Ilustrasi | Google Apa yang terbayang pertama sekali begitu disebut "mimbar politik"? Besar kemungkinan itu adalah tempat oran...
![]() |
Ilustrasi | Google |
Apa yang terbayang pertama sekali begitu disebut "mimbar politik"? Besar kemungkinan itu adalah tempat orang-orang menyampaikan pandangan, sikap, ajakan, dan seruan politiknya. Tapi bagaimana dengan "politik (di) mimbar (jumat)"?
Untuk yang pertama tentu tidak ada "dakwa dakwi di antara kita." Dan, jika pun terjadi ketegangan politik di arena mimbar politik pasti bisa dimaklumi. Tapi, bagaimana dengan melakukan politik (di) mimbar (jumat)? Jawabannya, tentu beragam, termasuk beragam peristiwa-peristiwa yang menyertai dinamika perkembangan zaman terkait kegiatan politik (di) mimbar (jumat).
Tentu masih segar di ingatan kita bagaimana dasyatnya kedudukan mimbar khutbah jumat bagi orang-orang muda di Mesir. Melalui mimbar-mimbar jumatlah gagasan revolusi rakyat di "olah" yang pada akhirnya berhasil menggalang semua kalangan rakyat untuk berkumpul di Tahrir Square guna untuk satu maksud "menggulingkan Husni Mubarak."
Jauh sebelumnya, revolusi Islam Iran juga di didik dari mimbar khutbah jumat. Dari pengalaman ini juga yang kemudian melahirkan kebijakan "keras" dari banyak penguasa di Timur Tengah untuk mengontrol kegiatan dan isi khutbah yang disampaikan di mimbar jumat.
Maka, sangat wajar manakala ada banyak ulama di Libya yang kemudian membuka borok rezim di bawah Qaddafi yang melakukan pembungkaman kepada siapa saja yang mencoba tidak sejalan dengan sosialismenya Qaddafi. Dan, kini setelah Qaddafi berhasil dipatahkan semua ulama "menikmati" aksi kecam Qaddafi, termasuk melalui mimbar jumat juga.
Itulah kekuatan politik (di) mimbar (Khutbah Jumat). Jauh sebelumnya lagi, mimbar khutbah jumat juga pernah digunakan sebagai media politik untuk saling mengecam, membela, dan melakukan klaim kebenaran dan menjelaskan keberpihakan.
Dalam catatan sejarah Islam tercatat betapa mimbar khususnya di hari jumat banyak digunakan baik oleh mereka yang pro Muawiyah maupun oleh mereka yang pro Ali bin Abi Thalib a.s dan Imam Hasan bin Ali a.s untuk menyerang dan membela diri. Melakukan klaim dan membantahnya untuk melawan propaganda.
Tidak hanya di Mesir dan Libya. Tapi juga di Palestina. Semua majelis, forum, dan mimbar termasuk mimbar shalat jumat dan mimbar shalat id digunakan untuk kegiatan-kegiatan politik guna menggelorakan semangat perlawanan terhadap Israel, dan terakhir melalui mimbar shalat id juga diperkenalkan istilah politik perlawanan yakni 'id revolusi.
Bagaimana dengan politik (di) mimbar (jumat) di Indonesia? Tidak jauh berbeda. Pada masa lalu, mimbar jumat juga digunakan oleh ulama, tokoh politik, dan kaum pejuang untuk menggelorakan semangat perjuangan melawan kolonialis Belanda. Maka tidak jarang ada banyak juru kutbah ditangkap karena dianggap menghasut dan menimbulkan kebencian bagi Belanda.
Lantas, bagaimana dengan keadaan pada masa kini? Merujuk pada sebuah penelitian yang dilakukan CSRC (Center for the Study of Religion and Culture) pada 2008-2009 yang kemudian hasilnya dijadikan buku pada 2010 terungkap bahwa kegiatan khutbah jumat (khususnya di Jakarta) jauh lebih moderat meski tetap saja ada khutbah jumat yang berisi pesan ibadah dikaitkan dengan keadaan sosial-politik dengan topik-topik yang keras, seperti isu jihad melawan non-Muslim/Barat/sekuler dan isu mendirikan Khalifah Islamiyah sebagai kewajiban.
Di Aceh? Belum ada (?) satu studi yang dilakukan untuk menjelaskan bagaimana mimbar khutbah jumat digunakan di Aceh. Apakah lebih moderat atau lebih panas. Dari pengalaman pribadi masih terasa biasa-biasa saja dan kalaupun mengandung pesan yang keras dia dikemas dengan sangat santun dan cerdas. Alias tidak disampaikan dengan tudingan dan penuh provokasi. Jamaah shalat jumatlah yang kemudian mengambil kesimpulan masing-masing atas isi khutbah yang ada. Saat sekarang, melalui media sosial, perasaan dan penilaian terhadap isi khutbah jumat langsung bisa terbaca lewat status yang ditulis di media sosial, seperti facebook dan twitter.
Pada akhirnya, semua pihak memang melihat adanya kekuatan dasyat pada firman Allah dalam surah al-jumu'ah berikut:"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi. Carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (Q.S. Al-Jumu’ah [62]: 9-10)
Bagaimana mewujudkan kekuatan shalat jumat, dan ke arah mana kekuatan itu diwujudkan sangat tergantung kepada pahamanan keislaman sang khatib, latar belakang pendidikan dan keilmuan sang khatib, termasuk juga keadaan dan kebiasaan yang berlaku di suatu tempat, juga bagaimana rezim memperlakukan kebijakannya.
Hanya saja dari sejarah kita tahu kalau Khutbah Jumat pernah diatur ulang sehingga tidak digunakan sebagai media menyerang, mengecam dan mencaci pihak lain. Salah satunya adalah pengaturan yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz kala menjadi Khalifah, yang kabarnya dilakukan dengan sangat cerdas sehingga tidak menimbulkan pertentangan baik secara politik maupun secara kaedah keagamaan.
Untuk itu sangat penting untuk mengingat dan memahami apa yang sering di dengar pada saat khatib membacakan ayat "Innallâha ya`muru bil ‘adli wa ihsân wa îtâidzil qurbâ wa yanha ‘anil fahsyâ wal munkar wal bagh. Ya’izhukum la’allakum tadzakkarûn." Ayat dari Surah An-Nahl ayat 90 ini mengandung arti "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat. Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl: 90)
Kabarnya, dibacakannya ayat ini oleh khatib pada Khutbah Jumat adalah anjuran dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mencegah adanya ucapan yang mencaci dan melaknat, yang pada masa sebelumnya ditujukan kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Begitu kerasnya kecaman kepada Ali sehingga tercipta sebuah syair yang berbunyi: "di atas mimbar mereka mencacinya, padahal dengan pedangnya, mimbar ditegakkan."
Jika Umar pada masanya menemukan solusi cerdas untuk mengatasi adanya pemanfaatan mimbar khutbah jumat untuk kegiatan-kegiatan propaganda yang bisa menghancurkan sendi-sendi kekhalifan tentu saja Aceh, melalui pemerintahannya, juga bisa mengelola potensi besar jumat untuk memperkuat dan meningkatkan pesan utama Khutbah Jumat, yakni ketakwaan.
Dengan basis ketakwaan sendi-sendi demokrasi keacehan juga bisa lebih dikuatkan untuk satu kata, memperkuat Aceh Damai dibawah pemerintahan yang didukung oleh rakyat dan seluruh kekuatan politik yang ada dan semua berlomba untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Tentu kita semua tidak ingin ada pihak-pihak yang menyadari potensi besar di kewajiban shalat jumat dan kemudian menjadikannya sebagai "kartu as" untuk politik. Moga saja, tidak demikian adanya. Amin
*Penulis adalah analis sosial - politik, berdomisili di Banda Aceh
Bagaimana dengan politik (di) mimbar (jumat) di Indonesia? Tidak jauh berbeda. Pada masa lalu, mimbar jumat juga digunakan oleh ulama, tokoh politik, dan kaum pejuang untuk menggelorakan semangat perjuangan melawan kolonialis Belanda. Maka tidak jarang ada banyak juru kutbah ditangkap karena dianggap menghasut dan menimbulkan kebencian bagi Belanda.
Lantas, bagaimana dengan keadaan pada masa kini? Merujuk pada sebuah penelitian yang dilakukan CSRC (Center for the Study of Religion and Culture) pada 2008-2009 yang kemudian hasilnya dijadikan buku pada 2010 terungkap bahwa kegiatan khutbah jumat (khususnya di Jakarta) jauh lebih moderat meski tetap saja ada khutbah jumat yang berisi pesan ibadah dikaitkan dengan keadaan sosial-politik dengan topik-topik yang keras, seperti isu jihad melawan non-Muslim/Barat/sekuler dan isu mendirikan Khalifah Islamiyah sebagai kewajiban.
Di Aceh? Belum ada (?) satu studi yang dilakukan untuk menjelaskan bagaimana mimbar khutbah jumat digunakan di Aceh. Apakah lebih moderat atau lebih panas. Dari pengalaman pribadi masih terasa biasa-biasa saja dan kalaupun mengandung pesan yang keras dia dikemas dengan sangat santun dan cerdas. Alias tidak disampaikan dengan tudingan dan penuh provokasi. Jamaah shalat jumatlah yang kemudian mengambil kesimpulan masing-masing atas isi khutbah yang ada. Saat sekarang, melalui media sosial, perasaan dan penilaian terhadap isi khutbah jumat langsung bisa terbaca lewat status yang ditulis di media sosial, seperti facebook dan twitter.
Pada akhirnya, semua pihak memang melihat adanya kekuatan dasyat pada firman Allah dalam surah al-jumu'ah berikut:"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi. Carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (Q.S. Al-Jumu’ah [62]: 9-10)
Bagaimana mewujudkan kekuatan shalat jumat, dan ke arah mana kekuatan itu diwujudkan sangat tergantung kepada pahamanan keislaman sang khatib, latar belakang pendidikan dan keilmuan sang khatib, termasuk juga keadaan dan kebiasaan yang berlaku di suatu tempat, juga bagaimana rezim memperlakukan kebijakannya.
Hanya saja dari sejarah kita tahu kalau Khutbah Jumat pernah diatur ulang sehingga tidak digunakan sebagai media menyerang, mengecam dan mencaci pihak lain. Salah satunya adalah pengaturan yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz kala menjadi Khalifah, yang kabarnya dilakukan dengan sangat cerdas sehingga tidak menimbulkan pertentangan baik secara politik maupun secara kaedah keagamaan.
Untuk itu sangat penting untuk mengingat dan memahami apa yang sering di dengar pada saat khatib membacakan ayat "Innallâha ya`muru bil ‘adli wa ihsân wa îtâidzil qurbâ wa yanha ‘anil fahsyâ wal munkar wal bagh. Ya’izhukum la’allakum tadzakkarûn." Ayat dari Surah An-Nahl ayat 90 ini mengandung arti "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat. Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl: 90)
Kabarnya, dibacakannya ayat ini oleh khatib pada Khutbah Jumat adalah anjuran dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mencegah adanya ucapan yang mencaci dan melaknat, yang pada masa sebelumnya ditujukan kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Begitu kerasnya kecaman kepada Ali sehingga tercipta sebuah syair yang berbunyi: "di atas mimbar mereka mencacinya, padahal dengan pedangnya, mimbar ditegakkan."
Jika Umar pada masanya menemukan solusi cerdas untuk mengatasi adanya pemanfaatan mimbar khutbah jumat untuk kegiatan-kegiatan propaganda yang bisa menghancurkan sendi-sendi kekhalifan tentu saja Aceh, melalui pemerintahannya, juga bisa mengelola potensi besar jumat untuk memperkuat dan meningkatkan pesan utama Khutbah Jumat, yakni ketakwaan.
Dengan basis ketakwaan sendi-sendi demokrasi keacehan juga bisa lebih dikuatkan untuk satu kata, memperkuat Aceh Damai dibawah pemerintahan yang didukung oleh rakyat dan seluruh kekuatan politik yang ada dan semua berlomba untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Tentu kita semua tidak ingin ada pihak-pihak yang menyadari potensi besar di kewajiban shalat jumat dan kemudian menjadikannya sebagai "kartu as" untuk politik. Moga saja, tidak demikian adanya. Amin
*Penulis adalah analis sosial - politik, berdomisili di Banda Aceh
Sumber : The Atjeh Post