Ilustrasi | Google Penyidik Polres Aceh Tamiang kembali menyerahkan berkas kasus berkebun di Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) di Desa R...
![]() |
| Ilustrasi | Google |
Penyidik Polres Aceh Tamiang kembali menyerahkan berkas kasus berkebun di Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) di Desa Rongo, Kecamatan Tamiang Hulu, Aceh Tamiang, ke Kejaksaan Negeri Kualasimpang, Jumat (12/8) pukul 10.00 WIB, yang melibatkan pria asal Kualasimpang, kecik, selaku salah seorang pimpinan di PT Rongoh Mas Lestari. Kapolres Aceh Tamiang, AKBP Drs Armia Fahmi melalui Kasat Reskrim, AKP Imam Asfali SIK kepda Serambi, Jumat (12/8) mengatakan, penyidik sudah melengkapi berkas tersangka yang dikembalikan jaksa beberapa waktu lalu. “Pengembalian tersebut dilakukan setelah jaksa meneliti berkas pertama yang diserahkan masih ada kekurangan,” ujarnya.
Setelah itu, pihaknya pada awal Agustus lalu memeriksa kembali tersangka dirumahnya karena yang bersangkutan sakit, keterangan yang diperoleh diantaranya berkaitan dari mana lahan tersebut di peroleh.”Selesai dilengkapi, berkas tersangka kembali diserahkan ke Kejaksaan tadi pagi,” ujar Kasat Reskrim Polres Aceh Tamiang, AKP Imam Asfali SIK. Kepala Kejaksaan Negeri Kuala Simpang, M Basyar Rifai mengakui sudah menerima berkas Kecik dari polisi. Jaksa penyidik akan meneliti berkas dari polisi apakah sudah dipenuhi petunjuk yang diberikan jaksa atau belum.
Sebelumnya, kebun ilegal milik pengusaha perkebunan yang masuk kawasan KEL disita Polres Aceh Tamiang berdasarkan surat penetapan penyitaan yang diterbitkan Pengadilan Negeri Kualasimpang No. 303/Pen.Sita/2010/PN.Ksp, tanggal 19 Agustus 2010 lalu. Pemilik kebun yang menjadi tersangka, Kecik memiliki kebun seluas 67 hektare yang berada di hutan lindung Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Desa Rongoh, Kecamatan Tamiang Hulu, Aceh Tamiang.
Staf Komunikasi Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) Aceh, Ilyas ketika itu menyebutkan, kebun yang disita berada bersebelahan dengan HGU PT Rongoh Mas Lestari (PT RML) yang juga milik tersangka. “Modus yang dilakukan dengan membuka atau membeli lahan di sekitar HGU miliknya,” tulis mereka. Pengusaha Kecik ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 28 Juli 2010 lalu karena melakukan penguasaan kawasan hutan lindung dalam KEL. Tersangka dijerat dengan UU 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 78 Ayat 2 UU 41 dengan ketentuan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar, serta pasal 80 yang mewajibkan ganti rugi dari pelaku kepada pemerintah di luar ketentuan pidana di atas.
Setelah itu, pihaknya pada awal Agustus lalu memeriksa kembali tersangka dirumahnya karena yang bersangkutan sakit, keterangan yang diperoleh diantaranya berkaitan dari mana lahan tersebut di peroleh.”Selesai dilengkapi, berkas tersangka kembali diserahkan ke Kejaksaan tadi pagi,” ujar Kasat Reskrim Polres Aceh Tamiang, AKP Imam Asfali SIK. Kepala Kejaksaan Negeri Kuala Simpang, M Basyar Rifai mengakui sudah menerima berkas Kecik dari polisi. Jaksa penyidik akan meneliti berkas dari polisi apakah sudah dipenuhi petunjuk yang diberikan jaksa atau belum.
Sebelumnya, kebun ilegal milik pengusaha perkebunan yang masuk kawasan KEL disita Polres Aceh Tamiang berdasarkan surat penetapan penyitaan yang diterbitkan Pengadilan Negeri Kualasimpang No. 303/Pen.Sita/2010/PN.Ksp, tanggal 19 Agustus 2010 lalu. Pemilik kebun yang menjadi tersangka, Kecik memiliki kebun seluas 67 hektare yang berada di hutan lindung Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Desa Rongoh, Kecamatan Tamiang Hulu, Aceh Tamiang.
Staf Komunikasi Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) Aceh, Ilyas ketika itu menyebutkan, kebun yang disita berada bersebelahan dengan HGU PT Rongoh Mas Lestari (PT RML) yang juga milik tersangka. “Modus yang dilakukan dengan membuka atau membeli lahan di sekitar HGU miliknya,” tulis mereka. Pengusaha Kecik ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 28 Juli 2010 lalu karena melakukan penguasaan kawasan hutan lindung dalam KEL. Tersangka dijerat dengan UU 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 78 Ayat 2 UU 41 dengan ketentuan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar, serta pasal 80 yang mewajibkan ganti rugi dari pelaku kepada pemerintah di luar ketentuan pidana di atas.
Sumber : Serambi Online
