HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}
Breaking News:
latest

Paradoks Kemandirian dan Ketergantungan Fiskal di Daerah Penghasil Tambang

David Kamaluddin El Barito, S.I.P. Mahasiswa Magister (S2) Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Lentera24.com - Kabupaten Tanah...

David Kamaluddin El Barito, S.I.P. Mahasiswa Magister (S2) Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada


Lentera24.com - Kabupaten Tanah Bumbu, dengan kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya, menjadikan daerah tersebut sebagai kabupaten dengan tingkat produksi batubara terbesar di Kalimantan Selatan dengan total sebanyak 57 Izin Usaha Pertambangan (IUP) (data.kalselprov.go.id, 2023). 

Sejak dimekarkan dari Kabupaten Kotabaru, daerah ini berkembang menjadi salah satu lumbung energi nasional, dengan sejumlah perusahaan tambang besar yang beroperasi di wilayahnya seperti PT Arutmin Indonesia dan PT Borneo Indobara. Dengan besarnya potensi sumber daya alam tersebut, bagaimana kontribusinya dalam memengaruhi tingkat kemandirian fiskal terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan ketergantungan fiskal dari transfer pemerintah pusat? 

Tabel 1. Realisasi Pendapatan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2019-2023

Sumber: Laporan Keuangan Hasil Pemeriksaan BPK RI, 2019-2023

Berdasarkan rumus penghitungan Derajat Desentralisasi Fiskal/kemandirian fiskal (DDF) dan Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah (RKKD) berikut:

ditemukan hasil sebagaimana dalam tabel 2 berikut.
Berdasarkan data fiskal Kabupaten Tanah Bumbu dari tahun 2019 hingga 2023, tergambar dengan jelas bahwa daerah ini mengalami tingkat kemandirian fiskal yang sangat rendah, dengan ketergantungan fiskal yang justru meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menjadi ironi tersendiri mengingat Tanah Bumbu merupakan salah satu daerah penghasil batubara terbesar di Kalimantan Selatan.

Seolah menjadi fakta paradoks, realitas ini menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertambangan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih belum mampu menopang kemandirian fiskal secara signifikan. Pada tahun 2019, derajat desentralisasi fiskal (DDF) hanya berada di angka 7,778%, yang berarti PAD hanya menyumbang sebagian kecil dari total pendapatan daerah. Sementara itu, rasio ketergantungan keuangan daerah (RKKD) mencapai 92,23%, mengindikasikan adanya dominasi dana transfer dari pemerintah pusat dalam struktur keuangan daerah. Situasi ini bukannya membaik, tetapi justru memburuk pada tahun-tahun berikutnya. Tahun 2023 mencatat titik terendah kemandirian fiskal, dengan DDF merosot ke angka 6,18% dan ketergantungan fiskal melonjak ke angka 93,82%.

Ketimpangan ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara potensi ekonomi daerah dari sektor pertambangan dengan efektivitas pengelolaan pendapatan daerah. Dengan cadangan batubara yang melimpah dan aktivitas eksploitasi yang sangat intensif, seharusnya PAD Tanah Bumbu dapat didorong untuk tumbuh secara signifikan melalui mekanisme pajak dan retribusi daerah, serta pengelolaan hasil tambang yang lebih berpihak pada kepentingan daerah. Akan tetapi, realitas menunjukkan bahwa pendapatan dari sektor tambang sebagian besar justru “dibawa keluar” oleh sistem fiskal nasional (pemerintah pusat), sehingga daerah hanya memperoleh bagian terbatas yang ditentukan melalui skema Dana Bagi Hasil (DBH). Hal ini mengindikasikan bahwa kekayaan sumber daya alam, khususnya batubara, belum benar-benar dimanfaatkan untuk memperkuat posisi fiskal daerah secara berkelanjutan.

Meskipun terletak di kawasan dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, masih sangat sulit bagi Tanah Bumbu untuk dapat dikatakan sebagai daerah dengan tingkat kemandirian fiskal yang baik, mengingat DDF yang dicapai masih berada di bawah skala 40,01 hingga 50,00—ambang batas yang digunakan untuk mengklasifikasikan kemandirian fiskal yang baik (Halim, 2007).

Secara fundamental, adanya ketergantungan terhadap sektor pertambangan juga turut membawa risiko jangka panjang terhadap stabilitas fiskal daerah. Fluktuasi harga batubara global, penurunan permintaan ekspor, atau perubahan kebijakan nasional terkait energi fosil dapat berdampak langsung pada penerimaan daerah (lihat Ardanaz & Leiras, 2019; Jamiyansuren et.al, 2020; Lewis, 2014; Watts, 2006). Sebagai contoh, jika terjadi penurunan signifikan dalam produksi atau harga batubara, maka jumlah DBH yang diterima oleh daerah juga akan turun. Dalam kondisi seperti ini, daerah dengan tingkat ketergantungan fiskal tinggi seperti Tanah Bumbu akan menghadapi tekanan besar dalam menjaga keseimbangan anggaran dan pembiayaan program pembangunan.

Dalam konteks fiskal regional, peran sektor tambang menjadi pedang bermata dua bagi Kabupaten Tanah Bumbu. Di satu sisi, sektor ini memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan pendapatan dan percepatan pembangunan infrastruktur. Namun di sisi lain, dominasi tambang dalam struktur ekonomi membuat daerah rentan terhadap guncangan eksternal dan menciptakan ketergantungan jangka panjang terhadap alokasi fiskal pusat. Hal ini juga mencerminkan adanya kebutuhan mendesak bagi pemerintah daerah untuk mulai mendorong diversifikasi ekonomi lokal.

Strategi jangka panjang yang dapat ditempuh antara lain adalah dengan mengembangkan sektor-sektor alternatif seperti pertanian modern, perikanan, dan pariwisata berbasis alam dan budaya. Selain itu, optimalisasi pemungutan pajak daerah dari aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan tambang, seperti pajak alat berat, retribusi jalan khusus tambang, dan kontribusi Corporate Social Responsibility (CSR), juga dapat menjadi salah satu upaya untuk memperkuat PAD. Pemanfaatan teknologi digital dalam pengawasan dan transparansi pendapatan dari sektor tambang juga perlu diperkuat, mengingat potensi kebocoran pendapatan di sektor ini cukup besar.

Dengan demikian, tantangan utama bagi Tanah Bumbu ke depan bukan hanya soal pengelolaan anggaran, tetapi juga menyangkut kebijakan struktural dalam pengelolaan sumber daya tambang. Diperlukan strategi fiskal yang mampu mengoptimalkan kontribusi sektor tambang ke PAD, agar daerah tidak hanya menjadi tempat ekstraksi sumber daya, melainkan juga mampu berdiri secara fiskal tanpa terlalu menggantungkan diri pada pemerintah pusat.***