(Pembayaran Cashless via Qris) Wahyuni Dwi Nurlaela dan Widhiya Syamsyifa Mahasiswi Semester 4 Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Bi...
![]() |
(Pembayaran Cashless via Qris) |
Lentera24.com - Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Indonesia semakin meningkat, terutama dalam hal regulasi sistem pembayaran digital. Pemerintah AS mengkritik penerapan QRIS dan GPN, dengan alasan bahwa kebijakan tersebut kurang melibatkan pelaku usaha internasional dalam proses perumusannya. Dalam dinamika ekonomi global, upaya Indonesia untuk memperkuat sistem pembayaran domestik bisa menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada sistem yang didominasi oleh perusahaan asing.
Lonjakan transaksi QRIS yang mencapai 163,32% secara tahunan (yoy) pada Februari 2025 menunjukkan bahwa sistem ini semakin diterima oleh masyarakat dan pelaku usaha di Indonesia. AS mungkin melihat pertumbuhan pesat ini sebagai ancaman terhadap dominasi layanan pembayaran global yang selama ini didominasi oleh perusahaan Amerika seperti Visa dan Mastercard. Pertanyaannya kini, apakah kritik ini benar-benar mencerminkan ancaman terhadap kedaulatan ekonomi digital kita, atau justru menunjukkan bahwa Indonesia sedang membangun ekosistem keuangan yang lebih mandiri?
Negosiasi terkait QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang sedang berlangsung antara Indonesia dan Amerika Serikat mengundang berbagai spekulasi. Ada yang menilai bahwa AS khawatir terhadap perkembangan sistem pembayaran digital Indonesia yang semakin mandiri, sementara yang lain melihat ini sebagai langkah AS untuk mengambil keuntungan dalam perundingan perdagangan.
Dalam negosiasi perdagangan antara Amerika Serikat dan Indonesia, kebijakan QRIS dan GPN menjadi salah satu isu utama yang diperbincangkan. Pemerintah AS menganggap regulasi tersebut sebagai bentuk proteksionisme digital yang membatasi akses perusahaan asing seperti Visa dan Mastercard dalam ekosistem pembayaran Indonesia.
Namun, di balik kritik tersebut, ada juga kemungkinan bahwa AS sedang mencari celah untuk tetap mendapatkan benefit dari ekosistem pembayaran digital di Indonesia. Negosiasi ini bisa menjadi strategi mereka untuk memastikan kepentingan bisnis tetap terakomodasi. Pemerintahan Presiden Prabowo kini tengah memperjuangkan kepentingan ekonomi nasional dengan mengirimkan tim negosiasi ke Washington DC guna melobi kebijakan kenaikan tarif impor yang diterapkan oleh Amerika Serikat.
Dari perundingan ini, sejumlah isu mencuat, termasuk kritik AS terhadap kebijakan National Payment Gateway (GPN) dan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS), serta aturan Divestasi 51% di sektor tambang. Sementara itu, Pemerintah China, yang kerap berseberangan dengan AS dalam berbagai kebijakan, mendorong negara-negara lain untuk tidak terlalu tunduk pada pemerintahan Donald Trump.
Di tengah dinamika global ini, Wakil Ketua Bidang Hubungan Internasional APINDO, Didit Ratam, menilai bahwa posisi Indonesia berada di persimpangan antara kepentingan AS dan China. Upaya pemerintah dalam menegosiasikan tarif impor AS yang naik hingga 32% dianggap sebagai langkah tepat, sedangkan diskusi terkait QRIS menjadi bagian dari perundingan yang wajar dilakukan.
Meski QRIS mendapat sorotan dari AS, Wakil Ketua Bidang Hubungan Internasional APINDO, Didit Ratam berpendapat bahwa sistem pembayaran ini bersifat terbuka, sehingga peluang kerja sama antara Indonesia dan AS tetap ada. Kini, yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana pelaku usaha melihat tantangan dalam negosiasi perdagangan ini serta dampak dari meningkatnya perhatian AS terhadap sistem pembayaran digital nasional kita.
Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang lain, QRIS kini menjadi simbol utama kemandirian ekonomi digital Indonesia, menurut analisis para ekonom dari Celios. Sebagai sistem pembayaran berbasis kode QR nasional, QRIS memungkinkan transaksi yang lebih mudah dan terjangkau bagi masyarakat serta pelaku usaha, tanpa harus bergantung pada layanan pembayaran asing.
Keberadaan QRIS memperkuat upaya Indonesia untuk menciptakan ekosistem finansial yang lebih autonom, sekaligus mengurangi dominasi pemain global dalam sistem pembayaran. Dengan semakin luasnya penggunaan QRIS, Indonesia menunjukkan komitmennya untuk membangun kedaulatan ekonomi digital yang lebih solid.
Namun, dalam dinamika perdagangan global, sistem pembayaran ini juga mendapat sorotan dari beberapa negara. Tantangan ke depan adalah bagaimana QRIS bisa terus berkembang tanpa menghambat integrasi Indonesia dalam perekonomian dunia.
Anggota Komisi XI DPR RI, Wihadi Wiyanto, menegaskan pentingnya upaya pemerintah Indonesia dalam bernegosiasi dengan Amerika Serikat demi menurunkan, bahkan menghapus, tarif impor yang dikenakan terhadap produk Indonesia. Langkah ini dinilai krusial dalam menjaga daya saing perdagangan nasional di tengah dinamika ekonomi global.
Sementara itu, terkait kritik AS terhadap QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), Komisi XI menilai bahwa sorotan tersebut lebih berkaitan dengan isu transparansi dan akses pasar. Namun, Bank Indonesia telah memberikan respons yang jelas dan terukur untuk menjawab kekhawatiran tersebut. Dengan demikian, Indonesia tetap berada dalam jalur yang kuat dalam mempertahankan kebijakan pembayaran digitalnya sekaligus membuka ruang dialog dengan pihak internasional.
Di sisi lain, Indonesia berupaya memperkuat kedaulatan ekonomi digital dengan mendorong penggunaan sistem pembayaran domestik serta memastikan data transaksi tetap berada di dalam negeri. Langkah ini menjadi bagian dari strategi besar yang dikoordinasikan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengembangkan ekosistem finansial yang lebih mandiri.