HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Di Balik Awan

Oleh : Rina Mahfuzah Nst. Perempuan itu sering bercerita, betapa bahagianya dia hidup bersama suaminya. Sejak mereka mengikrarkan diri untu...

Oleh : Rina Mahfuzah Nst.

Perempuan itu sering bercerita, betapa bahagianya dia hidup bersama suaminya. Sejak mereka mengikrarkan diri untuk saling memahami dan mencintai di sebuah taman kota 16 tahun lalu sampai sekarang, cintanya masih tetap sama. Benarkah? Benar tidak berubah? Tanyaku disertai gurau. Dia mengangguk berulangkali dan aku tidak sanggup menahan rasa haruku, saat kulihat binar di matanya.
"Perkawinan kami tidak terhalang oleh waktu, begitu juga dengan cinta kami. Meski usia pernikahan kami sudah empat belas tahun, tapi kami masih saja merasa seperti sepasang pengantin baru,"

Tidak heran bila dia berkata seperti itu. Selama hampir sepuluh tahun aku mengenal perempuan itu, belum pernah kudengar ada kisruh di dalam rumah tangganya. Suaminya bukan tipe lelaki yang setelah pernikahan digelar, karuan saja menganggap diri sebagai seorang raja yang mesti dituruti semua perintahnya. Seperti halnya yang terjadi pada suamiku. Dia juga bukan tipe lelaki yang gampang membagi perasaan dan hatinya untuk perempuan selain istrinya. Seperti tabiat jelek yang dimiliki suamiku. Ada satu lagi yang sering dikatakan perempuan itu perihal suaminya; dia romantis dan penyayang! Itu yang tidak dimiliki suamiku!

"Abang tidak pernah cerewet soal makanan di rumah. Apa yang dimasak dan disediakan istrinya tidak pernah ditolaknya. Kalau tidak ada ikan atau daging, telur mata sapi pun dilahapnya," (Tentu berbeda jauh dengan kebiasaan suamiku yang suka dimasakin menu gulai ayam dan sambal balado).

Aku dan perempuan itu berada di satu kantor. Dia bertugas menangani pembelian barang di lantai satu dan aku bertugas sebagai sekretaris di lantai dua. Usia kami berbeda sepuluh tahun. Dia empat puluh dua dan aku tiga puluh dua tahun. Perbedaan usia itu tidak membuat jarak yang dalam di antara kami.

Saat istirahat makan siang, acapkali kami gunakan untuk saling bertukar cerita. Sambil menikmati menu makan siang kami. Kalau misalnya kemarin kami makan di rumah makan padang, hari ini kami pindah ke rumah makan yang lain. Menu nasi soto atau sop daging bisa menjadi pilihan kami.

Kadang terbersit rasa iri di hatiku, saat dia dijemput suaminya pulang dari kantor, sementara aku hanya bersendiri. Sebenarnya tidak bersendiri. Kalau aku naik beca bermotor, tentunya aku bersama dengan tukang beca bermotor yang membawaku. Kalau aku naik angkutan umum, tentulah aku bersama supir angkot dan para penumpangnya. Bukan bersama suamiku.

Hidup terus berjalan, tanpa henti. Begitu juga cinta perempuan itu terus terpatri untuk suaminya. Meski kini suaminya sudah tidak bekerja lagi. Suatu hari, dengan raut sedih dia bercerita kalau suaminya telah dipehaka oleh perusahaan tempatnya bekerja. Padahal suaminya telah bertugas sebagai collector di perusahaan itu selama tujuh belas tahun, tanpa pernah membuat satu kesalahan. Dengan dalih pergantian pimpinan dan manajemen baru, dia tersingkir oleh karyawan baru yang dipilih perusahaannya.

Tapi hari-hari selanjutnya, tetap kulihat tidak ada yang berubah dari perempuan itu. Baik dari segi selera makannya maupun urusan penampilannya. Dia masih saja mengajakku makan di tempat-tempat yang menurutku agak mahal untuk ukuran kantongku. Dia tetap sering belanja ke super market yang kebetulan dekat dengan kantor kami. Meskipun untuk sekedar membeli gula, teh, kecap atau garam dapur. Dia juga masih sering mengajakku shopping ke pusat perbelanjaan dan mengoleksi baju model terbaru. Dia pun sesekali masih suka facial dan meluruskan rambut ke salon langganannya.

"Puja, kenapa kau lebih sering bengong setiapkali kita shopping? Kalau ada yang kau suka, kenapa tidak kau beli?"tanyanya setiap melihatku hanya bengong di waktu dia sibuk memilah milih baju.

"Aku harus memanage uangku, Kak. Tidak bisa sembrono mengeluarkan uang. Harus kulihat seberapa besar kepentingannya buatku, baru kubeli. Rata-rata baju yang kupakai usianya sudah lebih satu tahun, bahkan ada yang berusia lima tahun. Sebenarnya aku sudah bosan. Mau bagaimana lagi? Apa aku harus sibuk bergaya, sementara keunganku tidak memungkinkan?"

Ddulu dilarang ibu. Seperti pengantin baru, karena sampai usia pernikahan mereka ke empat belas belum juga mreka dikaruniai seorang anak. Setelah turun dari sebuah angkutan umum, perempuan itu melanjutkan langkah menuju sebuah rumah kecil di dalam gang. Istana kecilnya bersama suaminya. Di jalan, beberapa anak sedang bermain dan berlarian. Ada yang menikmati jajanan. Ada pula yang bermain sepeda. Bersih, sehabis mandi. Dia tersenyum, melihat kegembiraan dan kepolosan mereka.

Tidak seorang pun yang tahu, tidak tetangga dan orang di sekitar, kecuali aku. Sebenarnya di hati perempuan itu paling terdalam, dia sangat merindukan kehadiran seorang anak dari rahimnya.

Pada jam pulang kantor seperti ini, beberapa ibu tampak duduk di bawah pohon mahoni di depan rumah Bu Tati. Setelah berbenah, mereka sering berkumpul dan bertukar cerita sambil menunggu azan maghrib tiba. Tak jarang, cerita mereka keterusan sampai lewat maghrib. Kalau sudah begitu, para suami mereka kerap memanggil mereka supaya segera pulang ke rumah masing-masing.

Kalau ada jalan lain menuju rumahnya, akan dia tempuh. Pandangan para tetangganya acapkali membuatnya risih. Seperti mengamat-amati dirinya. Mengamati pakaian yang dikenakannya. Rambutnya. Wajahnya. Begitu juga kantongan belanjaan yang dibawanya sepulang bekerja.

"Bajumu bagus sekali, Safna. Pasti kau beli di butik langgananmu ya?"

"Rambutmu baru habis direbonding ya, Na?"

"Kau habis mborong belanjaan apa, Na?"teguran Bu Tati, Bu Reni dan Bu Mirna menahan laju langkah kakinya. Mereka kompak melirik ke arah kantong plastik berlogo supermarket yang dibawanya.

"Ah, bukan memborong kok, Buk. Cuma belanja keperluan di rumah,"jawabnya sedikit kikuk.

"Safna, di rumah kau kan hanya berdua dengan suamimu, tapi kok tiap hari kau menenteng belanjaan, seperti di rumahmu banyak penghuninya?"Bu Erna menimpali.

"Kebetulan kantor saya dekat dengan supermarket, Buk. Jadi, keperluan kecil di rumah bisa saya beli di sana. Lagipula harganya tidak mahal,"jawab Safna lagi.

"Safna, kan orang kantoran, bergaji tiap bulan. Wajar lah kalau dia suka belanja. Tidak seperti kita. Perempuan rumahan. Belanja ke supermarket hanya sekali-sekali. Kalau sering-sering, bisa didamprat suami,"sahut Bu Tati. Ibu-ibu yang lain tertawa menanggapi.

"Permisi, Buk. Saya duluan,"ujar Safna melihat kesempatan untuk segera beranjak dari situ. Berhasil. Ibu-ibu tadi tidak menyisakan satu pertanyaan lagi kepadanya. a...."

"Kau membeli gula, teh dan garam saja mesti ke supermarket. Bagaimana ibu-ibu itu tidak sewot? Belanja di supermarket kan ada nilai prestisenya, beda kalau kau belanja di kedai di dalam gang ini,"

"Safna sudah jelaskan, kalau supermarketnya justru dekat dengan kantor Safna. Bukan karena alasan prestise, Bang,"

Mereka masuk ke dalam rumah. Langsung menuju ruang keluarga. Syalman mengangsurkan segelas teh manis untuk istrinya. Takjub Safna meraih gelas dari tangan suaminya.

"Makasih ya, Bang. Abang sudah repot menyediakan teh untuk Safna. Seharusnya, kan Safna yang membuatkan untuk abang," katanya sambil meletakkan gelas yang hampir kosong.

"Kau pasti lelah bekerja seharian. Tidak ada ruginya bila abang memperhatikanmu. Justru kaulah yang selama ini banyak berperan di dalam rumah tangga kita, Safna,"

Safna tidak menyahut. Segera bergegas menuju ke kamar mandi. Tidak membiarkan suaminya melanjutkan omongan bernada serupa tadi. Di kamar mandi, ada rasa perih menyiram hatinya, saat mengingat ucapan suaminya. Memang, sudah hampir satu tahun suaminya tidak lagi bekerja. Mereka hidup dari penghasilan Safna sebagai seorang karyawati di sebuah perusahaan kontraktor.

Safna bukan tidak merasa seperti apa pandangan orang terhadap dirinya, terutama para ibu-ibu. Mungkin mereka menertawainya, karena dia yang harus mencari nafkah untuk keluarga. Tidak. Dia tidak merasa itu menjadi halangan besar. Dia tidak perduli cibiran orang terhadapnya. Bahkan dia tetap mengurus dirinya dengan baik. Penampilannya. Dari rambut, wajah, kaki dan caranya berpakaian. Dia justru ingin orang melihat, meskipun suaminya tidak bekerja, bukan berarti hidup mereka jadi terpuruk dan tidak bisa bergaya.

"Abang tahu kalau semua orang menyangka abang suami komersil. Membiarkanmu bekerja mencari uang untuk hidup kita. Abang juga sebenarnya tidak ingin seperti ini, tapi apa yang bisa abang lakukan sejak dipehaka? Usia abang sudah 42 tahun dan semua surat lamaran pekerjaan abang ditolak,"seperti tahu apa yang sedang berkecamuk di benak Safna, bang Syalman mengutarakan perasaannya saat mereka rebahan di tempat tidur.

Safna mendengar keriuhan yang dirasakan suaminya di dalam hatinya, tapi entah kenapa dia lebih ingin mendengar sebuah suara yang tiba-tiba terdengar dari kejauhan dan samar-samar tertangkap telinganya. Suara tangis seorang bayi. Bayi siapakah yang sedang menangis itu?

"Abang dengar suara itu? Sangat indah kedengarannya. Seperti suara kerinduan dari lubuk hati kita yang paling dalam. Begitu nyaring. Begitu menyentuh hati perempuanku."

* * *

Sibuk tak menentu. Ganti keramik. Pasang gypsum. Beli Jepara. Beli tivi 29 inchi. Beli baju. Ikut arisan. Sedikit-dikit bosan. Makan ini itu bosan.

"Kalau aku yang penting makan harus ada sambalnya. Tidak ada daging, telur pun jadi. Gak masalah, kakak liat sendiri aku tetap sehat dan badanku tetap berisi,. Tidak kurus ceking meski banyak masalah yang kualami,"

"Aku harus memanage uangku, Kak. Tidak bisa sembrono mengeluarkan uang. Harus kulihat seberapa besar kepentingannya buat aku dulu."

"Baju yang kupakai usianya sudah empat tahun. Sebenarnya aku sudah bosan. Mau bagaimana lagi? Apa aku harus begaya, sementara keunganku tidak memungkinkan?"

"Din, apakah rasa kehilangan akan muncul sebagai resiko bagi hati yang mencintai seseorang dengan sangat dalam?"tanya perempuan itu dengan kesedihan masih menggelayut di wajahnya.

"Setiap sesuatu yang kita cintai, apapun dan kepada siapapun harus kita sisakan sebuah ruang yang bernama resiko, bila suatu saat kita akan kehilangannya. Tidak ada yang abadi, meski kita mengikrarkan cinta abadi kepada seseorang dan diri kita sendiri," jawabku seraya membayangkan getir yang sedang dirasakan perempuan itu.

Saat ini, hal tersulit baginya adalah menerima arti kehilangan. Belum berselang lama, suaminya meninggal dunia tanpa sedikitpun memberikan tanda-tanda untuk kepergiannya yang tak terduga. Seperti pohon tercerabut dari akarnya, rasa kehilangan itu begitu hebat mengiringi denyut kehidupannya.

Perempuan itu duduk di beranda rumah, saat matahari akan berlindung di balik bukit. Dalam tatapannya ada luka dan air mata. Dia menatap jauh ke angkasa. Mengitari langit. Menembus awan putih di kejauhan. Seolah di balik awan tersembunyi sebuah ruangan. Sebuah tempat yang dihuni oleh seorang laki-laki yang sangat dirindukannya, yang hanya dapat tertembus oleh sinar matanya.

Kapan lagi dia dapat menikmati senja seperti ini, bersama lelaki yang cintanya terus melekat di hatinya? Kapan lagi dia akan merasakan kebahagiaan, saat lelaki itu merengkuhnya dan menciumnya dengan penuh kasih? Kapan lagi dia dapat bertemu dengan lelaki itu dan hidup bersamanya?