Oleh: Bang Am Pemerhati kebijakan Pemerintahan dan Pegiat Media online Lentera24.com | Peringatan Hari Santri Nasional di Aceh Timur sejati...
Oleh: Bang Am Pemerhati kebijakan Pemerintahan dan Pegiat Media online
Lentera24.com | Peringatan Hari Santri Nasional di Aceh Timur sejatinya menjadi momentum untuk mempererat silaturahmi antara pemerintah daerah dan masyarakat, terutama kalangan pesantren yang selama ini berperan penting dalam membangun karakter keislaman di Tanah Serambi Mekkah. Namun, suasana kebersamaan itu mendadak terusik oleh hal yang tampak sepele, tetapi sarat makna.
Kealpaan mencantumkan nama dan foto Wakil Bupati Aceh Timur di kegiatan resmi pemerintahan tentu menimbulkan spekulasi yang beragam.
Kejadian sederhana ini menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat. Beberapa warga menyuarakan keheranannya di media sosial, mempertanyakan alasan absennya simbol wakil kepala daerah dalam publikasi resmi pemerintah. Ada yang menganggapnya sekadar kelalaian teknis, namun tidak sedikit yang menilai ini sebagai bentuk pengabaian terhadap etika birokrasi dan rasa saling menghargai antar pejabat.
Padahal, secara etika pemerintahan, kepala daerah dan wakilnya merupakan satu kesatuan kepemimpinan. Keduanya dipilih rakyat untuk menjalankan amanah bersama. Menampilkan hanya satu unsur dalam kegiatan resmi dapat menimbulkan kesan adanya jarak, bahkan disharmoni, di tubuh pemerintahan itu sendiri.
Etika birokrasi tidak hanya tercermin dalam kebijakan besar atau pidato resmi, tetapi juga dalam hal-hal simbolik seperti ini. Sebuah spanduk, baliho, atau undangan resmi sesungguhnya adalah cermin moral dan komunikasi politik. Ia memperlihatkan bagaimana pemerintah memandang kebersamaan dan menghargai rekan sejawatnya.
Ketika simbol wakil kepala daerah absen, publik pun berhak bertanya: Apakah ini sekadar lupa, atau sengaja dilupakan?
Pertanyaan ini bukan tanpa alasan. Di tengah meningkatnya kesadaran publik akan transparansi dan akuntabilitas, setiap detail kecil dalam komunikasi pemerintahan kini mendapat sorotan tajam. Masyarakat sudah tidak bisa lagi dipandang pasif. Mereka membaca tanda, menafsirkan simbol, dan menilai sikap pejabat dari hal-hal yang tampak sederhana.
Dalam konteks Hari Santri Nasional, ketidakhadiran simbol wakil bupati dalam spanduk resmi terasa ironis. Hari Santri seharusnya menjadi momentum kebersamaan, penghormatan terhadap peran ulama, serta ajang memperkuat nilai kejujuran dan kesederhanaan. Maka ketika dalam momentum suci itu justru muncul kesan eksklusivitas dan ketidak terbukanya, makna perayaan itu pun menjadi kabur.
Dalam tata kelola pemerintahan yang beretika, keadilan simbolik menjadi hal penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Rakyat menaruh harapan besar bahwa para pemimpinnya bisa tampil kompak, saling menghormati, dan bekerja dalam satu semangat pengabdian. Jika dari hal kecil saja tampak ketimpangan representasi, maka sulit bagi publik untuk mempercayai bahwa transparansi benar-benar dijalankan dalam urusan yang lebih besar.
Karena itu, Pemerintah Kabupaten Aceh Timur perlu menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran penting. Di era digital dan keterbukaan informasi, masyarakat semakin peka terhadap simbol dan gestur pejabat publik. Maka setiap bentuk komunikasi pemerintah, mulai dari desain spanduk, penyebutan pejabat, hingga susunan acara harus mencerminkan semangat legalitas, profesionalisme, dan keterbukaan.
Transparansi sejati tidak hanya berbicara tentang laporan keuangan yang rapi, tetapi juga tentang cara pemerintah menghormati setiap unsur dalam kepemimpinan itu sendiri. Etika bukan formalitas, melainkan fondasi moral yang menjaga harmoni dan kepercayaan publik.
Pada akhirnya, dari sebuah spanduk sederhana, kita belajar bahwa etika pemerintahan tidak ditentukan oleh besar kecilnya kebijakan, melainkan oleh konsistensi sikap dan ketulusan menghargai peran orang lain.
Karena sering kali, hal yang tampak sepele justru menunjukkan jati diri sebuah kepemimpinan, apakah ia benar-benar melayani, atau hanya pandai berpura-pura bersama.(*)
Rabu, 22 Oktober 2025