Oleh : Rico Fahrijal Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Aceh sudah mulai memasuki persiapan sesuai tahapan – tahapan yang su...
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Aceh sudah mulai memasuki persiapan sesuai tahapan – tahapan yang sudah tetapkan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP), untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur akan serentak dilaksanakan 23 Kabupaten/Kota diseluruh Provinsi Aceh, sedangkan pemilihan Bupati/Wakil Bupati akan dilaksanakan hanya di 13 Kabupaten, serta pemilihan Walikota/ Wakil Walikota hanya akan dilaksanakan di 4 Pemerintahan Kota. Dengan demikian harus diakui bahwa, Pemilukada secara langsung di Aceh adalah merupakan yang terbesar di Indonesia, karena dilaksanakan serentak pada 09 April 2012 yang akan datang, dan ini merupakan yang kedua kalinya pelaksanaan Pemilukada secara langsung di Bumi Serambi Mekkah.
Walau dengan jumlah pemilih yang tidak seberapa dibandingkan dengan Provinsi Sumatera Utara umpamanya, namun dengan 23 Kabupaten/Kota, 161 Kecamatan dan 1.610 pemerintahan Gampong (Desa) di Provinsi Aceh, maka pelaksanaan Pemilukada di Aceh tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Terutama untuk kandidat Gubernur/Wakil Gubernur yang harus melaksanakan kampanye pada 23 Kabupaten/Kota yang secara geografis satu dengan yang lain sangat berjauhan. Sepertinya Media Lokal adalah pilihan yang sangat efektip untuk dapat dimanfaatkan sebagai corong agar visi dan misi dari para kandidat dapat diketahui atau dibaca oleh konstituen.
Disini lalu muncul pertanyaan kepada para pengelola pers di Aceh : seberapa konstribusi yang telah (juga “sedang” dan “akan”) diberikan oleh para pembuat opini di masyarakat tersebut untuk menyokong proses demokratisasi, terutama dengan momen Pemilihan Langsung Kepala Daerah ini. Apakah peran pers ini menunjukkan peran yang signifikan untuk mendorong proses demokratisasi; dimana masyarakat sebagai konstituen politik utama diberi informasi yang wajar dan berimbang atas berbagai kandidat tersebut-lepas dari berbagai perbedaannya dengan kontestan lain? Ataukah pers akan berpihak kepada salah satu calon dengan berbagai alasan dibelakangnya?
Dalam menyongsong Pilkada yang sukses salah satu pemegang kunci keberhasilan adalah peranan media, khususnya media lokal. Karena arus informasi yang cepat dan meluas didapat melalui media. Sebagai contoh barangkali dapat ditampilkan disini, pidato didepan seratus orang dalam suatu pertemuan oleh kandidat akan jadi sejuta orang apabila berpidato di media masa, dan berbeda pula hasilnya apabila acara pidato di depan konstituen itu diliput oleh media masa. Untuk itu media harus senantiasa benar – benar memainkan fungsinya sebagai pengontrol.
Persaingan para calon dalam bersosialisasi politik, tentu dilakukan dengan berbagai macam cara, dengan tujuan agar masyarakat pemilih bersimpati pada calon. Salah satu cara yang digunakan oleh calon adalah dengan memanfaatkan media dengan pendekatan Pemasaran mass marketing of public (politik kepada massa ) atau membuat rencana politik dengan memanfaatkan media masa. Salah satu bentuknya adalah dengan membuat iklan, memanfaatkan salah satu rubrik pada media cetak, model pemberitaan, membuat program atau mengisi acara sendiri dan lain – lain.
Biasanya model penulisan berita oleh media cetak lokal untuk masalah Pilkada cenderung dituliskan dalam bentuk berita langsung ( straight news), tidak banyak media yang membuat berita dalam bentuk analisis lebih mendalam (deep reporting) atau memetakan permasalahan Pilkada. Wilayah pemberitaannya hanya terjebak pada wacana para kandidat saja, unsur – unsur diluar itu tidak di analisis lebih jauh. Bentuk berita langsung tentu akan membuat publik melihat dari sisi luarnya saja, sehingga citra positif pada salah satu calon akan mengukir dibenak masyarakat. Setelah itu, dari hasil pembacaan media tadi masyarakat akan bersimpati, bahwa pasangan X baik dan bagus, sehingga sang calon lebih unggul 1 (satu) point dimata masyarakat. Penulisan berita dalam bentuk straight news bukan berarti tidak baik, akan tetapi dalam konteks Pilkada media cetak akan sempurna jika lebih banyak menganalisis atau memetakan masalah Pilkada lebih mendalam.
Penjualan rubrik oleh media cetak (Koran, tabloid, bulletin dan majalah), media radio kepada calon, yang kemudian isi rubrik tersebut hanya memuat kegiatan – kegiatan sosial kepada masyarakat. Kemudian ini disetting dengan sempurna, sehingga tidak terlihat tujuan media tersebut adalah mempromosikan salah satu calon melalui kegiatan sosial. Publik tentu akan mengasumsikan hal tersebut adalah murni berita. Padahal dibalik semua itu adalah kampanye politik agar publik bersimpati. Melalui suguhan berita yang menampilkan hal positifnya saja, publik tentu akan jatuh cinta kepada calon yang beritanya lebih banyak dimuat. Bayangkan jika seorang kandidat membeli dan mengisi rubrik pada media cetak lebih dari lima media yang ada, maka sang calon cenderung lebih familiar dimata masyarakat. Menjadi ironis memang, jika media hanya menjadikan Pilkada sebagai momentum untuk meraih laba yang besar, dan barang kali akan lebih ironis lagi apabila hanya kandidat yang saat ini masih menjabat sebagai kepala daerah saja yang mampu memanfaatkan kolom di media cetak untuk mengelu-elu diri dan menebar pesona.
Rico Fahrizal adalah Wartawan Harian Realitas
