HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Antara Dendam dan Maaf

Oleh : Fakhrurrazi M. Yunus KETIKA seseorang ditimpa sesuatu yang buruk terhadap dirinya akibat tindakan orang lain, biasanya akan membe...

Oleh : Fakhrurrazi M. Yunus

KETIKA seseorang ditimpa sesuatu yang buruk terhadap dirinya akibat tindakan orang lain, biasanya akan memberikan reaksi negatif. Dalam hatinya akan muncul perasaan dendam, dan ingin membalasnya, bahkan dengan balasan atau tindakan yang lebih berat dan buruk dari pada apa yang telah menimpanya itu.

Perilaku seperti ini kerap kita saksikan terjadi di tengah masyarakat kita di Aceh, yang telah sekian lama didera konflik. Bahkan, yang terbaru adalah konflik pilkada, yang kemudian memunculkan aksi balas dendam. Apakah itu dendam politik, dendam keluarga, dendam kelompok dan sebagainya. Seolah balas demdam adalah satu-satunya cara untuk memuaskan hati dan menenangkan jiwa.

Lalu pertanyaannya adalah, apakah dengan membalas tindakan buruk atau kajahatan yang menimpa kita lantas perasaan dendam itu akan hilang? Jawabannya, tidak! Atau, apakah setelah membalas perlakuan buruk dengan yang lebih buruk, perasaan dendam itu akan hilang? Sekali lagi, jawabanya tetap tidak!

Perasaan dendam tidak akan hilang walaupun perbuatan buruk telah dibalas dengan tindakan yang lebih buruk. Perasaan negatif itu akan terus muncul tanpa mampu dibendung. Puncaknya adalah salah satu atau kedua belah pihak yang saling dendam, akan terjadi saling balas, bahkan sampai ada yang jatuh korban.

Akhirnya wujud permusuhan yang berpanjangan akan merambat kepada permusuhan keluarga, kelompok, partai dan sebagainya. Dapat kita bayangkan apa yang terjadi sekiranya semua orang bertindak demikian dalam satu negara, tentu, tidak akan ada kehidupan yang damai yang menjadi dambaan semua umat manusia.

Menjadi pemaaf
Langkah yang sesuai yang harus kita ambil terhadap perlakuan buruk akibat tindakan orang lain adalah sebagaimana diajarkan Islam, yaitu dengan menjadi pemaaf. Orang yang mampu memaafkan orang lain akan terlepas dari belenggu perasaan dendam yang terus menyiksa batinnya. Tentu bukan hal yang menyenangkan menyimpan bara dendam dalam hati kita.

Menyimpan dendam sama dengan menanam bara api yang pada saat-saat tertentu akan membakar segala yang ada disekelilingnya jika tidak kita siram dengan butir-butir air kemaafan. Lalu langkah selanjutnya adalah bersabar terhadap apa yang menimpa kita. Maka kebahagian akan muncul mewarnai jiwa. Sebab memaafkan dan kesabaran hanya lahir dari hati yang bahagia.

Allah SWT telah memberikan bimbingan kepada Rasulullah SAW dan umat Islam melalui firmanNya: “Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. An-Nahl : 126).

Menurut riwayat dari Abu Hurairah, ayat ini turun ketika Rasulullah SAW melihat jenazah Hamzah RA yang gugur sebagai syahid dalam perang Uhud dengan keadaan tubuhnya yang memprihatinkan. Siapa yang tidak teriris dan terbakar hatinya, menyaksikan jenazah tubuh seseorang yang sangat beliau cintai dengan dada terbelah dan jantung yang telah tercabut dari tempatnya.

Seketika itu Rasulullah SAW berucap, sungguh aku akan mambalas demdam kepada orang-orang kafir, sungguh aku benar-benar akan membunuh tujuh puluh orang dari mereka. Lalu turunlah ayat tadi, di mana Allah mengingatkan Nabi Muhammad SAW untuk bersabar dan membatalkan niat untuk membalas dendam terhadap orang kafir yang telah membunuh paman beliau.

Dari kisah ini dapat kita ambil pelajaran bahwa betapa seorang Rasulullah SAW yang seorang Nabi pun dapat tergoda nafsu angkara murka untuk membalas dendam terhadap orang yang telah membunuh paman beliau. Namun berkat wahyu dari Allah SWT, beliau mampu membuang jauh nafsu angkara murkanya, dan dengan lapang dada bersabar atas apa yang menimpa beliau.

Tidak mudah
Memang bukan sesuatu yang mudah untuk menjadi seorang pemaaf. Pemaaf adalah suatu kata yang mudah diucapkan tapi susah untuk di-implementasikan dalam kehidupan kita. Untuk dapat dikatakan sebagai Pemaaf, seseorang harus mampu memaafkan kesalahan orang lain tanpa harus melihat lagi apakah kesalahan tersebut yang disengaja ataupun tidak disengaja, sadar atau tidak sadar, besar atau kecil.

Seorang yang dikatakan pemaaf tidak akan memilih-milah kesalahan-kesalahan mana saja yang pantas untuk dimaafkan dan kesalahan-kesalahan mana saja yang tidak bisa untuk dimaafkan. Secara arif dia akan memaafkan semua kesalahan-kesalahan orang lain kepada dirinya tanpa syarat.

Sebagaimana sifat-sifat manusia yang lain, sifat pemaaf yang dimiliki manusia tidak datang secara sendirinya. Oleh karenanya, agar sifat pemaaf tumbuh dalam diri seseorang maka sifat itu haruslah dilatih secara rutin dan terus menerus. Salah satunya adalah dengan latihan dan mempraktikkan “pemaaf” itu dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian “pemaaf” akan menjadi suatu kebiasaan bagi diri seseorang dan memaafkan adalah bukan sesuatu yang aneh dalam hidupnya. Sehingga merasa rendah diri karena harus memaafkan kesalahan orang telah menzaliminya. Justru sebaliknya, dengan menjadi pemaaf orang lain akan menganggap kita sebagai orang yang berjiwa besar dan berbudi luhur.

Suatu saat, Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabatnya: “Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan di akhirat kelak? Maafkanlah orang yang menzalimimu; Berilah orang yang mengharamkan hartanya untukmu, dan; Sambunglah silaturrahim orang yang memutuskannya!”***

* Penulis adalah wiraswasta, tinggal di Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh (Sumber : Serambi Online).