Rofinus Bali Mema Program Studi Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pamulang, Matkul Sis...
Prolog
Lentera24.com - Sistem adalah “perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas; susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya; metode”.1 Berdasarkan pada pengertian sistem demikian, istilah sistem ketatanegaraan kurang lebih dapat dimaknai sebagai susunan berbagai perangkat unsur yang saling berkaitan membentuk struktur organisasi negara. Adapun hukum dapat dimaknai dalam dua besaran pengertian, yaitu i) sebuah sistem atau kumpulan peraturan tertulis dan baku yang mengikat masyarakat dan ditegakkan oleh otoritas tertentu; atau ii) sebagai sebuah sistem berpikir dan berperilaku (atau lebih luas sebagai sistem budaya) dari masyarakat tertentu.
Lawrence M. Friedman mengemukakan teorinya tentang tiga lapisan hukum dalam masyarakat, yaitu i) substansi hukum; ii) struktur -fisik- hukum; dan iii) budaya hukum. Substansi hukum, menurut Friedman, adalah isi dari peraturan perundang undangan baik itu tertulis (sebagaimana sistem civil law) atau tidak tertulis (sebagaimana sistem common law) yang coba diberlakukan. Struktur fisik hukum menurut Friedman lebih berupa lembaga-lembaga atau institusi-institusi yang diinginkan dan kemudian dibentuk oleh substansi hukum, yang ketika lembaga-lembaga maupun institusi-institusi tersebut telah dibentuk dapat dibayangkan untuk dirangkai sehingga membentuk suatu struktur atau jejaring atau “bangunan” dimana hukum dapat bekerja.
Sementara budaya hukum menurut Friedman adalah kondisi ketika peraturan-peraturan atau substansi hukum telah internalisasi, diterima oleh masyarakat, mengendalikan cara berpikir masyarakat, serta mengarahkan tindakan-tindakan masyarakat.2 Dari pemahaman sistem hukum seperti diuraikan di atas, bagian utama struktur hukum ketatanegaraan RI dapat ditemukan dalam naskah undang-undang dasar atau
Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi
Pengujian Undang-Undang Pengujian undang-undang adalah kewenangan MK yang paling populer. Populer dalam arti paling banyak dilakukan oleh MK atas dasar permohonan dari masyarakat. Sekadar sebagai gambaran, sejak 2003 hingga tahun 2017, MK telah meregistrasi 2.481 perkara, yang sebanyak 1.134 perkara adalah perkara pengujian undang-undang; 910 perkara terkait Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah; 412 perkara terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Legislatif DPR, DPD, DPRD dan Presiden/Wakil Presiden; serta 25 perkara terkait Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.21 Dapat dikatakan bahwa kewenangan pengujian undang-undang menjadi kewenangan paling penting karena kewenangan ini langsung bersentuhan dengan kepentingan masyarakat. Artinya ketika masyarakat merasa hak konstitusionalnya dilanggar/dirugikan oleh suatu undang-undang, bahkan “sekadar” berpotensi dilanggar/dirugikan oleh suatu undang-undang, mereka dapat langsung mengajukan permohonan kepada MK agar suatu undang-undang diuji konstitusionalitasnya (terhadap UUD 1945).22 Terdapat dua jenis pengujian undang-undang yang dapat dilakukan oleh MK, yaitu pengujian formil dan pengujian materiil.
Pengujian formil adalah pengujian suatu undang-undang dilihat dari proses/prosedur pembentukannya. Dalam jenis pengujian ini MK menilai apakah pembentukan suatu undang-undang telah mengikuti proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur oleh UUD 1945 dan undang-undang yang diperintahkan pembentukannya oleh Pasal 22A UUD 1945.
Beberapa ketentuan dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai proses pembentukan undang-undang adalah Pasal 5 ayat (2), Pasal 20, Pasal 22A, dan Pasal 22D. Adapun pengujian materiil adalah pengujian materi atau norma undang-undang yang dinilai apakah bertentangan dengan norma UUD 1945 atau tidak. Jika bertentangan maka norma undang-undang dimaksud oleh MK akan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sebaliknya jika MK tidak menemukan adanya pertentangan antara norma undang-undang yang diuji dengan norma UUD 1945 maka MK akan menyatakan menolak permohonan (para) Pemohon, yang artinya norma undang-undang yang diuji tidak bertentangan dengan norma UUD 1945 dan karenanya tetap berlaku serta mengikat.
Ide pengujian undang-undang pernah mengemuka pada saat sidang BPUPK pada 15 Juli 1945 melalui usulan Muhammad Yamin agar Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk “membanding undang-undang”. Namun usulan demikian ditolak karena konsep membanding undang-undang tidak sesuai dengan konsep supremasi MPR yang saat itu menjadi paradigma UUD 1945.23 UUD 1945 setelah Perubahan beralih paradigma dari sebelumnya supremasi parlemen menjadi supremasi konstitusi. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah Perubahan menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”. Supremasi konstitusi, perubahan kedudukan MPR, serta munculnya lembaga negara lain sebagai pelaku kedaulatan rakyat, menunjukkan bahwa ide dasar penataan struktur negara dalam UUD 1945 dilandaskan pada konsep hubungan “checks and balance”.
Untuk menguatkan konsep checks and balance, serta utamanya demi menjamin supremasi konstitusi, maka dimunculkan lembaga pengadilan konstitusional yang bernama Mahkamah Konstitusi. Konsep Supremasi Konstitusi (The Supremacy of The Constitution) sebagaimana dirumuskan oleh Jutta Limbach memiliki ciri i) pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum lainnya; ii) keterikatan penguasa terhadap Undang Undang Dasar; dan iii) adanya suatu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan tindakan hukum pemerintah.24 Dalam pengujian materiil undang-undang, norma yang menjadi dasar pengujian atau batu uji atau parameter uji sudah dibatasi yaitu hanya norma hukum dalam UUD 1945. Norma hukum dimaksud dapat ditemukan baik dalam pasal maupun ayat UUD 1945, yang tersebar dalam “batang tubuh” Pasal 1 sampai dengan Pasal 37, Aturan Peralihan Pasal I sampai Pasal III, serta Aturan Tambahan Pasal I dan Pasal II.
Selain norma konstitusional yang tersurat dalam tujuh puluh delapan pasal tersebut, parameter uji konstitusionalitas juga dimungkinkan untuk ditemukan dalam Pembukaan (Preambule) UUD 1945. Meskipun hingga saat ini MK dalam berbagai putusannya belum secara eksplisit menggunakan norma-norma hukum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai parameter uji, namun dikaitkan nya pertimbangan hukum putusan MK dengan Pancasila menunjukkan bahwa di masa mendatang sangat mungkin Pancasila -yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945- akan dipergunakan oleh MK sebagai parameter uji konstitusionalitas undang-undang.(*).
REFRENSI
Bagir Manan, Membedah UUD 1945, Malang: UB Press, 2012. Benny K. Harman, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi: Sejarah Pemikiran Pengujian UU terhadap UUD, Jakarta:
KPG, 2013. Fitra Arsil, Teori Sistem Pemerintahan: Pergeseran Konsep dan Saling Kontribusi Antar Sistem Pemerintahan di Berbagai Negara, Depok: PT RajaGrafindo Persada bekerjasama dengan
Djokosoetono Research Center FH UI, 2017. I Nyoman Nurjaya “Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum”, makalah pada Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia, Jakarta, 11-13 Oktober 2004. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan
Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: MKRI dan PSHTN FH UI, 2004. Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006. Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi,
Konsistensi Pada Konstitusi dan Ideologi Negara: Laporan Tahunan 2017, Jakarta: Kepaniteraan dan Setjen MKRI, 2018. Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (judul asli The Legal Science: A Social Science Perspective), Cetakan Keempat, Bandung: Nusamedia, 2011. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan
Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, Jakarta: MKRI, 2004. Maruarar Siahaan, “Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Negara Kita: Masalah dan Tantangan” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 4, Agustus 2010. Mark V. Tushnet, Why The Constitution Matters, New Haven dan London: Yale University, 2010. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke-22,
Jakarta: Gramedia, 2001. N.W. Barber, The Constitutional State, Oxford: Oxford University Press, 2010. Setjen dan Kepaniteraan MKRI, Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945: Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2010. Setjen dan Kepaniteraan MKRI, Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman,
Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2010. Setjen dan Kepaniteraan MKRI, Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan
MKRI, 2010. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, cetakan ke-6, Yogyakarta: Liberty, 2009. Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016.