Ratusan pekerja kontrak PT. Pertamina EP Field Rantau yang tergabung didalam organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indo...
Ratusan pekerja kontrak PT. Pertamina EP Field Rantau yang tergabung
didalam organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia pada Federasi
Pertambangan dan Energi(FPE-KSBSI) Kab. Aceh Tamiang melakukan aksi unjuk rasa
yang bertepatan Hari Buruh Dunia (May Day), Selasa (1/5). Aksi itu diwarnai
kericuhan namun tidak berujung anarkis.
Aksi demonstrasi itu dikoordinir Ketua FPE-KSBSI M. Zen B dan sekretarisnya Adral, dimulai dari menyampaikan petisi di kantor Dinsosnakertrans Aceh Tamiang yang disambut Kepala Dinas Basyaruddin, SH. Sempat diwarnai ketegangan sehingga terjadi aksi saling dorong mendorong antara demonstran dengan pasukan huru hara Polres Aceh Tamiang. Aksi itu dipicu, karenamassa beramai-ramai memaksa masuk ke dalam
kantor tersebut. Kabag Ops. Kompol Muliadi, SH, MH meminta kepada demonstran
agar menyampaikan aspirasinya dengan tertib dan damai, kalau tidak aksi
tersebut akan dibubarkan secara paksa.
Kemudian dilanjutkan dengan menyampaikan petisi di Sekretariat Daerah Aceh Tamiang yang diterima Wakil Bupati H. Awaluddin. Aksi unjuk rasa itu dilakukan, buntut dari gugatan pekerja pekarya di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) Banda Aceh yang dimenangkan pekarya tersebut. Namun, PT. Pertamina EP Field Rantau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Inti poin petisi yang disampaikan antara lain, PT. Pertamina selaku BUMN taat pada hukum melaksanakan putusan yang telah ditetapkan Majelis Hakim PHI no. 02/PHI.G/2011/PN-BNA, 17 Januari 2012 yang menyatakan "Demi hukum status hubungan kerja antara para penggugat dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, beralih menjadi hubungan kerja para penggugat (pekerja) dengan tergugat (pemberi kerja)" atau status hubungan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) beralih menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Putusan PHI Banda Aceh juga didukung oleh Keputusan MK no. 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012 "Tentang penghapusan sistem outsourching di seluruh Indonesia. Sertasurat edaran Menakertrans RI
no. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang pelaksanaan putusan MK tersebut.
Gubernur Aceh diminta segera perintahkan pengawas ketenagakerjaan Propinsi maupun Kabupaten agar memeriksa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan manajemen PT. Pertamina Rantau. Gubernur dan Muspida ATAM agar mendesak PT. Pertamina Rantau menghentikan tindakan pembiaran dan PHK massal terhadap 249 orang pekerja pasca putusan PHI PN Banda Aceh. PT. Pertamina Rantau diminta membuat pernyataan bersama dengan Gubernur Aceh dan jajaran Muspida ATAM agar segera mempekerjakan kembali pekerja kontrak, karena dinilai melanggar Hukum dan HAM dan bertentangan dengan SE Menakertrans no. SE.03/MEN/III/2012, tanggal 22 Maret 2012 tentang pencegahan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sesuai Ratifikasi pada Konvensi International Labour Organization (ILO) no. 11/2004 tentang pekerjaan yang layak dan upah yang. Layak tanpa diskriminasi pekerjaan dan jabatan.
Sesuai UU-PA no. 11/2006, bab 1 pasal 1 ayat 2 "Aceh diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat", untuk itu Gubernur Aceh diminta segera memanggil manajemen PT. Pertamina atas pembiaran dan PHK masal kepada pekerja yang telah mengalami kerugian moril dan materil. Gubernur juga diminta menjalankan kewenangan khusus Pemerintah Aceh memberikan perlindungan, kenyamanan dan keadilan kepada tenaga kerja aceh dengan memerintahkan PT. Pertamina Rantau taat hukum atas putusan PHI tersebut.
Selanjutnya, Gubernur Aceh segera melaporkan ke Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono tentang permasalahan pekerja kontrak yang sudah mendapat kepastian hukum, tetapi manajemen PT. Pertamina Rantau tidak mengindahkan keputusan lembaga peradilan NKRI itu. Tindakan pembiaran dan PHK itu telah berlangsung sejak 17 Januari 2012 lalu.
Menyikapi polemik pekerja kontrak dengan PT. Pertamina, sejumlah kalangan praktisi hukum menilai Pemkab ATAM harus segera menyikapi persoalan ini secepat mungkin jangan berlarut-larut. Pemkab melalui Bupati sebagai kepala daerah sebagai mediator agar tidak terimbas menjadi perlakuan anarkis yang ditimbulkan dari pekerja, sehingga dampak negatifnya merugikan perusahaan dan pekerja itu sendiri. "Dalam menyikapi polemik ini dilihat dari aturan ketenagakerjaan, PT. Pertamina dan Peraturan Pemerintah sehingga akan menemukan solusi, selesaikan persoalan?," ujar salah seorang praktisi hukum.
Hasil pantauan Realitas, ratusan pekerja kontrak melanjutkan aksinya di gedung dewan yang terhormat dengan dikawal ketat aparat keamanan pasukan huru hara Polres ATAM. Disambut oleh Ketua dan anggota DPRK Aceh Tamiang. (Rico. F)
Aksi demonstrasi itu dikoordinir Ketua FPE-KSBSI M. Zen B dan sekretarisnya Adral, dimulai dari menyampaikan petisi di kantor Dinsosnakertrans Aceh Tamiang yang disambut Kepala Dinas Basyaruddin, SH. Sempat diwarnai ketegangan sehingga terjadi aksi saling dorong mendorong antara demonstran dengan pasukan huru hara Polres Aceh Tamiang. Aksi itu dipicu, karena
Kemudian dilanjutkan dengan menyampaikan petisi di Sekretariat Daerah Aceh Tamiang yang diterima Wakil Bupati H. Awaluddin. Aksi unjuk rasa itu dilakukan, buntut dari gugatan pekerja pekarya di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) Banda Aceh yang dimenangkan pekarya tersebut. Namun, PT. Pertamina EP Field Rantau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Inti poin petisi yang disampaikan antara lain, PT. Pertamina selaku BUMN taat pada hukum melaksanakan putusan yang telah ditetapkan Majelis Hakim PHI no. 02/PHI.G/2011/PN-BNA, 17 Januari 2012 yang menyatakan "Demi hukum status hubungan kerja antara para penggugat dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, beralih menjadi hubungan kerja para penggugat (pekerja) dengan tergugat (pemberi kerja)" atau status hubungan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) beralih menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Putusan PHI Banda Aceh juga didukung oleh Keputusan MK no. 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012 "Tentang penghapusan sistem outsourching di seluruh Indonesia. Serta
Gubernur Aceh diminta segera perintahkan pengawas ketenagakerjaan Propinsi maupun Kabupaten agar memeriksa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan manajemen PT. Pertamina Rantau. Gubernur dan Muspida ATAM agar mendesak PT. Pertamina Rantau menghentikan tindakan pembiaran dan PHK massal terhadap 249 orang pekerja pasca putusan PHI PN Banda Aceh. PT. Pertamina Rantau diminta membuat pernyataan bersama dengan Gubernur Aceh dan jajaran Muspida ATAM agar segera mempekerjakan kembali pekerja kontrak, karena dinilai melanggar Hukum dan HAM dan bertentangan dengan SE Menakertrans no. SE.03/MEN/III/2012, tanggal 22 Maret 2012 tentang pencegahan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sesuai Ratifikasi pada Konvensi International Labour Organization (ILO) no. 11/2004 tentang pekerjaan yang layak dan upah yang. Layak tanpa diskriminasi pekerjaan dan jabatan.
Sesuai UU-PA no. 11/2006, bab 1 pasal 1 ayat 2 "Aceh diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat", untuk itu Gubernur Aceh diminta segera memanggil manajemen PT. Pertamina atas pembiaran dan PHK masal kepada pekerja yang telah mengalami kerugian moril dan materil. Gubernur juga diminta menjalankan kewenangan khusus Pemerintah Aceh memberikan perlindungan, kenyamanan dan keadilan kepada tenaga kerja aceh dengan memerintahkan PT. Pertamina Rantau taat hukum atas putusan PHI tersebut.
Selanjutnya, Gubernur Aceh segera melaporkan ke Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono tentang permasalahan pekerja kontrak yang sudah mendapat kepastian hukum, tetapi manajemen PT. Pertamina Rantau tidak mengindahkan keputusan lembaga peradilan NKRI itu. Tindakan pembiaran dan PHK itu telah berlangsung sejak 17 Januari 2012 lalu.
Menyikapi polemik pekerja kontrak dengan PT. Pertamina, sejumlah kalangan praktisi hukum menilai Pemkab ATAM harus segera menyikapi persoalan ini secepat mungkin jangan berlarut-larut. Pemkab melalui Bupati sebagai kepala daerah sebagai mediator agar tidak terimbas menjadi perlakuan anarkis yang ditimbulkan dari pekerja, sehingga dampak negatifnya merugikan perusahaan dan pekerja itu sendiri. "Dalam menyikapi polemik ini dilihat dari aturan ketenagakerjaan, PT. Pertamina dan Peraturan Pemerintah sehingga akan menemukan solusi, selesaikan persoalan?," ujar salah seorang praktisi hukum.
Hasil pantauan Realitas, ratusan pekerja kontrak melanjutkan aksinya di gedung dewan yang terhormat dengan dikawal ketat aparat keamanan pasukan huru hara Polres ATAM. Disambut oleh Ketua dan anggota DPRK Aceh Tamiang. (Rico. F)