Bildan Muhammad Sya'ban, Saepul Anwar Semester 2 (S2) Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Pendidikan Indonesia Lentera24.co...
Universitas Pendidikan Indonesia
Lentera24.com -Pendidikan Agama Islam (PAI) tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan kognitif peserta didik tentang ajaran Islam, tetapi lebih jauh lagi untuk membentuk akhlak mulia dan karakter yang sejalan dengan nilai-nilai keislaman. Oleh karena itu, ranah afektif dalam pembelajaran PAI memiliki posisi yang sangat strategis. Namun, ketika berbicara tentang assessment afektif, tantangan besar segera muncul: bagaimana menilai sesuatu yang bersifat batiniah, dinamis, dan seringkali tidak kasat mata?
Idealnya, assessment afektif dalam PAI dirancang untuk mengukur sejauh mana peserta didik menginternalisasi nilai-nilai Islam dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Akan tetapi, dalam praktiknya, assessment ini seringkali tergelincir menjadi formalitas semata atau bahkan diabaikan karena dianggap sulit dan subjektif. Artikel ini mencoba mengulas secara kritis antara ideal dan realita assessment afektif dalam pembelajaran PAI, disertai rujukan dari berbagai kajian akademik dan praktik pendidikan.
Idealita dan Realita di Lapangan
Dalam kerangka teoritis, assessment afektif adalah proses sistematis untuk mengukur sikap, nilai, minat, motivasi, dan karakter peserta didik (Krathwohl, Bloom, & Masia, 1964). Assessment ini meliputi penilaian terhadap bagaimana peserta didik menunjukkan nilai keislaman dalam perilaku nyata, bukan sekadar hafalan atau pemahaman teoretis.
Menurut Hamalik (2015), keberhasilan pendidikan agama sangat tergantung pada transformasi nilai menjadi sikap hidup. Oleh sebab itu, assessment afektif idealnya meliputi:
1. Observasi perilaku nyata di dalam dan di luar kelas,
2. Refleksi diri yang mendalam dari peserta didik,
3. Penilaian berbasis proyek yang menuntut aksi nyata berdasarkan nilai agama,
4. Peer assessment atau penilaian antar teman sejawat untuk meningkatkan obyektivitas.
Dalam kurikulum nasional, khususnya Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka, peran ranah afektif bahkan ditegaskan melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yang berupaya menanamkan nilai religiusitas dalam bentuk tindakan nyata (Kemendikbud, 2022). Dengan demikian, idealnya assessment afektif dalam PAI bukan hanya soal "nilai ujian", melainkan menjadi roh dari seluruh proses pendidikan agama itu sendiri.
Namun, realita di lapangan menunjukkan gambaran yang berbeda. Berdasarkan penelitian oleh Nurhadi (2021) di beberapa sekolah di Indonesia, assessment afektif dalam PAI sering dilakukan dengan cara yang sangat subjektif dan seadanya. Banyak guru yang hanya mengandalkan impresi pribadi tanpa instrumen yang valid dan reliabel.
Beberapa realita yang umum terjadi di lapangan antara lain:
1. Penilaian bersifat formalitas: Banyak guru hanya mengisi nilai sikap berdasarkan "feeling" atau pengamatan sepintas tanpa bukti autentik.
2. Tidak ada rubrik penilaian yang jelas: Sehingga nilai afektif cenderung bias dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
3. Kesulitan membedakan perilaku asli dan perilaku "pencitraan" peserta didik di depan guru.
4. Waktu yang terbatas: Guru PAI yang menangani banyak kelas mengaku tidak punya cukup waktu untuk melakukan observasi mendalam terhadap masing-masing peserta didik (Rahmatullah, 2020).
5. Tidak sedikit peserta didik merasa assessment afektif hanyalah "pelengkap" yang tidak mempengaruhi nilai akhir secara signifikan. Ini membuat proses pembinaan karakter kehilangan urgensinya dalam persepsi peserta didik.
Tantangan-Tantangan Assessment Afektif dalam Pembelajaran PAI
Meski di atas kertas assessment afektif tampak sangat ideal, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penerapannya menghadapi berbagai tantangan serius. Salah satu persoalan utama adalah tingginya tingkat subjektivitas dalam proses penilaian. Karena ranah afektif berkaitan dengan sikap, nilai, dan perasaan batiniah peserta didik, penilaian yang dilakukan guru sering kali bergantung pada kesan pribadi yang sulit diukur secara objektif (Nurhadi, 2021). Akibatnya, nilai afektif kerap kali menjadi bias, tidak konsisten, dan sulit untuk dipertanggungjawabkan secara akademik.
Di samping itu, keterbatasan instrumen penilaian menjadi hambatan nyata. Banyak guru belum akrab dengan penggunaan alat ukur seperti rubrik sikap, checklist perilaku, atau jurnal refleksi, sehingga assessment afektif cenderung dilakukan secara tidak sistematis dan hanya berdasarkan persepsi umum (Rahmatullah, 2020). Ketidaktersediaan instrumen valid dan reliabel ini memperlemah kredibilitas hasil assessment, bahkan membuatnya sekadar formalitas.
Tantangan lain yang tidak kalah pelik adalah dilema antara fungsi guru sebagai pembina sekaligus penilai. Di satu sisi, guru diharapkan melakukan penilaian sikap secara jujur dan objektif. Namun di sisi lain, guru juga merasa bertanggung jawab untuk membina dan mendorong perubahan positif pada diri peserta didik. Ketegangan antara fungsi pembinaan dan fungsi evaluasi ini sering kali menyebabkan guru ragu dalam memberikan penilaian yang sebenarnya, apalagi jika peserta didik cenderung memperlihatkan perilaku baik hanya saat momen penilaian berlangsung (Slamet, 2019).
Selain itu, inkonsistensi perilaku peserta didik di berbagai konteks turut memperumit pelaksanaan assessment afektif. Tidak jarang ditemukan peserta didik yang menunjukkan sikap religius dan santun di lingkungan sekolah, namun bersikap sebaliknya di luar pengawasan guru. Fenomena ini menyulitkan guru dalam memastikan bahwa nilai afektif yang diukur benar-benar mencerminkan karakter sejati peserta didik (Rahmatullah, 2020).
Tidak kalah penting, keterbatasan waktu dan beban administrasi guru juga menjadi faktor signifikan. Dengan jumlah peserta didik yang banyak di setiap kelas, mustahil bagi guru untuk melakukan observasi mendalam terhadap semua siswa secara berkelanjutan (Nurhadi, 2021). Situasi ini diperparah oleh minimnya pelatihan teknis mengenai assessment afektif. Banyak guru PAI belum mendapatkan bekal yang cukup untuk merancang dan mengimplementasikan penilaian afektif yang terstruktur dan profesional (Slamet, 2019).
Dengan berbagai tantangan tersebut, assessment afektif dalam pembelajaran PAI kerap kali terpinggirkan dalam praktik nyata. Ia lebih sering dijalankan sekadar untuk memenuhi tuntutan administratif ketimbang menjadi bagian integral dalam pembentukan karakter peserta didik secara autentik.
Upaya Membumikan Assessment Afektif dalam Pembelajaran PAI
Menghadapi kompleksitas tantangan tersebut, assessment afektif dalam pembelajaran PAI tidak boleh dibiarkan stagnan. Sebaliknya, perlu ada upaya serius untuk membumikan assessment ini agar benar-benar mampu mengukur internalisasi nilai-nilai keislaman dalam diri peserta didik. Salah satu langkah utama adalah dengan mengembangkan instrumen penilaian yang sistematis dan berbasis indikator perilaku nyata. Guru PAI perlu membangun rubrik sikap yang rinci, misalnya dalam aspek kejujuran, tanggung jawab, atau empati, sehingga penilaian tidak lagi bergantung pada kesan subjektif belaka (Hamalik, 2015). Instrumen seperti skala sikap, jurnal refleksi, hingga format observasi berbasis kegiatan nyata harus mulai menjadi bagian integral dari proses pembelajaran.
Selain itu, penting untuk melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses assessment, baik melalui penilaian diri (self-assessment) maupun penilaian antar teman (peer-assessment). Pendekatan ini tidak hanya memperkaya sudut pandang penilaian, tetapi juga melatih peserta didik untuk lebih reflektif terhadap sikap dan perilaku mereka sendiri (Krathwohl et al., 1964). Dalam konteks ini, assessment menjadi bukan hanya alat ukur, melainkan juga media pembelajaran karakter itu sendiri.
Integrasi assessment afektif dalam aktivitas berbasis proyek atau aksi nyata juga perlu diperkuat. Misalnya, guru dapat merancang proyek kebaikan sosial, kegiatan dakwah kecil, atau kampanye nilai kejujuran di lingkungan sekolah. Assessment terhadap keterlibatan dan kesungguhan peserta didik dalam proyek tersebut jauh lebih otentik dibandingkan sekadar menilai melalui pengamatan kelas biasa (Kemendikbud, 2022). Dengan pendekatan berbasis pengalaman langsung, nilai-nilai Islam tidak hanya diajarkan, tetapi juga dihidupkan melalui tindakan.
Di sisi lain, peningkatan kapasitas guru PAI menjadi prasyarat penting. Pelatihan tentang teknik assessment afektif berbasis autentik perlu diperbanyak, baik melalui workshop, bimbingan teknis, maupun program pengembangan profesional berkelanjutan (Slamet, 2019). Guru tidak cukup hanya memahami teori, tetapi harus dibekali keterampilan praktis untuk menerapkan assessment yang valid, reliabel, dan inspiratif.
Upaya membumikan assessment afektif juga perlu disertai dengan reposisi perannya dalam sistem penilaian sekolah. Penilaian sikap seharusnya tidak dianggap sebagai pelengkap administratif semata, tetapi menjadi bagian penting yang berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik secara keseluruhan. Dengan memberikan bobot yang proporsional dalam penilaian akhir, peserta didik akan memandang sikap dan karakter sebagai bagian integral dari keberhasilan akademik mereka, bukan sekadar formalitas.
Melalui serangkaian langkah tersebut, diharapkan assessment afektif dalam pembelajaran PAI tidak lagi menjadi cita-cita kosong, melainkan menjelma menjadi proses nyata yang membentuk karakter generasi Muslim yang beriman, berakhlak mulia, dan siap berkontribusi positif di tengah masyarakat.***