Oleh: Ismha Mardhati Mahasiswi Semester 3, Program StudI Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Maritim Raja ...
Lentera24.com - Kepulauan Riau (Kepri) sering disebut sebagai “surga wisata” karena keindahan alamnya yang memikat dan menawarkan destinasi wisata yang eksotis di Indonesia. Kawasan ini terkenal dengan pantai-pantai yang menawan, pulau-pulau yang subur, serta budaya yang kaya. Namun, di balik pesona wisata yang memukau, terdapat sebuah ironi kelam yang tidak bisa diabaikan. Kepri, yang menjadi jantung dari sektor pariwisata Indonesia, juga dikenal sebagai salah satu pintu masuk utama perdagangan manusia (TPPO) di Asia Tenggara. Fenomena ini membuka mata kita bahwa Kepri bukan hanya tempat wisata yang menjanjikan, tetapi juga menjadi tempat terjadinya tragedi kemanusiaan yang begitu serius.
Isu perdagangan manusia di Kepulauan Riau bukanlah hal yang baru. Isu ini mengungkapkan betapa lemahnya penegakan hukum, serta celah besar dalam penerapan hukum internasional, terutama United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Penegakan hukum yang lemah ini membuka kesempatan bagi para pelaku kejahatan untuk memanfaatkan jalur perairan yang strategis, termasuk di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, sebagai tempat untuk menjalankan aktivitas ilegal seperti perdagangan manusia. Seiring dengan pesatnya pembangunan pariwisata, semakin meningkat pula jumlah korban perdagangan manusia yang diperdagangkan melalui wilayah ini.
Paradoks di Kepulauan Riau: Antara Wisata dan Kejahatan Kemanusiaan
Kepulauan Riau memiliki posisi yang sangat strategis di jalur perairan internasional, khususnya Selat Malaka yang menghubungkan Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Letak geografis Kepri yang berdekatan dengan negara-negara tetangga menjadikannya kawasan transit yang ideal untuk berbagai aktivitas ekonomi, baik yang sah maupun ilegal. Tidak hanya menjadi jalur perdagangan barang dan manusia, Selat Malaka juga menjadi jalur utama bagi kapal-kapal yang terlibat dalam perdagangan manusia.
Menurut data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kepulauan Riau, pada periode Januari hingga Oktober 2024, tercatat sekitar 450 orang menjadi korban perdagangan orang (TPPO), dan 2.036 orang lainnya dideportasi kembali ke negara asal mereka. Statistik ini menunjukkan bahwa Kepri adalah salah satu wilayah dengan jumlah korban TPPO tertinggi di Indonesia. Sebagian besar korban adalah kelompok rentan, seperti pekerja migran, perempuan, dan anak-anak, yang terjebak dalam jebakan perdagangan manusia yang mengerikan. Banyak dari mereka dijanjikan pekerjaan yang layak di luar negeri, tetapi justru diperdagangkan dan dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Pelanggaran Hukum Internasional di Laut Kepulauan Riau
UNCLOS, sebagai kerangka hukum internasional yang diadopsi oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah mengatur sejumlah ketentuan yang bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dan mencegah kegiatan ilegal di perairan internasional. Namun, meskipun ada regulasi yang cukup jelas dalam UNCLOS, kenyataannya pelaksanaan di lapangan masih sangat jauh dari harapan. Kepulauan Riau, yang seharusnya dilindungi oleh hukum internasional, justru menjadi tempat berkembangnya praktik perdagangan manusia, yang jelas-jelas melanggar berbagai pasal yang diatur dalam UNCLOS.
1. Pelanggaran Pasal 99 UNCLOS
Pasal 99 UNCLOS secara tegas melarang segala bentuk perbudakan dan perdagangan manusia di laut. Hal ini mencakup larangan terhadap transportasi budak dan korban perdagangan manusia melalui jalur laut. Namun, dalam kasus perdagangan manusia di Kepulauan Riau, pelaku seringkali memanfaatkan jalur laut untuk mengangkut korban tanpa izin resmi atau dokumen yang sah. Kapal-kapal yang digunakan dalam perdagangan manusia biasanya adalah kapal kecil tanpa bendera yang dap
Uat bergerak bebas di perairan internasional tanpa terdeteksi. Aktivitas ini jelas melanggar prinsip utama yang diatur dalam Pasal 99 UNCLOS dan menunjukkan lemahnya pengawasan di wilayah perairan Kepulauan Riau.
2. Pelanggaran Pasal 94 UNCLOS
Pasal 94 UNCLOS mengharuskan negara untuk memastikan bahwa kapal berbendera mereka tidak terlibat dalam aktivitas ilegal di laut. Namun, banyak kasus yang menunjukkan bahwa kapal yang digunakan dalam perdagangan manusia di Kepulauan Riau tidak memiliki bendera yang sah atau menggunakan bendera negara lain secara ilegal (flag of convenience). Kapal-kapal semacam ini beroperasi dengan bebas di perairan internasional tanpa terikat oleh hukum negara manapun, yang menunjukkan kegagalan negara-negara terkait dalam mematuhi kewajiban mereka berdasarkan Pasal 94 UNCLOS.
3. Pelanggaran Pasal 100-108 UNCLOS
Pasal 100 hingga 108 UNCLOS mengatur pentingnya kerja sama internasional antara negara-negara anggota untuk memberantas kejahatan lintas batas di laut, termasuk perdagangan manusia. Namun, lemahnya koordinasi antara negara-negara yang berada di sekitar Selat Malaka—termasuk Indonesia, Singapura, dan Malaysia—telah memungkinkan perdagangan manusia terus berkembang tanpa hambatan berarti. Tidak ada pengawasan yang memadai, dan upaya penegakan hukum yang terbatas membuat Kepri menjadi tempat yang aman bagi para pelaku perdagangan manusia. Kurangnya penegakan hukum internasional membuat wilayah ini semakin rawan terhadap tindak kriminal.
Solusi: Mengembalikan Marwah Kepulauan Riau sebagai Surga Wisata
Keindahan alam Kepulauan Riau tidak boleh dibiarkan ternodai oleh praktik perdagangan manusia yang merusak citra wilayah ini. Pemerintah Indonesia dan komunitas internasional perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah ini. Tanpa tindakan tegas, Kepri akan terus menjadi kawasan transit bagi perdagangan manusia dan kehilangan identitasnya sebagai tujuan wisata yang aman dan layak.
1. Penguatan Pengawasan Maritim
Pemerintah Indonesia harus memperkuat pengawasan maritim di seluruh perairan Kepulauan Riau. Ini mencakup peningkatan armada patroli laut, penggunaan teknologi pemantauan canggih, dan peningkatan kerja sama antara otoritas maritim Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan aktivitas ilegal, termasuk perdagangan manusia, dapat terdeteksi lebih awal dan dihentikan sebelum menyebar lebih luas.
2. Kerja Sama Internasional yang Lebih Kuat
Mengatasi masalah perdagangan manusia di perairan internasional memerlukan kerja sama yang lebih kuat antarnegara. Indonesia, Singapura, dan Malaysia harus meningkatkan koordinasi dan berbagi informasi untuk memantau aktivitas di perairan Selat Malaka. Meningkatkan kapasitas kerja sama ini tidak hanya akan mengurangi perdagangan manusia, tetapi juga memastikan bahwa UNCLOS dapat diterapkan secara efektif di kawasan ini.
3. Perlindungan dan Rehabilitasi Korban
Korban perdagangan manusia yang berhasil diselamatkan harus mendapatkan perlindungan dan rehabilitasi yang layak. Pemerintah Indonesia harus menyediakan tempat penampungan yang aman bagi korban, serta memberikan akses kepada mereka untuk memperoleh hak-hak dasar, seperti perawatan medis, pendidikan, dan bantuan psikososial. Selain itu, pendidikan kepada masyarakat mengenai bahaya perdagangan manusia sangat penting agar mereka lebih waspada terhadap modus-modus yang digunakan oleh pelaku.
Kepulauan Riau memang dikenal sebagai surga wisata, tetapi wajah gelapnya sebagai pintu perdagangan manusia yang melibatkan jaringan internasional tidak bisa diabaikan. Kepri, dengan segala keindahan alamnya, juga merupakan tempat di mana hak asasi manusia dilanggar setiap hari. Aktivitas perdagangan manusia di Kepulauan Riau tidak hanya mencederai prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, tetapi juga melanggar ketentuan dalam UNCLOS, seperti Pasal 99, 94, dan 100-108. Untuk mengembalikan marwah Kepulauan Riau sebagai kawasan wisata yang aman dan bermartabat, pemerintah Indonesia dan negara-negara internasional harus bersatu padu untuk memberantas perdagangan manusia. Kepri tidak boleh terus menjadi saksi bisu dari salah satu tragedi kemanusiaan terbesar di abad ini.***