Foto Ilustrasi Google RICO FAHRIZAL | Suara Tamiang rico_realitas@yahoo.com A. Pengantar Sebagai lembaga yan...
![]() |
Foto Ilustrasi Google |
RICO FAHRIZAL | Suara Tamiang
rico_realitas@yahoo.com
A. Pengantar
Sebagai lembaga yang
mewakili rakyat, sudah seharusnya DPRA selalu mendapat kontrol dari masyarakat.
Hal ini penting agar kinerja DPRA selalu berorientasi pada kepentingan publik.
Terlebih lagi setelah eksekutif dijabat oleh Partai Aceh, maka mayoritas
anggota legislatif yang berasal dari partai yang sama terlihat hampir tidak
melakukan pengawasan dengan baik.
Pernyataan sikap ini
kami buat didasari oleh keprihatinan atas kinerja DPRA yang tidak mampu
menunjukkan kinerja yang berkesan. Malah sebaliknya, DPRA sangat lemah dalam
menjalankan ketiga fungsinya, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi
pengawasan. Hal
ini diperparah lagi oleh sikap partai nasional yang cenderung diam terhadap hal-hal yang disuarakan oleh
Partai Aceh.
B. Fungsi Legislasi
Kinerja anggota DPRA di
sepanjang tahun 2012 belum menunjukan
hasil yang memuaskan, hal ini dibuktikan
dengan minimnya pelibatan publik dalam proses pembuatan qanun. Meski DPRA telah
mensahkan qanun dalam jumlah yang banyak yaitu 18 qanun dari 21 qanun yang
menjadi prioritas tahun 2012. Namun
kualitas isi dari qanun yang disahkan menjadi pertanyaan kritis dari kami,
dikarenakan apakah secara subtansi telah memenuhi syarat partisipasi, apakah memiliki subtansi yang sesuai dengan keinginan masyarakat Aceh atau
sejauhmana qanun yang disahkan memiliki hubungan langsung dengan masyarakat
atau sebaliknya hanya berhubungan dengan elit politik semata.
Pengesahan qanun yang begitu banyak mengesankan DPRA ingin membangun citra
bahwa secara kinerja bagus, terlepas dari kualitas
yang masih perlu dilakukan
evaluasi kembali. Terlihat oleh publik Januari-April hanya disahkan 3 qanun dan pada Juni-Desember
2012 disahkan 15 qanun.
Hasil evaluasi kami, menemukan
bahwa DPRA kurang memperhatikan tata cara pembuatan qanun, mulai dari penjaringan
aspirasi terhadap qanun yang
disusun, penyusunan draf akademis dengan melibatkan organisasi masyarakat
sipil, sosialiasi ke publik, dll. Dengan demikian hasil qanun yang disahkan
dipertanyakan kembali kualitas isinya.
Apalagi pelibatan partisipasi
publik hanya terlihat ketika pembahasan Qanun
Wali Nanggroe, tetapi pelibatan tersebut
terkesan hanya sebatas prosedural semata karena masukan dari publik hampir
tidak membuat isi qanun berubah. Setelah disahkanpun Qanun (QWN) ini masih menjadi pro kontra
di kalangan masyarakat karena dianggap bertentangan dengan banyak peraturan
hukum yang lebih tinggi, ahistoris dan diragukan kemanfaatannya. Partisipasi
perempuan juga minim dilibatkan. Dalam pembahasan QWN, kelompok perempuan baru diundang untuk memberi masukan
ketika rancangan QWN sudah hampir final.
Contoh lainnya dalam qanun bendera,
partisipasi yang dibangun DPRA tidak masif, misalnya untuk RDPU hanya dilakukan
di AAC Dayan Dawood dan DPRA. Juga terlalu berlebihan apabila kedua qanun (QWN
dan bendera) harus mencari masukan di luar Aceh mengingat di Aceh saja minim sekali masyarakat
yang dilibatkan. Sedang dalam qanun tata cara pembuatan qanun disebutkan apapun
produk legislasi harus dibangun partisipasi aktif publik dan itu harus dilakukan
secara transparan dan kuat. Seperti tidak adanya informasi sidang dan fasilitas
website yang tidak aktif.
Qanun yang disahkan DPRA juga
tidak didasarkan pada kebutuhan publik. Sepanjang 2012 bisa dilihat kuatnya
desakan publik terhadap qanun KKR dan revisi qanun jinayah, tetapi kedua qanun
tersebut tidak mendapat perhatian sedikitpun dari DPRA. Hal ini diperparah lagi
oleh sikap partai nasional
yang cenderung diam terhadap hal-hal yang disuarakan oleh Partai Aceh.
C. Fungsi
Anggaran
Dari sisi pelaksanaan fungsi
anggaran (budgeting
fuction), kami menilai bahwa kinerja parlemen masih di bawah harapan publik.
Beberapa hal yang menjadi sorotan krusial di tahun 2012 sebagai berikut:
1. Parlemen
Aceh terjebak dengan “Dana Aspirasi” atau “Program Aspirasi” yang secara regulasi masih
masuk dalam kategori ”grey area”. Sampai
saat ini, tidak ada landasan hukum yang memperbolehkan atau tidak
diperbolehkannya adanyanya ”Dana Aspirasi” atau ”Program Aspirasi” tersebut.
Keberadaan dana tersebut telah mengundang transaksi politik antara eksekutif
dan legislatif. “Dana
Aspirasi” atau “Program Aspirasi”
dipandang menjadi alat bater antara legislatif dan eksekuti dalam pembahasan
APBA. Dengan demikian, sangat wajar kemudian eksekutif yang memandang
pentingnya ”Dana Kerja” sedangkan legislatif berkepentingan dengan “Dana Aspirasi” atau “Program Aspirasi” tersebut.
2. Pengesahan
APBA Tahun Anggaran 2013 hingga saat ini belum disahkan. Prestasi buruk ini telah
memperpanjang daftar hitam
tidak tepat waktunya Provinsi Aceh dalam pengesahan anggaran. Dan ini terbukti
kembali jika Aceh kembali terlambat mengesahkan APBA, yang sebelumnya
digadang-gadangkan akan disahkan diakhir tahun 2012 lalu.
3. DPRA
Aceh belum terlihat secara nyata dalam memberikan solusi cerdas terhadap
pengelolaan Dana Otonomi Khusus dan Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak Dan Gas
Bumi secara komprehensif.
Dalam tahun 2012, hal ini terlihat nyata dalam proses revisi Qanun No. 2 Tahun
2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak Dan Gas
Bumi Dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. DPRA hanya lebih fokus pada pembagian
dana tersebut antara porsi untuk tingkat provinsi dan porsi untuk
kabupaten/kota. DPRA juga hanya melihat pada aspek pola pengelolaan yang kini
sudah transfer langsung ke daerah. Padahal yang lebih penting dilakukan oleh
DPRA adalah memastikan bagaimana pola pengunaan dana tersebut, kriteria proyek
seperti apa yang harus didanai, sehingga tidak lagi terjebak pada proyek-proyek
kecil yang tidak memberikan daya ungkit besar dalam mengatasi persoalan
pembangunan berbagai sektor di Aceh.
4. DPRA
belum membuka ruang yang cukup bagi elemen sipil untuk berpartisipasi dalam penyusunan
perencanaan dan penganggaran terkait dengan APBA. Seharusnya, elemen masyarakat sipil dapat
diajak untuk ikut serta memberikan masukan dalam proses tersebut, seperti pada
saat pembahasan dokuken KUA dan PPAS.
D. Fungsi Pengawasan
Dalam pemenuhi kewajiban dalam
fungsi pengawasan, pada tahun 2012 dapat diberikan beberapa catatan sebagai
berikut:
1. Pola
pengawasan yang dilakukan oleh DPRA secara keseluruhan belum terlihat secara
jelas dan nyata. Publik
belum melihat kontrol terhadap eksekutif secara komprehensif, dan tentu pola ini sangat
berbeda ketika eksekutif masih dipimpin oleh bukan Partai Aceh. Publik tidak mendapatkan cukup informasi
bagaimana feedback yang diperoleh setelah melakukan pansus, reses dan studi banding. Padahal ketiga bentuk tersebut menjadi alat
bagi DPRA untuk memperkuat pelaksanaan fungsi pengawasannya.
2. Paradigma
pelaksanaan fungsi “pengawasan” oleh DPRA terjebak kembali pada pola “supervisi”, “monitoring”, atau “audit”. Sehingga tidak heran bila
yang terjadi adalah “membawa palu ketok bangunan, jalan dan jembatan. Pengawasan
lebih banyak terfokus dan ”terjebak” pada aktivitas pemeriksaan yang berupa
kunjungan kerja yang berorientasi pada proyek fisik. Padahal dalam konteks
legislatif, kata pengawasan lebih tepat disebut “oversight” dengan arti
bahwa perlemen harus masuk dalam pola “pengamatan dan pengarahan terhadap sebuah tindakan dari eksekutif berdasarkan
kerangka aturan yang ditentukan’.
3. Implementasi fungsi pengawasan
sejatinya berada pada keseluruhan fungsi yang melekat di tubuh parlemen.
Memastikan jika fungsi legislasi berlangsung secara partisipatif, fungsi
anggaran berjalan secara efektif dan efisien, dan fungsi pengawasan sendiri
untuk memastikan aspek transparansi dan akuntabilitas. Akan tetapi pada tahun 2012, pengawasan DPRA
masih berlaku pada saat pansus semata,
sedangkan pengawasan pada aspek pelaksanaan regulasi (qanun) serta aturan
pendukung (seperti peraturan gubernur) belum
terlihat oleh publik.
4. Pelaksanaan
fungsi pengawasan oleh DPRA cenderung menjadi alat tawar-menawar politik (transaksional).
Pengawasan belum memberikan kontribusi optimal bagi
pengelolaan Pemerintahan Aceh. Pengelolaan pengawasan belum efektif. Bahkan belum membangun partisipasi publik dalam proses pengawasan yang dilakukan.
5. DPRA
belum menunjukkan political will
mendorong tata kelola pemerintahan yang baik, transparan, akuntabel dan anti
korupsi.
Misalnya, pada saat terjadinya kasus indikasi korupsi yang dilakukan oleh Zul
Namploh sebagai Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh hampir tidak ada tanggapan
apapun dari Gubernur, dan DPRA pun belum menjalankan fungsinya untuk mendorong
pemerintahan yang bersih di Aceh. Keterbukaan informasi publik masih menjadi
masalah krusial, meskipun Komisi Informasi Aceh (KIA) sudah dibentuk oleh DPRA
bersama Pemerintah Aceh.
6. Komunikasi
politik dengan daerah konstituen untuk meng-input
masukan dari masyarakat belum maksimal dilakukan oleh anggota DPRA pada saat
masa reses. Masa reses seharusnya dapat membangun fungsi komunikasi
politik untuk menyerap berbagai
aspirasi, pandangan-pandangan dan gagasan-gagasan yang berkembang dalam
masyarakat dan sebagai bahan dalam penentuan kebijaksanaan di parlemen, maupun sebagai
masukan kepada eksekutif. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk penyebarluasan
rencana-rencana atau kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah kepada rakyat. Dengan demikian fungsi ini membawakan arus informasi timbal balik dari rakyat
kepada pemerintah dan dari pemerintah kepada rakyat.
Namun kondisi ideal ini masih sulit ditemui, sehingga saat ini yang terjadi malah
sebaliknya yaitu kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang mendatangi “gedung dewan”
untuk menyampaikan pendapat, saran, aspirasi, serta permasalahan yang dihadapi
masyarakat di daerah konstituen.
E. Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas,
kami menyatakan beberapa rekomendasi untuk arah kerja DPRA 2013 ini sebagai
berikut:
1. Meminta
seluruh anggota DPRA untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsinya
selaku wakil masyarakat Aceh dengan menanggalkan kepentingan pribadi dan kelompok
politik;
2. Meminta
DPRA dalam pelaksanaan fungsi legislasifnya menfokuskan pada penyelesaian
qanun-qanun yang berhubungan langsung dengan kepentingan publik, bukan hanya mengejar
penyelesaian qanun yang berhubungan dengan kepentingan politik elit dan sektor
keuangan daerah yang berkaitan dengan kepentingan legislatif dan eksekutif
semata;
3. Meminta
DPRA untuk melibatkan publik dalam pembahasan perencanaan dan penganggaran
APBA, termasuk dalam proses pembuatan qanun. Hal ini menjadi penting sebagai bagian
dari transparansi dan akuntabilitas kepada publik atas kinerja DPRA;
4. Meminta
DPRA untuk mengoptimalkan fungsi pengawasan dalam perspektif “oversight”, yang bukan hanya mengandalkan turun lapangan
semata, tetapi memastikan sejauhmana aturan hukum dan kebijakan daerah telah
diimplementasikan secara komprehensif oleh eksekutif.
5. Meminta DPRA bersama eksekutif untuk memastikan
bahwa tahun 2013 seluruh qanun yang
diamanahkan oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
termasuk melakukan advokasi mempercepat penyelesaian Rencana Peraturan
Pemerintah (RPP) dengan Pemerintah Pusat di Jakarta dapat dituntaskan dengan
baik.
Banda Aceh, 8 Januari 2012
GeRAK, Aceh Institute, Koalisi NGO HAM Aceh.