Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Aceh Tamiang, dr Mariansuhadi bersama dua Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Dinas Kesehatan (Dink...
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Aceh Tamiang, dr Mariansuhadi bersama dua Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh Tamiang, diperiksa tim jaksa penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Kamis (13/10). Sedangkan rekanan proyek pengadaan alat kesehatan yang juga dipanggil tidak hadir.
Kajati Aceh, H Muhammad Yusni SH MH didampingi Kasi Penkum/Humas Kejati, Amir Hamzah SH kepada Serambi, kemarin, mengatakan, pengusutan kasus dugaan korupsi pada proyek pengadaan Alat kesehatan (Alkes) RSUD Aceh Tamiang yang dibiayai dengan dana APBN Tahun 2010 sebesar Rp 8.842.363.000 akan terus dilanjutkan.
Bahkan, sampai saat ini tim penyidik kejaksaan sudah memintai keterangan sebanyak 13 orang.
“Mereka yang diperiksa itu semuanya sebagai saksi, dan belum ada satu pun yang ditetapkan sebagai tersangka. Karena untuk menetapkan tersangka seseorang tidak gampang dan membutuhkan bukti kuat,” katanya. Dari 13 saksi yang sudah diperiksa itu, tiga diantaranya menjalani pemeriksaan kemarin yaitu, Direktur RSUD Aceh Tamiang dr Mariansuhadi, Mardansyah (PPK) dan T Mustari (PPK). “Mereka ini hanya ditanyai seputar masalah pengadaan Alkes itu,” katanya.
Sebenarnya dalam pemeriksaan kemarin, ungkap sumber di Kejati Aceh, ada empat orang yang dipanggil untuk dimintai keterangan. Namun seorang diantaranya mangkir alias tidak hadir dengan alasan tidak jelas. “Yang tidak hadir itu adalah rekanan pelaksana proyek itu. Dan jaksa penyidik akan melayangkan surat pemanggilan kedua terhadap yang bersangkutan,” katanya.
Pemeriksa ketiga saksi kemarin, berlangsung di ruang tertutup baik dilantai I maupun di lantai II Gedung Kejaksaan Tinggi Aceh yang berada di kawasan Batoh, Banda Aceh. Seperti diketahui, proyek dengan pagu awal sebesar Rp 9 miliar. Kemudian dalam proses tender CV FK yang keluar sebagai pemenang melakukan penawaran sebesar Rp 8,842 miliar lebih. Lalu dalam pelaksanaannya perusahaan pemenang tersebut tidak membeli dan memasukkan barang sesuai speks yang telah ditawarkan dalam proses tender.
Tindakan ini dilakukan perusahaan itu lantaran adanya adendum kontrak yang dilakukan pihak Dinas Kesehatan atas pekerjaan tersebut. “Anehnya adendum itu dilakukan tidak tanggung-tanggung semua speks dirubah. Ini kan janggal sekali dan tidak lazim, maka kami menduga ada permainan dalam kasus ini,” ujar Muhammad Yusni yang juga turut didampingi Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis SH.
Dengan tindakan tersebut, maka untuk sementara pihak tim penyelidik menyimpulkan telah terjadi tindak pidana korupsi dengan indikasi kerugian negara Rp 8,8 miliar lebih, karena semua dananya telah dicairkan 100 persen. (M. Nasir/SI).
Kajati Aceh, H Muhammad Yusni SH MH didampingi Kasi Penkum/Humas Kejati, Amir Hamzah SH kepada Serambi, kemarin, mengatakan, pengusutan kasus dugaan korupsi pada proyek pengadaan Alat kesehatan (Alkes) RSUD Aceh Tamiang yang dibiayai dengan dana APBN Tahun 2010 sebesar Rp 8.842.363.000 akan terus dilanjutkan.
Bahkan, sampai saat ini tim penyidik kejaksaan sudah memintai keterangan sebanyak 13 orang.
“Mereka yang diperiksa itu semuanya sebagai saksi, dan belum ada satu pun yang ditetapkan sebagai tersangka. Karena untuk menetapkan tersangka seseorang tidak gampang dan membutuhkan bukti kuat,” katanya. Dari 13 saksi yang sudah diperiksa itu, tiga diantaranya menjalani pemeriksaan kemarin yaitu, Direktur RSUD Aceh Tamiang dr Mariansuhadi, Mardansyah (PPK) dan T Mustari (PPK). “Mereka ini hanya ditanyai seputar masalah pengadaan Alkes itu,” katanya.
Sebenarnya dalam pemeriksaan kemarin, ungkap sumber di Kejati Aceh, ada empat orang yang dipanggil untuk dimintai keterangan. Namun seorang diantaranya mangkir alias tidak hadir dengan alasan tidak jelas. “Yang tidak hadir itu adalah rekanan pelaksana proyek itu. Dan jaksa penyidik akan melayangkan surat pemanggilan kedua terhadap yang bersangkutan,” katanya.
Pemeriksa ketiga saksi kemarin, berlangsung di ruang tertutup baik dilantai I maupun di lantai II Gedung Kejaksaan Tinggi Aceh yang berada di kawasan Batoh, Banda Aceh. Seperti diketahui, proyek dengan pagu awal sebesar Rp 9 miliar. Kemudian dalam proses tender CV FK yang keluar sebagai pemenang melakukan penawaran sebesar Rp 8,842 miliar lebih. Lalu dalam pelaksanaannya perusahaan pemenang tersebut tidak membeli dan memasukkan barang sesuai speks yang telah ditawarkan dalam proses tender.
Tindakan ini dilakukan perusahaan itu lantaran adanya adendum kontrak yang dilakukan pihak Dinas Kesehatan atas pekerjaan tersebut. “Anehnya adendum itu dilakukan tidak tanggung-tanggung semua speks dirubah. Ini kan janggal sekali dan tidak lazim, maka kami menduga ada permainan dalam kasus ini,” ujar Muhammad Yusni yang juga turut didampingi Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis SH.
Dengan tindakan tersebut, maka untuk sementara pihak tim penyelidik menyimpulkan telah terjadi tindak pidana korupsi dengan indikasi kerugian negara Rp 8,8 miliar lebih, karena semua dananya telah dicairkan 100 persen. (M. Nasir/SI).