Marshanda Rosy Rahmawati Mahasiswi Semester 2 Pascasarjana Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia Lent...
Lentera24.com - Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan salah satu pilar penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Di tengah tantangan zaman seperti kemerosotan moral, krisis identitas, dan gempuran budaya digital yang kian masif, PAI diharapkan mampu menjadi benteng nilai sekaligus fondasi karakter peserta didik. Namun, agar PAI benar-benar berdaya guna, tidak cukup jika proses pembelajarannya hanya difokuskan pada transfer ilmu agama secara tekstual. Salah satu aspek yang tak kalah penting dan masih menjadi pekerjaan rumah adalah asesmen pembelajaran PAI di sekolah.
Asesmen pembelajaran sejatinya bukan hanya alat ukur keberhasilan akademik siswa, melainkan bagian dari proses pendidikan itu sendiri. Dalam konteks PAI, asesmen harus mampu menggambarkan secara utuh perkembangan peserta didik, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sayangnya, dalam praktiknya, asesmen PAI masih cenderung menitikberatkan pada aspek kognitif. Peserta didik lebih banyak dinilai berdasarkan kemampuan menjawab soal-soal pilihan ganda atau uraian, tanpa cukup ruang untuk mengeksplorasi aspek sikap, perilaku, dan penerapan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari.
Menggugat Praktik Asesmen yang Sempit
Masih banyak praktik asesmen PAI di sekolah yang terjebak dalam model penilaian konvensional. Guru mengukur keberhasilan belajar hanya dari hasil ujian akhir, tanpa mempertimbangkan bagaimana siswa menjalankan ibadah, bersikap terhadap teman, atau menunjukkan kepedulian sosial. Akibatnya, PAI kerap dipandang sekadar mata pelajaran hafalan yang jauh dari kehidupan nyata.
Padahal, tujuan utama PAI adalah menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri peserta didik agar menjadi pribadi beriman, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab. Nilai-nilai tersebut tidak dapat diukur hanya dengan angka. Diperlukan asesmen yang lebih menyentuh aspek afektif dan psikomotorik, seperti penilaian sikap spiritual, keaktifan dalam kegiatan keagamaan, kemampuan menyampaikan pesan moral secara lisan maupun tulisan, serta kebiasaan sehari-hari yang mencerminkan pengamalan ajaran Islam.
Sayangnya, aspek-aspek tersebut justru paling sering diabaikan. Guru PAI sering mengalami dilema dalam menyusun dan menerapkan instrumen penilaian yang autentik karena keterbatasan waktu, minimnya pelatihan, dan tekanan administratif. Ini menjadi bukti bahwa asesmen PAI masih memerlukan pembenahan serius agar lebih sesuai dengan tujuan pendidikan agama itu sendiri.
Asesmen Autentik: Jalan Menuju Pembelajaran Bermakna
Asesmen autentik adalah pendekatan penilaian yang dirancang untuk menggambarkan kemampuan siswa dalam konteks kehidupan nyata. Dalam konteks PAI, asesmen autentik dapat berupa penugasan proyek, presentasi lisan, portofolio, jurnal refleksi, observasi praktik ibadah, dan keterlibatan siswa dalam kegiatan sosial atau keagamaan. Dengan demikian, guru dapat melihat sejauh mana pemahaman siswa terhadap nilai-nilai Islam terinternalisasi dalam sikap dan perilaku mereka.
Selain itu, asesmen formatif—yaitu asesmen yang dilakukan secara berkelanjutan selama proses pembelajaran—juga sangat penting. Asesmen formatif tidak hanya berfungsi untuk mengetahui capaian sementara siswa, tetapi juga memberikan umpan balik agar pembelajaran dapat diperbaiki dan disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Guru dapat menggunakan pertanyaan terbuka, diskusi kelompok, atau bahkan platform digital seperti Google Form untuk mengevaluasi sejauh mana materi dipahami dan diterapkan siswa dalam kehidupan nyata.
Dengan penerapan asesmen formatif dan autentik, guru tidak hanya berperan sebagai penguji, tetapi juga sebagai pembimbing dan fasilitator pembelajaran. Pendekatan ini lebih sejalan dengan nilai-nilai pendidikan Islam yang mengedepankan proses, pembinaan, dan pertumbuhan spiritual peserta didik.
Peran Guru sebagai Agen Reflektif
Guru PAI memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa asesmen yang dilakukan tidak sekadar administratif, tetapi benar-benar bermakna. Untuk itu, guru harus mampu merancang perencanaan asesmen yang matang sejak awal. Setiap indikator pembelajaran harus dikaitkan dengan instrumen penilaian yang tepat, termasuk metode dan kriteria keberhasilannya.
Setelah pelaksanaan asesmen, guru perlu mengolah dan menganalisis hasilnya secara jujur dan transparan. Hasil tersebut bukan hanya untuk menentukan nilai rapor, tetapi juga sebagai dasar untuk memberikan umpan balik kepada siswa dan merancang tindak lanjut, seperti program remedi, pengayaan, atau konseling keagamaan. Proses refleksi atas hasil asesmen ini menjadi salah satu kunci agar pembelajaran PAI tidak hanya selesai di ruang kelas, tetapi juga berdampak pada kehidupan siswa di luar sekolah.
Guru juga perlu menyadari bahwa asesmen adalah bagian dari proses pembelajaran itu sendiri, bukan hanya tahapan akhir. Ketika siswa diberikan kesempatan untuk merefleksikan pengalaman belajarnya, menunjukkan pemahamannya secara personal, dan menerapkan nilai-nilai agama dalam tindakan nyata, maka proses pembelajaran akan jauh lebih bermakna.
Tantangan dan Peluang Pengembangan Asesmen PAI
Meskipun gagasan asesmen yang lebih holistik dan kontekstual terdengar ideal, penerapannya tidak selalu mudah. Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya pemahaman guru mengenai desain asesmen autentik dan keterampilan teknis dalam mengimplementasikannya. Banyak guru masih merasa nyaman dengan metode konvensional yang lebih mudah diukur dan dilaporkan.
Selain itu, tekanan administratif seperti pembuatan dokumen RPP, laporan nilai, hingga pelaksanaan ujian sekolah membuat guru kesulitan fokus pada pengembangan asesmen yang mendalam. Di sisi lain, sistem pendidikan kita sendiri masih sangat berorientasi pada angka dan nilai akhir, yang kadang mengaburkan makna dari proses belajar itu sendiri.
Namun demikian, kemajuan teknologi pendidikan dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter membuka peluang baru dalam pengembangan asesmen PAI. Platform digital, media sosial, dan aplikasi pembelajaran dapat dimanfaatkan untuk memperluas cakupan asesmen, sekaligus menjangkau ranah afektif siswa dengan pendekatan yang lebih kreatif.
Dukungan dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan komunitas guru juga sangat diperlukan. Pelatihan yang berkelanjutan, forum diskusi profesional, serta regulasi yang adaptif terhadap inovasi asesmen menjadi bagian penting dari proses transformasi ini. Tanpa itu semua, perubahan asesmen hanya akan berhenti pada tataran wacana.
Menuju Asesmen PAI yang Membentuk Karakter Bangsa
Sudah saatnya kita memaknai ulang asesmen dalam pembelajaran PAI sebagai bagian integral dari upaya membangun karakter peserta didik secara utuh. Jika asesmen hanya dijadikan alat ukur administratif, maka kita kehilangan peluang besar untuk menanamkan nilai dan membentuk perilaku. Tetapi jika asesmen dirancang secara reflektif, holistik, dan kontekstual, maka ia akan menjadi alat transformasi—bukan hanya bagi siswa, tetapi juga bagi sistem pendidikan itu sendiri.
Dengan asesmen yang bermakna, PAI tidak lagi dipandang sebagai mata pelajaran yang membosankan atau hanya berisi hafalan, tetapi sebagai wahana pembentukan insan yang cerdas secara spiritual, matang secara emosional, dan bijak dalam bertindak. Ini adalah cita-cita besar yang hanya bisa diwujudkan jika kita bersedia melakukan perubahan, dimulai dari cara kita menilai.***