HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Asesmen Pembelajaran PAI: Menilai Pengetahuan atau Menumbuhkan Keimanan?

Intan Wardatul K Mahasiswi Semester 1 Prodi Ilmu Pendidikan Agama Islam Fakultas Pendidikan Ilmu Pendidikan Sosial Universitas Pendidikan In...

Intan Wardatul K Mahasiswi Semester 1 Prodi Ilmu Pendidikan Agama Islam Fakultas Pendidikan Ilmu Pendidikan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia


Lentera24.com - Pendidikan Agama Islam (PAI) bukan sekadar mata pelajaran, melainkan ruang suci dalam sistem pendidikan formal untuk menanamkan nilai-nilai luhur agama. Di tengah krisis moral, degradasi etika, dan derasnya pengaruh media sosial yang mengaburkan batas benar dan salah, PAI menjadi benteng karakter dan jati diri peserta didik. Dalam proses ini, asesmen memainkan peran penting sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan. Ia tidak hanya berfungsi sebagai alat ukur capaian pembelajaran, tetapi juga menjadi cermin dari paradigma pendidikan yang dianut. Dalam konteks PAI, asesmen seharusnya tidak sekadar menilai sejauh mana siswa menguasai pengetahuan keislaman, melainkan lebih dari itu; menakar sejauh mana nilai-nilai keimanan dan akhlak telah melekat dalam diri mereka. 

Namun, dalam praktiknya, asesmen PAI di banyak sekolah masih didominasi oleh pendekatan kognitif. Soal-soal pilihan ganda, isian singkat, dan uraian yang menekankan hafalan materi menjadi tolok ukur utama keberhasilan siswa. Akibatnya, pendidikan agama seolah hanya berakhir pada kemampuan menjawab soal, bukan pada perubahan sikap atau tumbuhnya spiritualitas. Pertanyaannya kemudian, apakah asesmen seperti ini relevan untuk tujuan utama PAI? Apakah keimanan dan akhlak bisa diukur dengan angka?

Antara Pengetahuan dan Keimanan

Tujuan utama pembelajaran PAI adalah membentuk peserta didik yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, yang menegaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Maka, sejatinya asesmen dalam mata pelajaran ini harus mencerminkan proses dan hasil pembentukan karakter spiritual dan moral.

Pengetahuan agama penting, tetapi ia hanya menjadi pintu masuk. Tanpa internalisasi, pengetahuan bisa kering, bahkan berpotensi menghasilkan sikap yang kontradiktif. Siswa mungkin mampu menjelaskan makna jujur, tetapi tidak segan mencontek saat ujian. Mereka bisa menjelaskan adab terhadap orang tua, namun dalam praktiknya bersikap kasar di rumah. Maka yang perlu ditekankan adalah bagaimana pengetahuan itu bertransformasi menjadi sikap dan perilaku. Asesmen dalam PAI harus mampu menilai proses ini. Ia harus menjadi sarana untuk menumbuhkan, bukan sekadar mengukur.

Membangun Budaya Reflektif di Sekolah

Salah satu langkah nyata dalam membangun asesmen PAI yang lebih bermakna adalah dengan membentuk budaya reflektif di sekolah. Refleksi bukan hanya tugas siswa, tetapi juga guru dan lingkungan pendidikan secara keseluruhan. Setiap aktivitas keagamaan bisa dijadikan bahan evaluasi bersama: bagaimana sikap siswa selama kegiatan keagamaan berlangsung? Apakah mereka melaksanakannya dengan kesadaran atau sekadar menggugurkan kewajiban?

Refleksi ini juga bisa dimasukkan sebagai bagian dari asesmen harian atau mingguan. Guru bisa memberikan pertanyaan terbuka seperti: “Apa nilai keislaman yang kamu rasakan minggu ini paling berpengaruh bagi hidupmu?” atau “Apa satu perbuatan baik yang kamu lakukan karena terinspirasi dari pelajaran PAI?” Pertanyaan seperti ini membantu siswa menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupan mereka yang nyata, bukan hanya memahami di permukaan. Dengan menjadikan refleksi sebagai kebiasaan, siswa akan tumbuh menjadi pribadi yang mampu merenungkan nilai-nilai, bukan sekadar menyalin jawaban.

Peran Guru PAI: Melebihi Pengajar, Menjadi Teladan

Asesmen PAI yang bermakna juga sangat tergantung pada keteladanan guru. Guru PAI bukan hanya menyampaikan materi, tetapi mencerminkan ajaran agama dalam perilaku sehari-hari. Siswa akan lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat daripada dari apa yang mereka dengar.

Dalam konteks ini, guru memiliki tanggung jawab untuk menilai dengan hati, bukan hanya dengan angka. Menyimak perubahan sikap siswa, memperhatikan bagaimana mereka bersikap saat terjadi konflik, bagaimana mereka merespon perintah orang tua dan guru, semua itu adalah bagian penting dari asesmen spiritual yang tidak bisa digantikan oleh soal pilihan ganda.

Guru juga bisa melakukan komunikasi personal dengan siswa sebagai bagian dari asesmen. Pendekatan dialogis ini membuka ruang bagi siswa untuk mengungkapkan pengalaman spiritual mereka, kebingungan mereka, bahkan krisis iman yang mungkin sedang mereka alami. Dengan cara ini, asesmen menjadi sarana pembimbingan, bukan sekadar pengukuran.

Asesmen dan Pendidikan Karakter: Dua Hal yang Tak Terpisahkan

Satu hal yang penting untuk disadari adalah bahwa asesmen PAI tidak bisa dipisahkan dari pendidikan karakter. Pendidikan karakter bukan program tambahan, melainkan hasil dari proses pendidikan agama yang berhasil. Jika asesmen PAI dilakukan secara benar, maka ia secara otomatis menjadi alat ukur perkembangan karakter siswa.

Dalam praktiknya, asesmen karakter bisa dilakukan dengan mencermati perilaku siswa dalam berbagai kegiatan, baik akademik maupun non-akademik. Misalnya, saat kegiatan pramuka, kerja bakti, kunjungan sosial, atau kegiatan OSIS. Guru PAI dapat berkoordinasi dengan guru lain untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang sikap dan nilai-nilai keagamaan yang tampak dalam tindakan siswa sehari-hari.

Bahkan asesmen spiritual bisa dikaitkan dengan kehadiran dan keterlibatan siswa dalam kegiatan ibadah rutin di sekolah, seperti salat berjamaah, tadarus pagi, atau kegiatan amalan harian. Semua ini bisa dijadikan indikator tambahan dalam penilaian, bukan hanya dokumentasi formal semata.

Menyusun Instrumen Asesmen PAI yang Holistik

Agar asesmen spiritual tidak menjadi penilaian yang subjektif, guru perlu menyusun instrumen penilaian yang terukur dan transparan. Hal ini juga sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, yang menekankan bahwa penilaian dalam pendidikan harus mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara holistik. Dalam konteks PAI, ketiga aspek ini dapat dijembatani melalui indikator-indikator yang konkret dan bermakna.

Rubrik penilaian sikap dan spiritual bisa disusun berdasarkan indikator sederhana namun relevan, seperti:

Kesungguhan dalam mengikuti kegiatan keagamaan,

Kemampuan menunjukkan empati dan kepedulian,

Ketekunan dalam menjalankan amalan rutin,

Konsistensi dalam berkata jujur dan bersikap adil.

Selain itu, penggunaan portofolio juga dapat menjadi alternatif asesmen yang menarik. Portofolio bisa berupa kumpulan tulisan reflektif, dokumentasi aktivitas ibadah, rekaman suara atau video tilawah, hingga proyek kebaikan yang dilakukan siswa selama satu semester. Melalui portofolio, guru dan siswa bisa melihat perkembangan spiritual secara lebih utuh.

Penutup: 

Kembali ke Tujuan Pendidikan

Jika tujuan dari PAI adalah menumbuhkan keimanan dan ketakwaan, maka seluruh proses pendidikan, termasuk asesmennya, harus diarahkan ke sana. Kita tidak bisa berharap siswa menjadi pribadi yang saleh jika cara kita menilai mereka tidak menunjukkan bahwa kita peduli pada nilai-nilai tersebut.

Asesmen bukan hanya tentang memberi angka, tapi tentang memberi makna. Saat kita menjadikan asesmen sebagai bagian dari proses pembinaan spiritual, maka kita sedang menciptakan ruang tumbuh bagi iman dan akhlak dalam diri siswa. Inilah esensi dari pendidikan agama: bukan hanya menilai apa yang siswa tahu, tetapi membantu mereka menjadi manusia yang lebih dekat kepada Tuhannya.***