HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Dari Sampah Jadi Berkah

"Cerita PMM UMM Bangun Kesadaran dan Kebersihan Pada Lingkungan Sekolah MI As Simahi di Desa Kalipang, Kab Pasuruan" Lentera24.com...

"Cerita PMM UMM Bangun Kesadaran dan Kebersihan Pada Lingkungan Sekolah MI As Simahi di Desa Kalipang, Kab Pasuruan"

Lentera24.com  – Desa Kalipang, Krajan, Kabupaten Pasuruan, punya cerita berbeda sejak kedatangan lima mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Selama 30 hari penuh, sejak 21 Juli 2025, mereka menjalankan Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa (PMM) yang berfokus pada lingkungan, kesehatan, dan pendidikan.

Tepat di sudut kecil Kabupaten Pasuruan, tepatnya Desa Kalipang, Krajan, kehidupan berjalan apa adanya. Anak-anak bermain di halaman sekolah dengan tawa lepas, ibu-ibu menyiapkan makanan sederhana di dapur, sementara lelaki desa mengayuh hidup dengan kerja keras. Namun, di balik keseharian itu, tersimpan keresahan: sampah yang berserakan, lingkungan yang kurang terurus, hingga perhatian terbatas untuk ibu hamil dan balita.

Tetapi setiap keresahan selalu menunggu tangan yang peduli. Itulah yang dibawa lima mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang ketika menginjakkan kaki di Desa Kalipang pada 21 Juli 2025. Selama sebulan penuh, kami tidak hanya tinggal, tetapi ikut merasakan denyut hidup desa. Dari situlah lahir berbagai program tentang sampah, kesehatan, dan Pendidikan yang perlahan memberi warna baru bagi warga.

Saat Sampah Menjadi Guru

Pagi pertama di MI Asimahi, kami memulai dengan berjalan pelan mengelilingi halaman. Di pojok lapangan, ada tumpukan botol plastik yang tertiup angin. Di belakang kelas, kertas bungkus jajanan menyelip di rerumputan. Kami foto, kami catat, lalu kami gambar peta kecil titik rawan sampah. bukan untuk menyalahkan siapa-siapa, tapi sebagai cara paling jujur untuk melihat masalah apa adanya.

Hari 1-3 Kami Mengenalkan Makna Melalui Rasa 

Kami masuk kelas per kelas, membawa timbangan gantung, karung, dan beberapa contoh sampah: botol PET, kardus, kaleng, dan bungkus mi. Kami ajak anak-anak bermain tebak kategori mana yang organik, mana yang bisa dijual, mana yang harus diminimalkan. Di papan tulis, kami gambarkan “perjalanan hidup” sebotol plastik: dari dibeli, dipakai sebentar, lalu bisa berakhir di selokan atau diubah nasibnya jadi tabungan. Seorang siswa kelas IV mengangkat tangan, “Kalau dicuci dan dijemur dulu, boleh ya, Kak?” Kami mengangguk. Dari pertanyaan-pertanyaan sederhana, tumbuh pengertian: “Sampah bukan musuh, ia masalah yang bisa diajak bekerja sama”.

Membentuk bank sampah : sistem yang sederhana tapi rapih.

Kami menyiapkan empat karung besar berlabel warna: Plastik (PET/PP), Kertas/Kardus, Logam, dan Residu. Setiap kelas kami buatkan “rekening” Bank Sampah atas nama kelas, plus buku kecil untuk mencatat setoran: tanggal, jenis sampah, berat, dan poin. Konversinya mudah diingat setiap 1 kg plastik = sekian poin yang bisa ditukar alat tulis, bibit tanaman, atau ditabung untuk kegiatan kelas. Jadwal setoran kami sepakati setiap Kamis pagi sebelum pelajaran dimulai; tim kami bertugas menimbang dan membubuhkan stempel “sudah diverifikasi”.

Kami menunjuk dua “Duta Hijau” di tiap kelas. anak-anak yang sabar dan telaten untuk memantau pemilahan di kelasnya. Mereka bukan “polisi sampah”, melainkan kawan pengingat. Di ruang serbaguna, kami sediakan sudut penyimpanan sementara yang kering; label besar ditempel agar tak tertukar. Setelah terkumpul, perangkat desa. Melalui Pak Carek membantu menjembatani ke pengepul yang siap menjemput dua minggu sekali. Hasil penjualan kami bagi transparan: sebagian untuk kas kelas, sebagian untuk keberlanjutan Bank Sampah (kantong, timbangan, hadiah poin).

Mengubah kebiasaan lewat permainan dan kebanggaan.

Kami tahu, kebiasaan tidak berubah karena ceramah. Maka kami bikin papan skor “Kelas Teladan” di depan kantor guru: kelas dengan setoran teratur dan pemilahan paling rapi mendapat bintang pada nama kelasnya. Hadiahnya sederhana sebatas stiker, pujian di apel pagi, atau satu pack spidol baru, tapi efeknya terasa. Waktu istirahat, kami sering melihat tangan-tangan kecil merapikan kardus bekas susu, memasukkannya ke karung yang benar, lalu lari kecil menuju timbangan sambil terkikik, “Tambah poin, Kak!”

Dari kotor ke tertata: perubahan yang bisa dilihat mata.

Akhir pekan kedua, halaman sekolah terlihat berbeda. Titik rawan di belakang kelas mulai bersih. Selokan yang dulu sering macet karena bungkus plastik kini lebih lancar. Guru-guru bercerita, “anak-anak yang dulu suka asal lempar bungkus kini menegur temannya sendiri”. Perangkat desa bahkan menyebut, “Kebersihan sekolah meningkat hampir 45 persen dibanding sebelum ada Bank Sampah ini.”

Komentar Kepala Sekolah Membuat Kami Terharu

“Program sederhana ini justru jadi ide besar. Anak-anak jadi punya kebiasaan baru, guru lebih ringan dalam mengingatkan, dan lingkungan sekolah terasa lebih layak. Saya berharap ini tidak berhenti di sini, tapi diteruskan sebagai budaya sekolah.”

Menjaga Nyala Setelah Kami Pulang.

Kami tidak ingin Bank Sampah berhenti bersama koper kami. Jadi, kami tinggalkan SOP satu halaman alur setoran, kategori, jadwal penimbangan, kontak pengepul dan menunjuk satu guru koordinator serta perwakilan Karang Taruna sebagai pendamping. Grup WhatsApp kecil dibuat untuk laporan Kamis: foto timbangan, berat setoran, dan rencana penjemputan. Kami juga menitipkan ide dua kegiatan lanjutan: “Pekan Bebas Plastik Sekali Pakai” dan “Pojok Kreativitas”. Karena kami percaya, yang membuat kebiasaan bertahan bukan kehadiran kami, melainkan rasa memiliki mereka.
Pada akhirnya, sampah benar-benar menjadi guru: ia mengajarkan disiplin lewat timbangan, kerja sama lewat karung-karung berlabel, dan harga diri lewat papan bintang sederhana. Dari situ, anak-anak belajar bahwa kebersihan bukan perintah, melainkan kebiasaan yang mereka banggakan sendiri.

Penutup: Jejak yang Ingin Bertahan

Air mata di perpisahan MI Asimahi menjadi saksi, bahwa sebulan bersama ternyata cukup untuk menautkan hati. Bukan hanya program yang kami tinggalkan, tetapi juga kebiasaan baru anak-anak yang kini lebih rajin memilah sampah, warga yang lebih peduli menjaga kebersihan, dan ibu-ibu yang merasa diperhatikan melalui program kesehatan.

Pak Carek tersenyum ketika menyebut, “lingkungan kini 45 persen lebih bersih dari sebelumnya.” Kepala Sekolah MI Asimahi pun menambahkan bahwa Bank Sampah adalah ide yang pantas dijalankan terus, karena anak-anak akhirnya belajar pelajaran yang tidak pernah tertulis di buku: menjaga bumi dengan tangan sendiri. Guru-guru di sekolah setuju, mereka bilang ruang kelas kini terasa lebih nyaman, karena halaman sekolah yang dulu sering dipenuhi sampah sudah jauh lebih bersih.

Bukan hanya sekolah yang merasakan. Pedagang kecil di sekitar MI Asimahi layaknya penjual es lilin, gorengan, hingga jajanan anak bercerita bahwa mereka mulai terbiasa menyediakan tempat sampah di dekat dagangannya. “Biar nggak berserakan lagi,” kata salah seorang ibu penjual. Hal sederhana, tetapi itulah tanda bahwa perubahan sudah mengakar.

Semua suara itu berpadu dengan senyum warga yang menyebut bahwa program ini bukan sekadar datang lalu pergi, melainkan meninggalkan bekas. Bagi kami, kata-kata itu bukan hanya apresiasi, melainkan pengingat bahwa perubahan memang mungkin, asal ada yang memulai.


Dari Desa Kalipang, kami belajar satu hal: perubahan besar sering kali lahir dari langkah kecil. Satu bungkus plastik yang tidak dibuang sembarangan, satu botol yang disetorkan ke bank sampah, atau satu malam belajar bersama bisa menciptakan efek yang lebih panjang daripada yang kami bayangkan.

Kini, saat langkah kami menjauh dari Kalipang, ada keyakinan yang tertinggal: bahwa program ini bukan milik lima mahasiswa semata, tetapi milik desa yang sudah siap menjaganya. Karena sejatinya, masa depan sebuah tempat tidak ditentukan oleh siapa yang datang, melainkan oleh siapa yang bersedia merawatnya.(*)