadaan darurat bencana terhadap individu.


Lebih dari sekadar kerugian materi, bencana dapat memicu serangkaian respons psikologis yang mendalam. Buku ini menjelaskan bahwa pada fase awal pascabencana, para penyintas berada dalam kondisi yang sangat rentan. Mereka tak hanya berpotensi mengalami depresi berat, tetapi juga dihantui oleh rasa bersalah yang melumpuhkan, terutama jika merasa gagal melindungi orang-orang terkasih. Di tengah kekacauan, kebutuhan mendesak untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan keluarga menjadi prioritas utama. Sementara itu, anak-anak yang terpisah dari pengasuhnya menunjukkan kemunduran dalam perilaku (regresi) dan berbagai gejala stres pascatrauma yang mengkhawatirkan.


Luka batin atau dampak psikologis ini dapat berdampak jangka panjang bagi para penyintas bencana alam. Akan tetapi dalam situasi darurat, kebutuhan psikologis sering kali kurang mendapatkan perhatian karena fokus utama biasanya tertuju pada pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, obat-obatan, dan tempat tinggal. Padahal tanpa pemulihan psikologis yang memadai, proses pemulihan korban dapat menjadi lebih berat dan memakan waktu lebih lama.


Dukungan psikososial merupakan upaya yang bertujuan untuk mengurangi tekanan emosional, memperkuat ketahanan mental, serta membantu korban membangun kembali hubungan sosial yang terganggu akibat bencana. Contohnya dalam penanganan pasca-erupsi Gunung Sinabung dikutip dari penelitian Nasution & Sembiring pada tahun 2022, perhatian tidak hanya diberikan pada kebutuhan fisik, tetapi juga pada aspek psikologis dan sosial para penyintas. Dengan demikian, pemulihan yang efektif harus bersifat komprehensif dan melibatkan seluruh aspek kehidupan korban.


Agar pemulihan pascabencana berhasil dan berdampak secara holistik, diperlukan kolaborasi pentahelix, yaitu sinergi antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media. Pendekatan ini penting agar dukungan psikososial dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang terdampak.


Respons Psikologis Pasca Bencana itu Normal

Reaksi-reaksi terhadap keadaan darurat tersebut adalah respons normal terhadap kesusahan dan pengalaman traumatis dan akan mereda seiring waktu. Situasi krisis atau bencana akan berdampak berbeda untuk setiap orang: sebagian orang membutuhkan dukungan untuk pulih dalam jangka pendek, sementara sebagian lain membutuhkan dukungan yang lebih lama. Pemahaman bahwa reaksi psikologis pascabencana adalah hal yang normal perlu ditekankan dalam bantuan psikososial. Hal ini dapat mengurangi stigma dan mendorong individu untuk mencari bantuan tanpa merasa malu atau dianggap lemah.


Apa Saja Komponen Dukungan Psikososial?

Dukungan psikososial mencakup berbagai kegiatan, mulai dari trauma healing, pemberian hiburan, pembinaan mental secara psikologis, penguatan mental berbasis keagamaan, hingga edukasi dan penyebaran informasi yang membantu korban memahami kondisi mereka. Contohnya, pada korban erupsi Gunung Sinabung, penanganan yang dilakukan meliputi pemenuhan kebutuhan fisik, psikis, dan sosial secara terpadu. Hal ini selaras dengan studi oleh Nasution & Sembiring (2022) yang menyoroti bahwa korban mendapatkan bantuan fisik (makanan, pakaian, tempat tinggal, layanan kesehatan), psikis (trauma healing, pembinaan mental, penguatan keagamaan), dan sosial (kunjungan tamu, kegiatan sosial) untuk memulihkan kondisi mereka.


Menurut Buku Saku Kesehatan Jiwa dan Dukungan Psikososial, dalam situasi darurat bencana, dukungan psikososial adalah segala jenis dukungan yang bertujuan untuk melindungi atau mempromosikan kesejahteraan psikososial dan mencegah atau menangani gangguan mental. Penting untuk dicatat bahwa dukungan psikososial bukan hanya tentang penanganan krisis, tetapi juga tentang promosi kesejahteraan jangka panjang. Program-program yang membangun ketahanan komunitas dan memperkuat jaringan sosial memiliki peran penting dalam pemulihan pascabencana.


Dalam praktiknya, dukungan psikososial dapat berupa pendampingan langsung kepada korban, baik secara individu maupun kelompok. Kegiatan seperti terapi bermain (play therapy) dan motivasi diri (self motivation) juga digunakan untuk membantu pemulihan psikis penyintas bencana. Selain itu, pelibatan keluarga sangat penting, terutama bagi keluarga yang kehilangan anggota inti, agar fungsi keluarga dapat pulih dan korban mendapatkan dukungan sosial yang memadai.


Psychological First Aid (PFA)

Salah satu metode yang diakui secara internasional untuk memberikan dukungan psikologis awal adalah Psychological First Aid (PFA). PFA dirancang untuk membantu individu yang mengalami stres akut akibat bencana atau krisis dengan memberikan dukungan emosional dan praktis tanpa menghakimi. Tujuannya adalah mengurangi stres dan membantu individu merasa aman serta didukung.


Berdasarkan panduan dari WHO (World Health Organization) yang diterjemahkan oleh Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, prinsip utama PFA terdiri dari tiga langkah: Lihat, Dengar, dan Hubungkan. Pertama, “Lihat” berarti mengamati kondisi korban apakah mereka membutuhkan penanganan kesehatan fisik atau psikologis, serta memberikan rasa nyaman dan aman agar korban lebih tenang. Kedua, “Dengar” menekankan pentingnya mendekati korban dengan suara lembut dan tenang, serta menghargai jika korban tidak ingin berbicara. Ketiga, “Hubungkan” adalah membantu korban mendapatkan akses terhadap layanan dasar seperti air bersih, memberikan informasi yang jujur, dan menghubungkan mereka dengan keluarga atau orang terdekat sebagai sumber dukungan sosial.


Dalam konteks PFA, sangat penting untuk memahami bahwa dalam situasi darurat bencana, orang mungkin mengalami dampak emosional, spiritual, sosial, dan fisik yang kompleks. PFA adalah alat yang sangat berharga untuk memberikan dukungan awal, tetapi pelaksanaannya memerlukan pelatihan yang memadai. Relawan dan petugas lapangan perlu dibekali dengan keterampilan untuk mengenali tanda-tanda stres akut dan memberikan respons yang tepat.


Tantangan dalam Pelaksanaan Dukungan Psikososial

Meskipun penting, realita pelaksanaan dukungan psikososial di lapangan masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan tenaga terlatih yang mampu memberikan bantuan psikologis secara efektif. Dalam Kurikulum Diklat Dukungan Psikososial yang diterbitkan oleh BNPB pada tahun 2020, ditekankan pentingnya pelatihan bagi relawan agar memiliki keterampilan dasar seperti mendengarkan secara aktif, memberikan rasa aman, dan membantu korban mengelola emosi. Tanpa pelatihan yang memadai, bantuan yang diberikan berisiko kurang efektif bahkan dapat memperburuk kondisi psikologis korban. Studi kasus erupsi Gunung Sinabung juga mencatat adanya keterbatasan tenaga kesehatan, obat-obatan, dan fasilitas yang memadai dibandingkan jumlah korban yang membutuhkan bantuan (Nasution & Sembiring, 2022).


Dalam konteks ini, penting untuk ditekankan pemahaman pekerja kemanusiaan dan aktor perlindungan mengenai implikasi psikososial dari tindakan mereka selama fase pemulihan dalam menangani penyintas bencana alam. Investasi pada pelatihan dan pengembangan kapasitas tenaga psikososial adalah kunci untuk meningkatkan kualitas layanan. Selain itu, supervisi dan dukungan berkelanjutan bagi para pekerja lapangan juga penting untuk mencegah burnout dan memastikan praktik yang etis.


Selain itu, stigma sosial terhadap masalah kesehatan mental juga menjadi hambatan besar. Banyak korban yang enggan mencari bantuan psikososial karena takut dianggap lemah atau berbeda. Stigma ini justru memperberat beban mental mereka dan memperlambat proses pemulihan. Oleh karena itu, penting untuk membangun kesadaran di masyarakat bahwa menjaga kesehatan mental adalah bagian keseluruhan dari pemulihan pascabencana.


Peran Kolaborasi Lintas Sektor

Kolaborasi antar berbagai pihak sangat diperlukan dalam mendukung layanan psikososial. Pemerintah harus menyediakan regulasi dan anggaran yang memadai untuk mendukung layanan ini. Akademisi dapat berkontribusi melalui penelitian yang berbasis bukti guna mengembangkan metode dukungan yang efektif. Dunia usaha dapat membantu melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang fokus pada pemulihan psikososial. Komunitas lokal berperan sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan bantuan di lapangan, sementara media memiliki peran strategis dalam meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya dukungan psikososial. 


Dalam kegiatan kebutuhan psikososial, penting untuk menganalisis sumber daya dan kemampuan yang ada, serta menentukan bersama-sama dengan penyintas tentang kesenjangan dan kebutuhan dukungan. Kolaborasi pentahelix adalah model yang ideal, tetapi implementasinya sering kali menghadapi tantangan. Perlu ada mekanisme yang jelas untuk pembagian peran dan tanggung jawab antar sektor serta eksekusinya di lapangan.


Kesimpulan


Pada akhirnya, pemulihan pascabencana bukan hanya soal membangun kembali infrastruktur atau bangunan fisik yang rusak, tetapi juga tentang sesuatu yang tidak terlihat: yaitu penyembuhan luka batin dan pemulihan psikologis para korban. Dukungan psikososial menjadi salah satu pilar penting dalam proses ini. Dengan perhatian yang menyeluruh terhadap kebutuhan fisik dan psikologis, para penyintas dapat lebih cepat pulih dan kembali menjalani kehidupan dengan semangat baru. Oleh karena itu, dukungan psikososial harus menjadi bagian utama dari setiap upaya penanganan bencana agar pemulihan dapat berjalan secara menyeluruh dan efektif.


Penting untuk diingat bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam menanggapi situasi darurat memiliki keterlibatan psikososial selama pemulihan. Pemulihan pascabencana adalah proses yang kompleks dan multidimensional. Dukungan psikososial harus diintegrasikan ke dalam semua aspek penanganan bencana, mulai dari kesiapsiagaan hingga rehabilitasi, untuk memastikan pemulihan yang holistik dan berkelanjutan.***