Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, sudah lama dikenal karena memiliki pesona luar biasa, baik budaya maupun keindahan alamnya. Dataran...
Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, sudah lama dikenal karena
memiliki pesona luar biasa, baik budaya maupun keindahan alamnya.
Dataran tinggi yang memiliki ketinggian rata-rata 2.000 meter di atas
permukaan laut ini berada di Kabupaten Banjarnegara, Wonosobo, dan
Batang, Jawa Tengah. Kendati demikian, sebagian besar wilayah Dataran
Tinggi Dieng masuk wilayah Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara.
Keindahan
alam dan budaya yang tersimpan di Dataran Tinggi Dieng menjadikan
tempat ini dikenal dengan sebutan "negeri para dewa" karena secara
etimologi, nama Dieng berasal dari dua kata dalam bahasa Kawi, yakni
"di" yang berarti gunung atau tempat dan "hyang" yang mengandung makna
dewa.
Sebutan "negeri para dewa" ini diperkuat dengan banyaknya
peninggalan bersejarah berupa candi-candi yang menggunakan nama-nama
tokoh pewayangan dalam kisah Mahabarata.
Tidak hanya itu, di
Dataran Tinggi Dieng juga dapat ditemukan fenomena menarik karena banyak
terdapat anak-anak berambut gimbal atau gembel. Rambut gimbal yang
dimiliki oleh anak-anak itu bukan karena faktor kesengajaan, melainkan
terbentuk secara alami.
Pemangku adat masyarakat Dieng, Mbah
Naryono (62) mengatakan, anak-anak berambut gimbal ini adalah anak
bajang titipan Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan, red.). "Anak berambut
gembel berjenis kelamin laki-laki merupakan titisan Eyang Agung Kala
Dete, sedangkan yang perempuan titisan Nini Ronce Kala Prenye. Mereka
adalah titipan anak bajang dari Ratu Samudera Kidul," katanya.
Sebelum
rambut gimbalnya muncul, kata dia, anak tersebut biasanya
sakit-sakitan. Akan tetapi setelah gimbalnya tumbuh semua, lanjutnya,
anak berambut gimbal tersebut tidak lagi sakit-sakitan.
Menurut
dia, rambut gimbal tersebut dapat dihilangkan melalui upacara ruwatan
pemotongan rambut guna memohon kepada Tuhan agar memberi keselamatan dan
kesehatan bagi anak tersebut. "Rambut gimbal itu tidak bisa dipotong
sembarangan, harus melalui ruwatan. Kalau dipotong tanpa ruwatan, rambut
gimbalnya bakal muncul lagi," katanya.
Kendati demikian, dia
mengatakan, ruwatan rambut gimbal tersebut harus dilakukan atas
keinginan si anak, tidak boleh dipaksakan oleh orang tuanya. Selain itu,
kata dia, orang tua juga wajib memenuhi permintaan anak berambut gimbal
yang akan diruwat tersebut.
Terkait hal itu, Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata (Dinbudpar) Banjarnegara bersama Kelompok Sadar Wisata
(Pokdarwis) Dieng Pandawa, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, berupaya
memfasilitasi kegiatan ruwatan bagi anak-anak berambut gimbal di Dataran
Tinggi Dieng.
Kegiatan tersebut akan dikemas dalam ruwatan massal
anak berambut gimbal pada ajang "Dieng Culture Festival (DCF) III", 30
Juni hingga 1 Juli 2012. "DCF mendatang merupakan yang ketiga kalinya
sejak 2010 silam. Hingga saat ini, sebanyak lima anak berambut gimbal
dipastikan bakal mengikuti ruwatan. Seluruhnya berasal dari wilayah
Banjarnegara," kata Kepala Dinbudpar Banjarnegara Suyatno.
Ia
mengharapkan, DCF III dapat menjadi ajang promosi berbagai potensi yang
dimiliki Banjarnegara khususnya Dataran Tinggi Dieng yang selama ini
dianggap wisatawan berada di wilayah Kabupaten Wonosobo.
Menurut
dia, DCF III tidak hanya diisi dengan ruwatan massal anak berambut
gimbal, tetapi juga pergelaran kesenian tradisional masyarakat Dieng.
"Kami juga akan menggelar jalan sehat keliling kawasan wisata Dieng yang
dilanjutkan dengan minum Purwaceng (minuman khas Dieng, red.) bersama
dan pelepasan balon ’Visit Jateng 2013’. Kami berharap kegiatan ini
dapat mendukung program Tahun Kunjungan Wisata Jawa Tengah 2013,"
katanya.
Secara terpisah, Ketua Pokdarwis Dieng Pandawa Alif Faozi
mengatakan, jumlah anak berambut gimbal yang akan diruwat kemungkinan
akan bertambah.
Kendati demikian, dia mengatakan, pihaknya akan
menyesuaikan jadwal terlebih dahulu karena dikhawatirkan waktunya tidak
mencukupi jika jumlah anak yang akan diruwat terlalu banyak.
Menurut dia, anak-anak berambut gimbal tersebut telah mengajukan persyaratan yang harus dipenuhi jika rambutnya akan dipotong.
Ia
mengatakan, persyaratan yang diajukan berbeda-beda, tergantung
keinginan "indang" atau makhluk gaib yang mendampingi anak berambut
gimbal tersebut. "Persyaratan yang mereka ajukan di antaranya,
penyembelihan kambing ’gendot’ dan ada juga anak berambut gimbal yang
meminta anting-anting atau giwang emas," katanya.
Ia mengatakan,
permintaan anak berambut gimbal tersebut harus dipenuhi orang tuanya.
Akan tetapi jika orang tua tidak sanggup memenuhi permintaan anaknya,
kata dia, pemotongan rambut atau ruwatan belum bisa dilaksanakan.
Dalam
hal ini, dia mencontohkan seorang anak berambut gimbal dari Kecamatan
Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Muhammad Alfarizi Masaid (10) yang memiliki
rambut gimbal paling sempurna di antara anak-anak lainnya karena berupa
gimbal pari (gimbal padi yang memiliki ukuran paling kecil seperti
padi, red.).
Menurut dia, Rizi (panggilan akrab Muhammad Alfarizi
Masaid, red.) yang mendapat sebutan "raja gimbal" hingga saat ini belum
bersedia mengikuti ruwatan karena persyaratan yang diminta cukup berat.
"Rizi minta jika diruwat harus ada pergelaran Reog Ponorogo dan
Barongsai. Orang tuanya belum mampu memenuhinya karena biayanya sangat
mahal sehingga Rizi belum diruwat," katanya.
Lebih lanjut, dia
mengatakan, prosesi ruwatan rambut gimbal akan dilaksanakan pada 1 Juli
2012 di pelataran Candi Arjuna yang diawali dengan kirab anak berambut
gimbal dari halaman rumah Mbah Naryono.
Rencana ruwatan massal
anak berambut gimbal dalam rangkaian kegiatan DCF III ini menarik
perhatian wisatawan untuk menyaksikannya. Hal ini terlihat dari
banyaknya pemesanan kamar-kamar hotel maupun "homestay" di sekitar
Dataran Tinggi Dieng.
Staf Unit Pelaksana Teknis Dinbudpar Dieng,
Alif Rahman mengatakan, seluruh kamar hotel maupun "homestay" di sekitar
Dataran Tinggi Dieng telah habis dipesan oleh wisatawan yang inging
menyaksikan DCF III.
Menurut dia, pemesanan kamar oleh calon
wisatawan dari berbagai daerah di Jawa mulai mengalir sejak bulan Mei.
"Tiga kamar ’homestay’ milik saya juga telah dipesan semua," kata dia
yang memiliki "Homestay Mawar Merah".
Ia mengatakan, harga sewa
kamar "homestay" selama liburan sebesar Rp200 ribu per hari untuk kamar
dengan kamar mandi di dalam dan Rp150 ribu untuk kamar mandi di luar.
Oleh
karena kamar hotel maupun "homestay" telah habis dipesan, kata dia,
sejumlah wisatawan yang hendak menyaksikan DCF III telah mengajukan izin
untuk mendirikan tenda di kawasan perkemahan yang berlokasi di sekitar
Museum Kailasa Dieng. | Jodhi Yudono,Kompas.com