Pasca jatuhnya Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, kondisi traffic udara di Indonesia jadi sorotan. Sejumlah masalah mencuat ke perm...
Pasca jatuhnya Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, kondisi
traffic udara di Indonesia
jadi sorotan. Sejumlah masalah mencuat ke permukaan.
Catatan terpenting yang muncul dari diskusi di Polemik Sindo Radio di Warung Daun, Jakarta adalah teknologi di bandara, terutama Air Traffic Control (ATC) yang jauh dari memadai ditambah gangguan dari ketidakpatuhan sektor lain.
Keluhan soal teknologi ATC tersebut mencuat dari Jeffrey Adrian, pilot Garuda Indonesia. "Pilot asing selalu mengeluhkan, kalau masuk ke Indonesia itu mereka bilang seperti masuk ke neraka," cetusnya dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (12/5).
"Saya bisa dengar suara dangdut sampai jazz bocor ke atas, obrolan orang di telepon juga."
Hal tersebut, kata Jeffrey, terjadi salah satunya karena sejumlah radio dan penyedia jasa ponsel, baik GSM dan CDMA, memperluas jangkauan dengan memperkuat sinyal. Padahal, seharusnya hal tersebut dilakukan dengan menambah tower. "Jadinya sinyalnya bocor ke atas," keluhnya.
Pemerhati masalah penerbangan Samudra Sukardi menambahkan, tidak hanya sinyal radio dan ponsel yang salah. Teknologi yang digunakan di Indonesia juga jauh tertinggal. Untuk kasus kebocoran suara, Samudra mengatakan suara masuk ke cockpit tidak mengganggu instrumen penerbangan, tapi mengganggu komunikasi pilot dengan tower ATC.
"Sinyal itu ada high frequency (HF), very high frequency (VHF), dan ada ultra high frequency (UHF). Di negara-negara lain itu komunikasi pesawat sudah menggunakan yang sangat tinggi frekuensinya, tapi kita masih menggunakan HF. Ini jadi bercampur dengan radio dan ponsel," tukas Samudra yang juga adik dari mantan menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Catatan terpenting yang muncul dari diskusi di Polemik Sindo Radio di Warung Daun, Jakarta adalah teknologi di bandara, terutama Air Traffic Control (ATC) yang jauh dari memadai ditambah gangguan dari ketidakpatuhan sektor lain.
Keluhan soal teknologi ATC tersebut mencuat dari Jeffrey Adrian, pilot Garuda Indonesia. "Pilot asing selalu mengeluhkan, kalau masuk ke Indonesia itu mereka bilang seperti masuk ke neraka," cetusnya dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (12/5).
"Saya bisa dengar suara dangdut sampai jazz bocor ke atas, obrolan orang di telepon juga."
Hal tersebut, kata Jeffrey, terjadi salah satunya karena sejumlah radio dan penyedia jasa ponsel, baik GSM dan CDMA, memperluas jangkauan dengan memperkuat sinyal. Padahal, seharusnya hal tersebut dilakukan dengan menambah tower. "Jadinya sinyalnya bocor ke atas," keluhnya.
Pemerhati masalah penerbangan Samudra Sukardi menambahkan, tidak hanya sinyal radio dan ponsel yang salah. Teknologi yang digunakan di Indonesia juga jauh tertinggal. Untuk kasus kebocoran suara, Samudra mengatakan suara masuk ke cockpit tidak mengganggu instrumen penerbangan, tapi mengganggu komunikasi pilot dengan tower ATC.
"Sinyal itu ada high frequency (HF), very high frequency (VHF), dan ada ultra high frequency (UHF). Di negara-negara lain itu komunikasi pesawat sudah menggunakan yang sangat tinggi frekuensinya, tapi kita masih menggunakan HF. Ini jadi bercampur dengan radio dan ponsel," tukas Samudra yang juga adik dari mantan menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Editor : Yeddi
Sumber : mediaindonesia.com