Andrean Nugrah Wijaya Mahasiswa Semester 3, Program StudI Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Maritim Raja...
Lentera24.com - Hukum Laut Internasional, sebagaimana dikodifikasikan dalam UNCLOS, memberikan hak kepada negara pantai untuk memiliki kemampuan untuk mengelola sumber daya di zona ekonomi eksklusif (ZEE) terkhusus di atur dalam pasal 56 UNCLOS memberikan hak berdaulat kepada negara pantai untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi dan mengelola sumber daya alam yang ada di zona ekonomi ekslusif (ZEE) sampai 200 mil dari garis pantai. Hak ini mencakup sumber daya hayati (ikan) maupun non Hayati (sedimen pasir). Bukan hanya hak eksplorasi negara pantai juga memiliki kewajiban untuk menjaga sumber daya alam di zona tersebut. Dalam kasus ini, pengerukan pasir laut oleh kapal berbendera asing di wilayah ZEE
Indonesia tanpa izin resmi merupakan pelanggaran langsung terhadap hak berdaulat Indonesia. Kapal-kapal tersebut tidak hanya mengambil sumber daya tanpa izin tetapi juga melanggar aturan internasional yang mengatur akses terhadap sumber daya di wilayah negara pantai. Hal ini mencerminkan ancaman terhadap kedaulatan Indonesia sebagai negara maritim yang berdaulat penuh atas pengelolaan sumber daya di ZEE-nya.
Pasal 192 UNCLOS mengatur bahwa setiap negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Selain itu, Pasal 194 UNCLOS menegaskan bahwa negara harus mengambil langkah-langkah untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran laut akibat aktivitas manusia, termasuk eksploitasi sumber daya alam. Aktifitas pengerukan yang terjadi di wilayah kepri terbukti menyebabkan kerusakan ekosistem laut. Kerusakan tersebut tidak hanya melanggar prinsip perlindungan lingkungan dalam UNCLOS tetapi juga mengabaikan tanggung jawab Bersama negara untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut.
Dalam konteks ini, Indonesia harus menjamin bahwa peraturan yang mengatur penggunaan sumber daya laut tidak membahayakan gagasan keberlanjutan. Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 berpotensi melanggar norma internasional ini, karena regulasi teknisnya lebih mengutamakan eksploitasi daripada pelestarian lingkungan.
Dari sisi hukum nasional, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan juga menegaskan tanggung jawab negara untuk mencegah pencemaran laut dan melindungi ekosistem pesisir. Ironisnya, PP 26/2023 justru membuka ruang bagi kerusakan ekosistem dengan membiarkan perusahaan tambang beroperasi di kawasan fishing ground nelayan, yang menjadi jantung ekonomi lokal.
Dampak Ekologi dan Ekonomi
Pengerukan pasir laut di wilayah Kepulauan Riau berbahaya bagi lingkungan. Degradasi terumbu karang, erosi pantai, dan gangguan rantai makanan laut hanyalah beberapa konsekuensi yang telah terlihat. Selain itu, kekeruhan air laut yang disebabkan oleh pengerukan memengaruhi produktivitas kehidupan laut, memperburuk bahaya bagi keberlanjutan perikanan tradisional.
Meskipun pemerintah berpendapat bahwa ekspor pasir laut memiliki manfaat ekonomi, investigasi empiris mengungkapkan bahwa manfaat tersebut tidak tersebar secara merata kepada masyarakat setempat. Nelayan, sebagai pihak yang paling terdampak, hanya menerima kompensasi minimal yang tidak sebanding dengan hilangnya mata pencaharian mereka. Para nelayan menginginkan adanya kompensasi yang sesuai dalam aktualisasi yang nyata “Kecuali perusahaan mau menanggung hidup nelayan sepanjang proyek berlangsung.
“Saya sah saja mereka menambang, tetapi angkat alat tangkap nelayan ke darat, (perusahaan) penuhi kebutuhan nelayan setiap tahunnya, misalnya rata-rata nelayan pendapatnya Rp.10 juta setiap bulan, silahkan bayar segitu, mampu nggak?, jangan kompensasi Rp.200.000 – Rp.300.000,” ucap amir (Nelayan terdampak), dengan demikian penambangan pasir akan merusak wilayah fishing ground tersebut, menurunkan produktivitas, dan dalam jangka panjang bisa memicu kelangkaan pangan. Itu kenapa, PP 26/2023 adalah bentuk pembungkus kebijakan yang merusak dengan label pemulihan lingkungan (green washing).
Hal ini menimbulkan pertanyaan etis tentang siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh kebijakan ini: masyarakat atau korporasi.
Isu Kedaulatan dan Tata Kelola
Kebijakan ini juga menyentuh isu kedaulatan dan tata kelola maritim. Kasus pengerukan pasir laut oleh kapal berbendera asing di Kepri tanpa izin resmi menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah. Aktivitas pengerukan pasir laut yang dilakukan oleh kapal berbendera asing tanpa izin resmi merupakan ancaman langsung terhadap kedaulatan maritim Indonesia. Dua kapal berbendera Malaysia terdeteksi melakukan aktivitas ini di perairan Kepri tanpa dokumen yang sah, merugikan negara hingga Rp.223 miliar per tahun. Pengawasan pemerintah yang lemah memungkinkan kapal-kapal asing beroperasi tanpa izin resmi. Hal ini menunjukkan perlunya koordinasi yang lebih baik antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TNI AL, dan masyarakat.
Kritik Terhadap Kebijakan
Pemerintah sering membenarkan pendekatan ini dengan kedok mengurangi sedimentasi dan merehabilitasi ekosistem. Namun, fakta ini sulit diterima mengingat 66 perusahaan meminta izin untuk melakukan eksploitasi pasir laut dalam waktu satu tahun sejak PP 26/2023 mulai berlaku. Ini menunjukkan bahwa kepentingan akan ekonomi lebih dominan dibandingkan janji untuk pelestarian lingkungan. Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), menyatakan bahwa , sejak awal memang partisipasi nelayan secara menyeluruh tidak dilibatkan.
“Fakta menyakitkan nelayan tidak pernah dilibatkan, pemerintah hanya melibatkan orang yang mendukung, bukan orang yang tidak mendukung,” Kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan mencerminkan buruknya demokrasi lingkungan. Nelayan tradisional, sebagai pemangku kepentingan utama yang terlibat, sering kali tidak dilibatkan dalam konsultasi publik, sehingga menimbulkan resistensi di tingkat lokal. Kebijakan PP 26/2023 dan pelaksanaannya tidak melibatkan partisipasi yang memadai dari masyarakat lokal, terutama nelayan yang terkena dampak langsung. Pemerintah lebih banyak berkomunikasi dengan pihak yang mendukung pengerukan pasir laut.
Dibukanya keran ekspor pasir laut melalui PP 26 Tahun 2023 menunjukkan lemahnya kedaulatan dalam menghadapi tekanan dari aktor politik dan ekonomi. Hal ini diperkuat oleh kritik terhadap regulasi yang dianggap lebih berpihak kepada korporasi dibandingkan rakyat, Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menurunkan legitimasi Indonesia sebagai negara maritim yang kuat, terutama dalam mengelola ZEE-nya.
Penutup dan Rekomendasi
Kebijakan pembukaan ekspor pasir laut ini memperlihatkan adanya ketidakseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan perlindungan ekologi.
Sebagai rekomendasi, pemerintah perlu:
1. Pemerintah harus menerapkan moratorium pengerukan pasir laut sampai studi lingkungan strategis yang komprehensif selesai.
2. Meningkatkan pemantauan kelautan untuk mencegah eksploitasi ilegal oleh kapal asing.
3. Meningkatkan transparansi dan partisipasi publik dalam pengembangan kebijakan kelautan, khususnya di kalangan masyarakat pesisir.
4. Membangun sistem kompensasi yang adil bagi masyarakat yang terkena dampak, termasuk penyediaan mata pencaharian alternatif.
Hanya dengan mengambil langkah-langkah ini, Indonesia dapat menunjukkan komitmennya terhadap pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan sejalan dengan norma-norma negara kelautan yang berdaulat dan bertanggung jawab. ***