Oleh Zaid Aulia Fani Mahasiswa Semester 1 Fakultas Teknik Prodi Teknik Lingkungan Mata Kuliah Teknik Lingkungan Universitas Andalas Lent...
Lentera24.com - Sepak bola merupakan olahraga paling populer di dunia, yang tidak hanya sebagai sekadar permainan dengan jumlah penggemar yang kurang lebih jutaan orang di berbagai negara, sepak bola telah menjelma menjadi fenomena sosial, budaya, bahkan politik.
Tidak hanya menjadi ajang hiburan dan kompetisi, sepakbola juga kerap dipakai untuk identitas nasional, memperkuat legitimasi kekuasaan, hingga menjalankan diplomasi Antar negara.
Sepak bola kerap menjadi simbol kebanggaan bangsa. Contohnya di negara kita, ketika Tim Nasional Indonesia lolos pada kualifikasi piala dunia 2026 ronde ke 4. Sebagian besar masyarakat Indonesia merasa bangga dan karena rasa bangga inilah masyarakat Indonesia, secara tidak langsung mewujudkan semangat persatuan tanpa memandang agama, ras dan golongan. Politik identitas ini membuat sepak bola menjadi sarana untuk menguatkan rasa nasionalisme.
Tidak jarang pemerintah menggunakan sepakbola sebagai sarana propaganda Pada masa pemerintahan Benito Mussolini di Italia, Piala Dunia 1934 digunakan untuk menunjukkan kekuatan rezim fasis. Begitu pula Adolf Hitler di Jerman yang memanfaatkan Olimpiade 1936 (termasuk Cabang Sepak Bola) untuk memperlihatkan kejayaan Nazi.
Di era modern, banyak negara yang menjadi tuan rumah turnamen besar seperti Piala Dunia atau Piala Eropa bukan hanya untuk Olahraga, tetapi juga untuk meningkatkan citra politik dan diplomasi Internasional.
Namun, Sejarah juga mencatat bagaimana sepakbola bisa memicu konflik politik. Salah satu contoh terkenal adalah “Football War” antara Honduras dan El Salvador pada tahun 1969. Pertandingan kualifikasi Piala Dunia memicu ketegangan yang berujung pada perang singkat antara kedua negara. Hal ini membuktikan bahwa sepakbola bisa menjadi pemicu atau simbol konflik yang lebih dalam terkait masalah sosial dan politik.
Pantai Gading adalah salah satu negara pada Afrika Barat, negara dengan jumlah populasi kurang lebih 32 juta penduduk ini, memiliki sejarah yang sedikit unik yaitu ketika sepak bola berhasil menghentikan perang di negaranya. Pada tahun 2002-2007 negara ini terjebak dalam perang saudara antara pemerintah dan kelompok pemberontak di bagian utara.
Ketika gelaran piala dunia 2006 yang akan dilaksanakan di Jerman, Pantai Gading juga ikut serta dalam Kualifikasi Piala Dunia tersebut. Pasukan timnas Pantai Gading kala itu di komandoi oleh salah satu striker hebat dari klub Chelsea yaitu Didierdrogba. Didierdrogba bersama teman temannya mampu mengantarkan Pantai Gading untuk menjadi salah satu peserta Piala Dunia 2006 setelah lulus dari babak Kualifikasi.
Siapa sangka keberhasilan Drogba dan teman temannya ketika lolos ke Piala Dunia Jerman tersebut, mampu menghentikan perang saudara yang ada di negaranya. Lewat pertandingan terakhir dibabak kualifikasi selepas menang melawan Sudan, ketika diruang ganti Drogba sebagai Kapten tim berlutut di depan kamera dan memohon kepada pihak pihak yang bertikai dalam perang saudara.
”Pantai Gading yang lebih indah tidak bisa eksis dengan peperangan. Hentikan perang ini, lepaskan senjata, dan adakan pemilu yang adil” ucap kapten tim Pantai Gading tersebut.
Seruan itu menggema di seluruh negeri dan banyak yang menganggap momen tersebut sebagai pemicu gencatan senjata dan langkah menuju perdamaian (perjanjian Ouagadougou, 2007) Drogba pun diakui bukan hanya sebagai pesepakbola hebat, tapi juga tokoh Perdamaian Nasional. Hal ini membuktikan bahwa sepak bola juga dapat disebut sebagai simbol perdamaian.
Berpindah ke Benua Eropa, dimana dua klub raksasa liga Spanyol memiliki cerita yang sangat berhubungan dengan politik. Real Madrid dan Barcelona kedua klub ini bukan hanya bertanding sebagai klub bola melainkan juga membawa rivalitas yang berbeda.
Barcelona adalah Ibukota dari Catalan, wilayah otonom Spanyol yang memiliki bahasa, budaya dan politik yang berbeda. Sedangkan klub Real Madrid mewakili Pemerintah Spanyol dan dianggap sebagai klub elit dan hal inilah yang menjadi pemicu pertama dari rivalitas antara Barcelona dan Real Madrid. Rivalitas kedua tim semakin meningkat semenjak terjadinya perang sipil Spanyol pada tahun 1936-1939.
Barcelona dianggap sebagai simbol kemerdekaan Catalonia dan perlawanan terhadap Franco, sedangkan Real Madrid dianggap sebagai klub yang mewakili rezim Franco. Pada saat itu Franco menggunakan sepak bola untuk memperkuat kekuasaannya dan menjadikan Real Madrid sebagai klub elit pemerintah.
Rivalitas ini menjadi semakin panas, dikarenakan transfer kontroversial Alfredo Distefano salah satu pemain hebat di zamannya pada saat itu Barcelona sudah mengamankan Alfredo di Stefano dengan cara Barcelona telah mencapai kesepakatan dengan River Plate (klub Di Stéfano di Argentina) dan sudah membayar biaya transfer, bahkan Di Stéfano sempat bermain untuk Barcelona dalam sebuah laga persahabatan. Namun ada ketegangan politik dan perselisihan yang melibatkan federasi dan klub-klub Spanyol, termasuk Barcelona yang merasa dirugikan. Barcelona dipaksa menjual setengah kepemilikan Di Stéfano kepada Real Madrid.
Setelah insiden tersebut, Di Stéfano akhirnya bergabung dengan Real Madrid dan menandatangani kontrak. Peristiwa ini menjadi salah satu kontroversi terbesar dalam sejarah transfer sepakbola Spanyol. Rivalitas ini terbentuk bukan hanya sebagai klub sepak bola namun juga karena adanya peran dari pemerintah spanyol yang ingin melawan daerah otonom catalan di Barcelona rivalitas kedua tim ini membuktikan bahwa sepak bola dapat memperkuat legitimasi Kekuasaan.
Di Indonesia sepak bola menjadi salah satu sarana berpolitik terbaik. Alasannya karena banyak nya para tokoh-tokoh politik yang berjibaku dan terjun sendiri ke dunia sepak bola dimulai dari sebelum pemilihan calon Legislatif untuk di DPRD DPR maupun Kepala Daerah. Para caleg biasanya akan mengadakan suatu turnamen sepak bola di kampung-kampung dengan tujuan untuk kepentingan politik dirinya sendiri. Ketika turnamen itu berlangsung maka akan banyak poster atau baliho dari calon legislatif tersebut.
Keterkaitan kelompok suporter dalam politik pun kadang terlihat jelas terjadi. Sebagian kelompok suporter dengan sengaja mendekatkan diri dengan lingkungan politik, untuk tujuan beragam, baik untuk kepentingan secara finansial ataupun keuntungan psikologis, misalnya kenyamanan dekat dengan elite politik. (*)