Oleh : Syahzevianda Hak Asasi Manusia atau yang akrab ditelinga dengan sebutan HAM merupakan hak-hak dasar yang tidak dapat digangg...
Oleh : Syahzevianda
Hak
Asasi Manusia atau yang akrab ditelinga dengan sebutan HAM merupakan hak-hak
dasar yang tidak dapat diganggu-gugat oleh siapa saja. Setiap orang mempunyai
cara pandangnya sendiri tentang isu hak, baik ruang lingkup, pengertian dan
pembatasan-pembatasan tentang hak apa saja dan siapa saja kiranya pantas untuk
diatur dan dijunjung tinggi. Instrumen HAM itu sendiri juga menimbulkan banyak
varian dan cara pandang yang bervariatif dalam mendefinisikan Ham, termasuk
para pakar dan pegiat-pegiat HAM di dunia.
Pandangan
HAM secara Partikular Relatif ini merupakan cara pandang HAM secara umum atau
Universal, tetapi HAM secara Partikular relatif ini juga dapat dilihat secara
Khusus atau dengan kata lain HAM Secara Partikular Relatif ini masih memperhatikan
nilai kultural atau kebudayaan lokal dari Negara atau tempat dimana Hukum
nasional mengatur, kecuali juga meratifikasi ketentuan hukum internasional.
Menurut
pendapat penulis, pandangan HAM secara partikular relatif ini masih
memungkinkan pandangan HAM yang tidak diartikan secara sempit. Secara sempit
disini artinya tidak monoton/Kaku dalam memberikan definisi dan ruang lingkup
HAM. Dalam hal ini, secara etimologi konsep HAM dalam konteks Partikular Relatif
dapat penulis artikan bahwa: Partikular yang
artinya “khusus”, dan Relatif adalah
“tidak mutlak/Absolut. Memahami makna dari HAM dimaksud jika dikaitkan dengan
arti yang sebenarnya, maka HAM dalam makna/ cara pandang Partikular Relatif
menurut hemat penulis adalah HAM secara Partikular relatif ini merupakan HAM
yang suatu berlakunya disesuaikan dengan ruang dan waktu.
Ruang
yang penulis maksudkan disini adalah, tatkala orang menganggap HAM ini harus
mendapatkan ruang geraknya yang disesuaikan dengan yuridiksi pemberlakuan
“suatu hak asasi” bagi manusia. Secara spesifik menurut penulis mengganggap HAM
partikular relatif ini tidak dapat disamaratakan pemberlakuannya disetiap
tempat seperti halnya penafsiran HAM Absolut yang bagi siapa saja wajib menghormati
dan menjunjung tinggi nilai-nilai ke-asasian didalam berkehidupan. Namun siapa saja wajib menjunjung tinggi
harkat dan martabat yang tercantum dalam butir-butir HAM yang sebagaimana telah
di tentukan secara konstitusi negara.
Disamping
HAM harus dipatuhi secara konstitusional menyangkut negara tersebut adalah
negara hukum (Misalnya: Indonesia), jika terdapat materi-materi yang tidak
termuat secara khusus terkait ruang gerak HAM yang berbeda yang lebih khusus
dan eksplisit (Misalnya: Aceh), wajib menghormati hak dan keberagaman yang ada
di daerah tersebut guna menjunjung tinggi nilai-nilai sosial keberagaman yang
telah lama hidup dan berkembang di masyarakat.
Konteks
“Indonesia” dalam Pandangan HAM Partikular Relatif
Penulis
menggarisbawahi bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai HAM
sebagai negara yang konsen pada Rule of
Law. Regulasi yang ada penulis berpikir bahwa tidak menjadi hambatan
pemberlakuan HAM di Indonesia dengan keberagaman suku, agama, budayanya yang
sangat mendominasi, konsep yang sudah jelas inilah yang seharusnya menjadi
pertimbangan penuh bagi pemerintah (negara), pegiat-pegiat HAM dan eleman
lainnya yang terkait dengan Human Right dalam
menjalankan mata rantai yang tidak boleh terputus/tersendat oleh suatu apapun.
Namun pada hakikat yang seharusnya wajib dihormati oleh negara pada rakyatnya
(publik), maupun antara rakyat dengan rakyat sendiri (privat) masih menyelipkan
kepentingan kelompok atau golongan sehingga mendapat kendala yang cukup rumit
dalam pembuktian/pengungkapan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
HAM
yang terasa Unik Nan Etnik di
Indonesia inilah yang sangat banyak mengundang reaksi dari kalangan-kalangan
“luar” bahkan internasional sehingga mengganggu eksistensi pemberlakuan HAM di
Indonesia secara totalitas dan eksplisit. Untuk itu perlu keseriusan dan
keterlibatan semua kalangan baik aktivis, pegiat HAM, cendikia dan pemerintah
agar kita terbebas dari intervensi asing dalam proses dan pemberlakuan HAM di
negara yang berpenduduk 250 juta ini. Kombinasi dalam mengakomodir berbagai
perbedaan diharapkan mampu memberikan jawaban pasti sejauhmana substansi HAM
sudah berjalan di Indonesia. Nah, partikel-partikel instrumen HAM yang penulis
maksud inilah yang seharusnya dapat memperkokoh ruang gerak HAM partikular
relatif sehingga keberagaman etnik, budaya, suku dan agama tetap menjadi
koredor pertimbangan dalam pemberlakuan HAM di Indonesia yang terbingkai rapi
dalam perspektif filosofis, sosiologis dan yuridis.
HAM
bukanlah merupakan satu-satunya harga mati yang tidak memberikan pertimbangan
nilai tawar, tetapi harusnya HAM diberlakukan dengan aspek yang cukup dalam
memberikan rasa aman dari segala jenis pembatasan dan penindasan hak-hak dasar
yang sangat fundamental. Bagaimana para pemangku negeri ini memberikan jaminan
terhadap warga negaranya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat
menyuarakan hak-hak sipilnya pada tatanan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Konteks
“Aceh” dalam Pandangan HAM Partikular Relatif
Di
tengah isu HAM yang mendunia saat ini, yang secara absolut HAM merupakan suatu
yang telah disepakati dan tidak dapat ditawar-tawar, tapi dari pandangan HAM
partikular relatif ini masih memberikan kesempatan pada pemahaman tentang HAM
yang sangat bervariasi dan memberikan ruang gerak bagi eksistensi masyarakat
yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai SARA, penulis tidak menjabarkan secara
lengkap tentang hak-hak apa saja yang diatur berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
Aceh
telah mengantongi Lex Specialis Undang-undang
No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, meliputi beberapa keistimewaan
dalam penyelenggaran: 1) Kehidupan beragama; 2) Kehidupan Adat; 3) Pendidikan;dan
4) Peran ulama dalam penetapan kebijakan pemerintahannya. Siapa saja yang
melihat 4 poin tersebut yakin dan percaya bahwa hal tersebut sangatlah menjadi
pegangan dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh. Pertanyaannya, lalu bagaimana
jika pemberlakuan keempat instrumen tersebut terbentur dengan norma hukum yang
juga masih memberikan ruang regulasi bagi Aceh dalam menjalankan hak
keistimewaanya (termasuk UU tentang HAM)?. Fenomena inilah yang diharapkan
memberikan sumbangsih bahwa Aceh masih dibalut oleh keistimewaan-keistimewaan
karena dinilai Aceh sangat kental dengan nuansa budaya, adat istiadat dan
konsep syari’at islam namun tidak luntur dengan kehadiran HAM di Aceh, yang
kiranya dapat mengusik proses “keistimewaan’ yang tengah berjalan sampai dengan
detik ini.
Penulis
memaksudkan bahwa HAM dalam pandangan partikular relatif ini mampu memberikan
ruang gerak “keistimewaan” di Aceh tidak luntur dan tetap eksis dalam nilai
khasnya dengan tidak mengkebiri konsep HAM nasional bahkan internasional.
Tawaran yang penulis maksudkan adalah bagaimana peran/upaya stakeholder dan
para pegiat HAM di Aceh mampu
mendefinisikan bahwa Aceh dapat mempertahankan Keistimewaan dalam
kultur, adat istiadat dan Syari’at Islam namun tetap mempertimbangkan HAM dalam
sudut pandang penerapannya. Masih banyak pekerjaan rumah terkait HAM di “Aceh”
yang perlu dibenahi dan direalisasikan, namun jika hal yang sedang tumbuh dan
berkembang saja tidak becus dan “acuh-tak acuh” oleh berbagai kalangan, siapa
lagi yang mampu mempertahankan nilai-nilai yang sudah ditanam oleh para
“Endatu” kita terdahulu? Konon ingin mengimplementasikan Pasal 227
Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait didalamnya
muatan-muatan HAM di Aceh
Masih
banyak kebijakan di Aceh yang dianggap melanggar substansi HAM baik nasional
maupun internasional, inilah tantangan kita kedepan di Aceh yang masih banyak
pihak menuai kontroversi dari berbagai
kalangan, sehingga disangsikan akan mengganggu eksistensi nilai kultur
(kearifan lokal) yang sarat dengan Syari’at Islam. Belum lagi dengan penerapan Qanun Jinayah yang akan diterapkan,
dapat dipastikan akan banyak kicauan-kicauan tentang pelanggaran HAM yang saat
ini sedang marak jadi tofik perbincangan. Hemat penulis, pandangan HAM secara
partikular relatif ini mampu memberikan pencerahan bagi kita semua bahwa isu
HAM merupakan isu yang sangat sentral, fundamen, wajib dihormati, namun juga
harus memberikan pemahaman bahwa kita juga harus menghormati nilai-nilai yang
telah hidup, tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang konteksnya
kearifan lokal.
Foto : Ilustrasi (arifashkaf)