Adhi Kumara Jagadhita Mahasiswa semester 2 Fakultas FISIP, Prodi Hubungan internasional, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kelompok 7...
Lentera24.com - Pada zaman modern ini, manusia tidak dapat terlepas dari perkembangan teknologi. Inovasi teknologi terus berkembang pesat dan memberikan berbagai kemudahan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menyelesaikan pekerjaan secara lebih efisien. Dalam dunia pendidikan, teknologi telah menjadi bagian integral dari proses belajar mengajar. Oleh karena itu, penguasaan dan pemanfaatan teknologi menjadi sangat penting di era digital saat ini. Individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dan memanfaatkan teknologi dengan bijak berisiko tertinggal dari yang lainnya, baik dari segi informasi, keterampilan, maupun pencapaian akademik. Teknologi yang tepat guna mampu mengubah sesuatu yang awalnya tidak bernilai menjadi sesuatu yang bermanfaat dan bernilai tinggi, sebagaimana dikatakan oleh B.J. Habibie (2011).
Salah satu bentuk kemajuan teknologi yang paling menonjol dalam dekade terakhir adalah kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). AI mulai diterapkan di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam sektor pendidikan. Kehadiran AI dalam dunia pendidikan memberikan berbagai kemudahan, antara lain penyediaan materi pembelajaran yang dipersonalisasi sesuai kebutuhan siswa, penilaian otomatis terhadap hasil belajar, serta pendampingan belajar yang berbasis teknologi. Dengan adanya AI, proses belajar menjadi lebih fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan gaya belajar individu.
Namun, kemudahan-kemudahan tersebut tidak lepas dari tantangan baru, salah satunya adalah terkait aspek etika dalam penggunaannya. Etika dalam penggunaan AI di bidang pendidikan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Baik pendidik maupun peserta didik harus memahami bahwa teknologi hanyalah alat bantu, bukan pengganti peran manusia sepenuhnya. Mereka juga harus memahami batasan serta tanggung jawab moral yang menyertai penggunaan teknologi ini agar AI benar-benar menjadi alat bantu yang mendukung proses pembelajaran, bukan malah merusaknya.
Salah satu bentuk penerapan etika dalam menggunakan AI adalah menggunakannya secara bijak untuk membantu memahami materi pelajaran, bukan sebagai sarana untuk mencontek atau menghindari proses belajar yang sebenarnya. AI memiliki kemampuan yang sangat baik dalam menjawab pertanyaan dan memecahkan berbagai persoalan, termasuk tugas-tugas sekolah. Hal ini diperkuat oleh survei yang dilakukan oleh Tirto.com pada 21–27 Mei 2024 terhadap pelajar tingkat SMA dan perguruan tinggi. Dari 1.501 responden berusia 15–21 tahun, sebanyak 86,21 persen mengaku menggunakan bantuan AI setidaknya sekali dalam sebulan untuk mengerjakan tugas sekolah. Fakta ini menunjukkan bahwa AI telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan belajar pelajar saat ini. Namun, etika perlu ditekankan di sini: AI sebaiknya digunakan untuk brainstorming, mencari referensi tambahan, dan mendalami konsep pelajaran, bukan untuk menyalin jawaban secara mentah yang bisa merusak integritas akademik.
Kemudahan yang ditawarkan AI juga memiliki potensi untuk menimbulkan ketergantungan. Jika pelajar terlalu sering bergantung pada AI untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, tanpa berusaha memahami materi secara mendalam, maka akan terjadi penurunan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas mereka. Kecanduan terhadap jawaban instan dari AI dapat mengurangi dorongan untuk belajar secara mandiri. Oleh karena itu, AI seharusnya diposisikan sebagai alat bantu pendukung, bukan pengganti proses belajar itu sendiri. Guru dan orang tua juga perlu berperan aktif dalam mengarahkan siswa agar tetap aktif berpikir, berdiskusi, dan bereksplorasi, tanpa sekadar menerima jawaban dari mesin.
Selain itu, etika penggunaan AI juga menyangkut keadilan dan inklusivitas. Teknologi AI tidak luput dari kemungkinan bias karena algoritmanya dikembangkan berdasarkan data yang digunakan selama pelatihan. Jika data yang digunakan tidak mencerminkan keberagaman yang ada dalam masyarakat, maka hasil yang diberikan AI bisa bersifat diskriminatif. Misalnya, sistem AI yang digunakan dalam penilaian siswa bisa saja memberikan hasil yang tidak akurat atau tidak adil bagi siswa dari latar belakang tertentu. UNESCO dalam laporannya tahun 2023 menyebutkan bahwa beberapa sistem AI menunjukkan adanya bias terhadap latar belakang sosial dan budaya tertentu karena pelatihan data yang tidak merata. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap penggunaan dan pengembangan AI harus terus dilakukan agar tidak memperkuat ketimpangan yang ada, melainkan menjadi alat yang adil dan setara untuk semua peserta didik.
Tanggung jawab atas hasil pekerjaan yang melibatkan AI juga merupakan etika penting yang perlu diterapkan. Baik peserta didik maupun pendidik harus memastikan bahwa informasi yang digunakan dari hasil AI bersifat akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Hasil pencarian atau jawaban dari AI terkadang dapat mengandung informasi yang tidak relevan, tidak valid, bahkan menyesatkan. Hal ini dapat terjadi karena AI menyusun informasi berdasarkan data yang tersedia di internet, yang belum tentu berasal dari sumber terpercaya. Beberapa sistem AI bahkan menghasilkan referensi atau tautan yang tampak meyakinkan, namun sebenarnya fiktif atau tidak dapat ditemukan. Oleh karena itu, pengguna AI perlu melakukan verifikasi ulang terhadap informasi yang diterima dari sistem dan tidak langsung menerimanya begitu saja tanpa pengecekan.
Kehadiran kecerdasan buatan dalam dunia pendidikan membawa banyak manfaat, mulai dari efisiensi, personalisasi, hingga perluasan akses terhadap pembelajaran. Namun, di balik berbagai manfaat tersebut, penting untuk menempatkan etika sebagai landasan utama dalam penggunaannya. AI seharusnya menjadi alat bantu yang mendukung proses belajar, bukan menggantikannya. Penggunaan AI yang tidak etis, seperti menyalin jawaban tanpa pemahaman, terlalu bergantung pada teknologi, atau mempercayai informasi tanpa verifikasi, dapat merusak integritas akademik dan kualitas pembelajaran itu sendiri.
Untuk itu, penting bagi semua pihak siswa, guru, orang tua, hingga pembuat kebijakan untuk membangun budaya literasi digital dan etika teknologi yang kuat. Hanya dengan cara inilah AI dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pendidikan yang adil, inklusif, dan berkualitas. Teknologi adalah alat yang kuat, tetapi manusia tetap menjadi pengarah utamanya.(*).