HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Menghadapi Tantangan Globalisasi dalam Pendidikan Agama Islam

Liona Dewanti Mahasiswi Semester 2, Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Raden Mas Said Surakarta Lentera24.com - Negara Indonesia merupakan ...

Liona Dewanti Mahasiswi Semester 2, Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Raden Mas Said Surakarta



Lentera24.com - Negara Indonesia merupakan negara yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam. Tetapi pada kenyataannya dalam hal pendidikan, pendidikan Islam tidak menjadi mayoritas dalam kedudukan pendidikan nasional. Dan pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua dalam system pendidikan nasional.

Globalisasi kini telah menjadi bagian nyata dari kehidupan umat manusia, termasuk umat Islam yang tidak bisa menghindar dari berbagai dampaknya. Dalam era ini, terjadi pergeseran fokus dari konflik ideologis dan politik menuju kompetisi dalam bidang perdagangan, investasi, serta informasi. Konsep keseimbangan kekuatan (balance of power) berubah menjadi keseimbangan kepentingan (balance of interest), sementara hubungan antarnegara bergeser dari ketergantungan satu arah (dependency) menuju hubungan saling bergantung (interdependency).

Selain itu, relasi yang sebelumnya bersifat primordial kini lebih banyak ditentukan oleh posisi tawar (bargaining position) masing-masing pihak. Batas-batas geografis pun semakin kehilangan makna operasionalnya, karena kekuatan suatu negara kini ditentukan oleh kemampuannya dalam mengelola keunggulan komparatif dan kompetitif. Di tengah kondisi ini, persaingan antarnegara pun semakin dipengaruhi oleh penguasaan teknologi tinggi, yang mengharuskan setiap negara untuk berinvestasi besar dalam riset dan pengembangan. Lebih jauh lagi, globalisasi juga memunculkan budaya dunia yang cenderung mekanistik dan efisien, namun kurang menghargai nilai-nilai dan norma-norma yang dianggap tidak memiliki nilai ekonomis (Maksum & Ruhendi, 2004: 281).

Pendidikan Islam merupakan sebuah ikhtiar manusia dalam membentuk individu yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Dalam konteks ini, pendidikan Islam tidak sekadar mentransfer pengetahuan agama, melainkan menjadi sarana untuk mentransformasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai ajaran Islam kepada peserta didik. Proses ini bertujuan untuk mengembangkan fitrah manusia secara menyeluruh, sehingga tercipta keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. Tujuan utama dari pendidikan Islam adalah pembentukan karakter, khususnya dalam hal budi pekerti dan pembinaan jiwa. Oleh karena itu, setiap mata pelajaran idealnya mengandung unsur pendidikan akhlak, dan setiap pendidik memiliki tanggung jawab moral untuk memperhatikan dan menanamkan nilai-nilai akhlak dalam proses pembelajaran.

Hakikat Globalisasi

Globalisasi artinya proses masuknya ke ruang lingkup dunia (Depdiknas, 2002: 366). 

Menurut David Held dan Anthony Mc.Crew, kata globalisasi dapat diartikan dalam pemaknaan yang beragam seperti kedekatan jarak, ruang, dan waktu yang menyempit, pengaruh cepat serta dunia yang menyempit. Dengan demikian kata globalisasi secara sederhana dapat diartikan sebagai melenyapkan dinding dan jarak antara satu bangsa dengan bangsa yang lain, antara satu kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain. Dengan kata lain merubah dunia menjadi perkampungan dunia (Baharudin, 2011: 2).

Globalisasi membawa dampak yang sangat luas dalam kehidupan manusia, mencakup berbagai aspek seperti ekonomi, politik, budaya, sosial, hingga pendidikan. Pengaruh globalisasi ini sangat terasa terutama di negara-negara berkembang, termasuk negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia. Dalam bidang pendidikan, globalisasi telah memberikan dampak signifikan terhadap berbagai komponen penyelenggaraan pendidikan, mulai dari arah dan tujuan pendidikan, proses interaksi antara pendidik dan peserta didik, hingga nilai-nilai etika, pendekatan pembelajaran, serta metode yang digunakan.

Problematika Islam di Era Globalisasi

1. Faktor Internal Problematika Pendidikan Islam

a. Arah dan Tujuan Pendidikan Islam

Secara ideal, pendidikan Islam bertujuan untuk mengangkat derajat manusia (human dignity) serta menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi yang bertanggung jawab, menjaga lingkungan, dan menciptakan kemaslahatan. Namun, arus globalisasi menyebabkan orientasi ini bergeser. Pendidikan cenderung diarahkan pada kepentingan pragmatis, khususnya kebutuhan kerja, sehingga nilai-nilai dasar pendidikan Islam sebagai fondasi moral, budaya, dan gerakan sosial menjadi terabaikan (Rembangy, 2010: 20–21).

b. Masalah Kurikulum

Kurikulum yang sentralistik dan birokratis cenderung otoriter, di mana institusi di tingkat bawah harus mengikuti arahan dari atas tanpa ruang inovasi. Menurut Tilaar, sistem ini hanya melahirkan lulusan seperti “manusia robot.” Selain itu, kurikulum yang terlalu padat membuat siswa terbebani secara akademik, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan (Daulay, 2004: 205–208).

c. Pendekatan Pembelajaran

Peran guru dan dosen sangat penting dalam meningkatkan kompetensi peserta didik. Oleh karena itu, pendekatan pembelajaran harus bersifat kreatif, inovatif, dan kontekstual—termasuk memanfaatkan teknologi—agar materi yang disampaikan relevan dan mampu memotivasi peserta didik. Dengan pendekatan semacam ini, pendidikan akan lebih berkualitas dan menghasilkan lulusan yang siap bersaing di era global.

d. Profesionalisme Tenaga Pendidik

Kualitas sumber daya manusia, khususnya guru dan tenaga pendidik, masih menjadi tantangan besar. Meskipun jumlahnya mencukupi, banyak dari mereka belum memenuhi standar profesional, masih kurang kualifikasi (unqualified), tidak sesuai bidang (mismatch), atau berada di bawah standar (underqualified), sehingga proses pendidikan belum berjalan secara optimal (Rembangy, 2010: 28).

e. Biaya Pendidikan

Masalah biaya menjadi hambatan nyata dalam kelangsungan pendidikan, terutama bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu. Padahal konstitusi (UUD 1945 dan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003) mewajibkan negara mengalokasikan minimal 20% anggaran dari APBN dan APBD untuk sektor pendidikan. Namun, implementasi kebijakan ini masih jauh dari harapan.

2. Faktor Eksternal Problematika Pendidikan Islam

a. Dikotomi Ilmu

Pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum (dikotomi) menjadi tantangan besar dalam pendidikan Islam. Padahal dalam Islam, seluruh ilmu bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis, dan seharusnya dipandang sebagai satu kesatuan. Dikotomi ini justru membatasi umat Islam dalam mengejar ilmu secara menyeluruh dan dapat menyebabkan stagnasi perkembangan peradaban.

b. Ilmu yang Terlalu Umum

Pendidikan Islam cenderung bersifat umum dan kurang fokus pada kemampuan pemecahan masalah. Syed Hussein Alatas menekankan bahwa kualitas intelektual ditentukan oleh kemampuan berpikir kritis, menganalisis, dan menemukan solusi. Kurangnya kemampuan ini menjadi kelemahan serius dalam sistem pendidikan Islam.

c. Rendahnya Semangat Penelitian

Minimnya semangat untuk melakukan penelitian menjadi penyebab lemahnya pemahaman terhadap realitas sosial. Al Afghani menyebut hal ini sebagai faktor utama kemunduran umat Islam. Akibatnya, peserta didik hanya memahami teori tanpa mampu mengaplikasikannya, yang berdampak pada stagnasi pendidikan Islam.

d. Pembelajaran yang Berbasis Hafalan

Menurut Rahman, rendahnya standar akademik juga dipengaruhi oleh terbatasnya bahan ajar dan waktu belajar yang tidak memadai. Hal ini menyebabkan proses belajar lebih banyak bersifat hafalan (tekstual) daripada penguasaan konsep secara mendalam.

e. Orientasi pada Sertifikat (Certificate Oriented)

Saat ini banyak peserta didik yang menempuh pendidikan semata-mata untuk mendapatkan ijazah, bukan untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat. Semangat belajar lillahi ta'ala seperti yang dicontohkan para ulama terdahulu semakin memudar. Jika pola ini terus berlangsung, pendidikan Islam akan kehilangan esensinya dalam membentuk insan yang berilmu dan berakhlak mulia (Wahid, 2008: 14–23).

Solusi Pendidikan Islam dalam Menghadapi Era Globalisasi

Menghadapi tantangan globalisasi, pendidikan Islam di Indonesia harus berbenah dengan mengadopsi sistem yang menyeluruh dan fleksibel. Tujuannya adalah mencetak lulusan yang tidak hanya kreatif dan inovatif, tetapi juga mampu bersaing dalam masyarakat global yang demokratis. Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah membangun sistem pendidikan Islam yang memiliki wawasan global (Zamroni, 2008).

Rahman menyarankan bahwa pendidikan Islam perlu mempercepat pengembangan pemikiran yang kreatif dan terintegrasi dengan nilai-nilai Islam. Sementara Tibi menekankan pentingnya sekularisasi dalam konteks industrialisasi dan pembaruan struktur sosial (Wahid, 2008).

Adapun beberapa strategi penting yang dapat dilakukan, yaitu:

1. Menghilangkan Dikotomi Ilmu

Pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum perlu dihapus melalui pendekatan integratif. Semua ilmu dipandang berasal dari Allah dan saling melengkapi. Fazlur Rahman menyarankan untuk mengadopsi sistem pendidikan modern lalu mengisinya dengan nilai-nilai Islam. Ahmad Syafi’i Ma’arif menambahkan bahwa menghapus dikotomi akan membawa perubahan besar pada sistem pendidikan Islam secara keseluruhan.

2. Perbaikan Kurikulum

Materi pendidikan Islam perlu diarahkan agar tidak hanya bersifat dogmatis, tapi juga mampu merangsang pemikiran kritis. Malik Fajar menyarankan agar materi pembelajaran mencakup dua aspek: Aspek vertikal, yaitu membentuk ketaatan kepada Allah. Aspek horizontal, yaitu pengembangan pemahaman tentang kehidupan sosial dan lingkungan sekitar.

Agar strategi ini berhasil, tentu dibutuhkan dukungan dari sumber daya manusia yang kompeten, pendanaan yang cukup, dan lingkungan sosial yang mendukung pertumbuhan pendidikan.(*)


DAFTAR PUSTAKA


Jamilah, A. H., & Chotima, S. C. (2022). Studi pemikiran pendidikan Ibnu Khaldun perspektif sosio progresif. Journal of Islamic Education and Peace.

Rembangy, Muhammad. 2010. “Problematika Pendidikan Islam di Era Globalisasi.” Jurnal Cakrawala Pendidikan, Vol. 1, No. 3, hlm. 20–30.

Aryantoni. 2015. “Pendidikan Islam Menghadapi Globalisasi.” Jurnal At-Ta’dib, Vol. 10, No. 1, hlm. 22–36.