Oleh : Teuku Kemal Fasya DALAM perjalanan dari Banda Aceh ke Lhokseumawe, saya kadang suka memarkirkan kenderaan di Seulawah. Suasana hu...
Oleh : Teuku Kemal Fasya
DALAM perjalanan dari Banda Aceh ke Lhokseumawe, saya kadang suka memarkirkan kenderaan di Seulawah. Suasana hutan hujannya (meskipun tahun-tahun belakangan tidak lagi basah dan lembab) memberikan suasana sejuk. Pukul 08.00-10.00 WIB adalah waktu yang paling “antik” untuk berteduh di punggung Seulawah. Ngopi sambil sarapan nasi guri Pak Rasyid adalah momen terbaik yang tak bisa dibeli.
Setelah sarapan, saya sengaja mengumpulkan sampah makanan ke dalam mobil. Saya menyuruh keluarga saya yang terlanjur membuang bungkusan nasi untuk mengutipnya kembali. Memang ada sampah lain yang berceceran di sekitar. Saya hanya bisa semampunya mengutip dan membuangnya di tempat sampah kota terdekat.
Saya pikir ini bukanlah tindakan yang selalu tepat. Selaksa pesan itu belum cukup diyakini, seorang penumpang L300 yang lewat langsung melemparkan bungkusan kudapan ke luar jendela mobil. Tindakan kecil saya seperti menggarami lautan. Upaya memberikan pelajaran keluarga berbenturan dengan moralitas publik yang belum menganggap membuang sampah sembarangan sebagai aib. Kultur publik masih menganggap bumi Allah adalah keranjang sampah seluruhnya.
Manusia sang perusak
Seperti judul sebuah novel terkenal The God of Small Things dari penulis perempuan India, Arundhati Roy, kita sering menganggap bahwa Tuhan hanya bersemayam pada sesuatu yang besar, dan mengabaikan hal-hal kecil. Kita hanya akan tertegun pada kerusakan besar dan pada saat yang sama tidak memulai memperbaiki hal-hal kecil. Kerusakan kecil dianggap biasa, karena sifat manusia adalah sang perusak. Tapi bisakah dibayangkan dosa kecil itu berakumulasi sehingga tak ada lagi pintu tobat?
Membuang sampah sembarangan, boros menggunakan air, boros listrik, boros BBM, menebang pohon, membakar sampah organik dibandingkan membuat kompos, menggunakan tisu dibandingkan serbet ketika bersin, adalah sebagian “dosa kecil” yang terus kita lakukan. Itu bagian dari tindakan harian yang tidak pernah direfleksikan lagi. Terjadi begitu saja seperti orang kehilangan kesadaran.
Kita tak pernah menyadari bahwa menghambur-hamburkan tisu sama dengan memusnahkan pohon. Pohon pun tidak tumbuh secepat pencetakan uang. Kita jarang berhenti sejenak dan menatap pohon pinus di sepanjang Seulawah sambil merenung bahwa tisu yang kita hamburkan berasal darinya. Ribuan kubik pinus ditebang setiap hari untuk kepentingan produksi tisu, kertas, kardus, korek api, dll, dan kemudian menjadi sampah. Berapa puluh ribu kilogram karbondioksida yang terlepas di udara karena berkurangnya media pelepas oksigen itu. Bayangkan, bukan hanya pinus, tapi damar, keruing, meranti, kelapa, manggrove hilang setiap hari dari permukaan bumi?
Jika kerusakan kecil itu tidak dihiraukan bagaimana pula mau meratapi hilangnya hutan Aceh seluas 2,5 juta hektare selama tahun-tahun rekonstruksi lalu? Lima tahun rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh menyebabkan hutan seluas Kawasan Ekosistem Leuser hilang. Ditambah lagi kerusakan lingkungan melalui proyek tambang yang semakin berular dan tak terkendali. Siapa pula yang bicara tentang sawitisasi dan menjadi penyumbang terbesar bencana saat musim hujan dan kemarau?
Maka jangan heran jika 145 konsesi tambang yang sedang mengerubungi Aceh saat ini tidak juga dianggap tindakan menista alam. Ekonomi sektor ekstraktif tanpa pengelolaan sepenuh tanggung jawab dan berbasis kepentingan sosial akan menjadi kiamat baru. Yang beruntung hanya elite penguasa dan pengusaha, yang diam-diam melakukan imperalisasi hasil bumi. Merekalah raja-raja kecil di tengah bahu kemelaratan masyarakat tempatan.
Maka, siapa yang mau membela masyarakat yang terdampak bencana lingkungan perusahaan seperti Exxon Mobil Arun dan Lafarge Cement Indonesia yang marak dalam pemberitaan selama ini? Selalu ada penyesuaian ilmiah untuk mengatakan bahwa limbah itu tidak merusak seperti yang dibayangkan awam. Padahal masyarakat terdampak (affected people) menerima neraka alam, menderita, dan frustrasi menunggu kompensasi korporasi.
Siapa pula peduli protes masyarakat atas arogansi perusahaan tambang dan perkebunan Lhoong Setia Mining (Aceh Besar) dan Kalista Alam (Nagan Raya) yang terdengar lamat-lamat di telinga pemerintah daerah. Respons baru muncul ketika kepedihan dan kerusakan semakin tak terpemanai. Kredo purba selalu bergema, exploitation de l’homme par l’homme, pengisapan manusia oleh manusia. Kekuasaan modal menghisap alam dan manusianya sekaligus.
Idealis dan oportunis
Ada dialektika global yang secara langsung atau tidak menyeret kita sebagai korban atau pelakunya. Gerakan penyelamatan lingkungan selalu baku-pukul dengan gerakan perusak lingkungan. Saat ini gerakan penyelamatan lingkungan masih satu-dua tingkat kalah secara modal, sosial, ilmiah, dan legal dengan korporasi plus negara perusak lingkungan. Masyarakat pun begitu, ada dua sisi yang terbelah melihat ini, tergantung seberapa idealis dan oportunis nilai dalam diri masyarakat itu.
Kelompok pro-lingkungan hidup selalu dituduh egois, tidak membumi, sekuler, anti-kemajuan, dan hanya mengabdi bagi kepentingan alam dibandingkan manusia. Padahal, jika kita melihat lebih dalam, tidak ada hak lingkungan kecuali semuanya kembali kepada manusia. Jika kita mengulik lagi, sesungguhnya hanya ada libido keserakahan dan sikap anti-humanistik yang dipraktikkan kelompok pembabat lingkungan.
Cairnya es abadi (permafrost) Artik di Kutub Utara, yang menyebabkan terjadinya pelepasan gas metana dalam jumlah besar akan mengubah postur bumi secara drastis 20-30 tahun ke depan. Gas metana diyakini memiliki kekuatan 25 kali lipat menahan radiasi panas matahari dibandingkan karbondioksida (Kompas, 21/9/2012). Sebuah keniscayaan bahwa bumi akan semakin panas dibandingkan abad-abad sebelumnya.
Apakah tidak terbersit bahwa kita diam-diam tergelincir sebagai pelaku kejahatan lingkungan atau menjadi korbannya? Untuk Aceh, kita juga lamat-lamat menatap bumi Serambi Mekkah sebagai gadis lusuh yang telah direnggut kegadisannya. Alam Aceh bukan lagi alam perawan. Kerusakan dan parut telah memenuhi tubuh mungilnya.
The nights are clear, but suffused with sloth and sullen expectation, tulis Arundhati dalam The God of the Small Things. Malam memang pasti menjelang, namun ia diselumuti kemalasan dan kemuraman. Ya, malam-malam hadir dengan rasa cekam akan bencana alam.
* Teuku Kemal Fasya , Peneliti dan Penulis Masalah Demokrasi dan Lingkungan Hidup. Email: kemal_antropologi2@yahoo.co.uk
DALAM perjalanan dari Banda Aceh ke Lhokseumawe, saya kadang suka memarkirkan kenderaan di Seulawah. Suasana hutan hujannya (meskipun tahun-tahun belakangan tidak lagi basah dan lembab) memberikan suasana sejuk. Pukul 08.00-10.00 WIB adalah waktu yang paling “antik” untuk berteduh di punggung Seulawah. Ngopi sambil sarapan nasi guri Pak Rasyid adalah momen terbaik yang tak bisa dibeli.
Setelah sarapan, saya sengaja mengumpulkan sampah makanan ke dalam mobil. Saya menyuruh keluarga saya yang terlanjur membuang bungkusan nasi untuk mengutipnya kembali. Memang ada sampah lain yang berceceran di sekitar. Saya hanya bisa semampunya mengutip dan membuangnya di tempat sampah kota terdekat.
Saya pikir ini bukanlah tindakan yang selalu tepat. Selaksa pesan itu belum cukup diyakini, seorang penumpang L300 yang lewat langsung melemparkan bungkusan kudapan ke luar jendela mobil. Tindakan kecil saya seperti menggarami lautan. Upaya memberikan pelajaran keluarga berbenturan dengan moralitas publik yang belum menganggap membuang sampah sembarangan sebagai aib. Kultur publik masih menganggap bumi Allah adalah keranjang sampah seluruhnya.
Manusia sang perusak
Seperti judul sebuah novel terkenal The God of Small Things dari penulis perempuan India, Arundhati Roy, kita sering menganggap bahwa Tuhan hanya bersemayam pada sesuatu yang besar, dan mengabaikan hal-hal kecil. Kita hanya akan tertegun pada kerusakan besar dan pada saat yang sama tidak memulai memperbaiki hal-hal kecil. Kerusakan kecil dianggap biasa, karena sifat manusia adalah sang perusak. Tapi bisakah dibayangkan dosa kecil itu berakumulasi sehingga tak ada lagi pintu tobat?
Membuang sampah sembarangan, boros menggunakan air, boros listrik, boros BBM, menebang pohon, membakar sampah organik dibandingkan membuat kompos, menggunakan tisu dibandingkan serbet ketika bersin, adalah sebagian “dosa kecil” yang terus kita lakukan. Itu bagian dari tindakan harian yang tidak pernah direfleksikan lagi. Terjadi begitu saja seperti orang kehilangan kesadaran.
Kita tak pernah menyadari bahwa menghambur-hamburkan tisu sama dengan memusnahkan pohon. Pohon pun tidak tumbuh secepat pencetakan uang. Kita jarang berhenti sejenak dan menatap pohon pinus di sepanjang Seulawah sambil merenung bahwa tisu yang kita hamburkan berasal darinya. Ribuan kubik pinus ditebang setiap hari untuk kepentingan produksi tisu, kertas, kardus, korek api, dll, dan kemudian menjadi sampah. Berapa puluh ribu kilogram karbondioksida yang terlepas di udara karena berkurangnya media pelepas oksigen itu. Bayangkan, bukan hanya pinus, tapi damar, keruing, meranti, kelapa, manggrove hilang setiap hari dari permukaan bumi?
Jika kerusakan kecil itu tidak dihiraukan bagaimana pula mau meratapi hilangnya hutan Aceh seluas 2,5 juta hektare selama tahun-tahun rekonstruksi lalu? Lima tahun rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh menyebabkan hutan seluas Kawasan Ekosistem Leuser hilang. Ditambah lagi kerusakan lingkungan melalui proyek tambang yang semakin berular dan tak terkendali. Siapa pula yang bicara tentang sawitisasi dan menjadi penyumbang terbesar bencana saat musim hujan dan kemarau?
Maka jangan heran jika 145 konsesi tambang yang sedang mengerubungi Aceh saat ini tidak juga dianggap tindakan menista alam. Ekonomi sektor ekstraktif tanpa pengelolaan sepenuh tanggung jawab dan berbasis kepentingan sosial akan menjadi kiamat baru. Yang beruntung hanya elite penguasa dan pengusaha, yang diam-diam melakukan imperalisasi hasil bumi. Merekalah raja-raja kecil di tengah bahu kemelaratan masyarakat tempatan.
Maka, siapa yang mau membela masyarakat yang terdampak bencana lingkungan perusahaan seperti Exxon Mobil Arun dan Lafarge Cement Indonesia yang marak dalam pemberitaan selama ini? Selalu ada penyesuaian ilmiah untuk mengatakan bahwa limbah itu tidak merusak seperti yang dibayangkan awam. Padahal masyarakat terdampak (affected people) menerima neraka alam, menderita, dan frustrasi menunggu kompensasi korporasi.
Siapa pula peduli protes masyarakat atas arogansi perusahaan tambang dan perkebunan Lhoong Setia Mining (Aceh Besar) dan Kalista Alam (Nagan Raya) yang terdengar lamat-lamat di telinga pemerintah daerah. Respons baru muncul ketika kepedihan dan kerusakan semakin tak terpemanai. Kredo purba selalu bergema, exploitation de l’homme par l’homme, pengisapan manusia oleh manusia. Kekuasaan modal menghisap alam dan manusianya sekaligus.
Idealis dan oportunis
Ada dialektika global yang secara langsung atau tidak menyeret kita sebagai korban atau pelakunya. Gerakan penyelamatan lingkungan selalu baku-pukul dengan gerakan perusak lingkungan. Saat ini gerakan penyelamatan lingkungan masih satu-dua tingkat kalah secara modal, sosial, ilmiah, dan legal dengan korporasi plus negara perusak lingkungan. Masyarakat pun begitu, ada dua sisi yang terbelah melihat ini, tergantung seberapa idealis dan oportunis nilai dalam diri masyarakat itu.
Kelompok pro-lingkungan hidup selalu dituduh egois, tidak membumi, sekuler, anti-kemajuan, dan hanya mengabdi bagi kepentingan alam dibandingkan manusia. Padahal, jika kita melihat lebih dalam, tidak ada hak lingkungan kecuali semuanya kembali kepada manusia. Jika kita mengulik lagi, sesungguhnya hanya ada libido keserakahan dan sikap anti-humanistik yang dipraktikkan kelompok pembabat lingkungan.
Cairnya es abadi (permafrost) Artik di Kutub Utara, yang menyebabkan terjadinya pelepasan gas metana dalam jumlah besar akan mengubah postur bumi secara drastis 20-30 tahun ke depan. Gas metana diyakini memiliki kekuatan 25 kali lipat menahan radiasi panas matahari dibandingkan karbondioksida (Kompas, 21/9/2012). Sebuah keniscayaan bahwa bumi akan semakin panas dibandingkan abad-abad sebelumnya.
Apakah tidak terbersit bahwa kita diam-diam tergelincir sebagai pelaku kejahatan lingkungan atau menjadi korbannya? Untuk Aceh, kita juga lamat-lamat menatap bumi Serambi Mekkah sebagai gadis lusuh yang telah direnggut kegadisannya. Alam Aceh bukan lagi alam perawan. Kerusakan dan parut telah memenuhi tubuh mungilnya.
The nights are clear, but suffused with sloth and sullen expectation, tulis Arundhati dalam The God of the Small Things. Malam memang pasti menjelang, namun ia diselumuti kemalasan dan kemuraman. Ya, malam-malam hadir dengan rasa cekam akan bencana alam.
* Teuku Kemal Fasya , Peneliti dan Penulis Masalah Demokrasi dan Lingkungan Hidup. Email: kemal_antropologi2@yahoo.co.uk
Sumber : Serambi Indonesia, Foto : Ilustrasi-Google