HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Mengenal Revenge Porn : KBGO Era Digital

Johar Andesti Mahasiswi Semester 2 Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga Lentera24.com - Istilah Revenge Porn tengah ramai menjadi perbi...

Johar Andesti Mahasiswi Semester 2 Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga

Lentera24.com - Istilah Revenge Porn tengah ramai menjadi perbincangan akhir-akhir ini. Revenge Porn sendiri merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender online yang seringkali digunakan sebagai alat pengancaman dan pemerasan oleh pelaku. 

Dilansir dari awas kbgo.id, Revenge Porn atau pornografi balas dendam merujuk pada tindakan penyebaran konten eksplisit tanpa adanya persetujuan dari korban yang mana acapkali pelakunya merupakan mantan pasangan dengan intensi balas dendam. 

Seringkali motif dari pelaku adalah untuk mempermalukan dan menjatuhkan citra mantan pasangan dalam ranah publik. Apabila kita melakukan analisis lebih lanjut, dapat ditemukan beberapa problematika dari Istilah Revenge Porn sendiri, mengapa demikian?

1. Adanya Penyalahgunaan Istilah “Pornografi” yang mana mengacu pada produksi konten eksplisit pada industri hiburan, sedangkan muatan yang tersebar dalam kasus Revenge Porn sangat jauh dari ranah industri pornografi;

2. Istilah Revenge Porn menitik fokuskan pada korban alih-alih kejahatan pengancaman dan penyebarluasan muatan non-konsensual yang dilakukan oleh pelaku;

3.Pornografi Balas Dendam” seakan merujuk bahwa korban telah melakukan kesalahan pada pelaku sehingga pelaku berhak untuk melakukan balas dendam. Padahal, terjadinya Revenge Porn antara satu korban dan korban lainnya tidak dapat digeneralisasi. Adanya Revenge Porn juga acapkali disebabkan oleh adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban.

Dampak Pada Korban
Tak jauh berbeda dari kekerasan seksual lainnya, korban seringkali disalahkan dan dipojokkan oleh publik. Penyintas dalam satu waktu seakan digambarkan sebagai korban sekaligus pemicu atas situasi yang terjadi. Tak jarang kesalahan dititik beratkan kepada korban lantaran publik berasumsi bahwa korban telah melakukan tindakan yang sembrono. Korban menjadi fokus bahasan utama oleh publik alih-alih menyoroti kejahatan yang dilakukan pelaku. 

Selain itu, publik yang menilai konten eksplisit yang tersebar melalui sudut pandang sosial budaya konservatif seringkali membuat korban menjadi sasaran cyber bullying yang akhirnya akan berdampak pada kesehatan mental korban.

Risiko dampak kesehatan mental yang dialami oleh korban dari Revenge Porn cukup identik sebagaimana yang dialami korban perkosaan. Korban Revenge Porn sering mengalami panic attack, depresi, hingga PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). 

Selain itu, penghinaan yang dialami korban akan membuat mereka berhadapan dengan pergulatan seumur hidup untuk mempertahankan nama baik dan integritas mereka. 

Penyebaran konten eksplisit korban juga membawa permasalahan atas kontrol dan kekuasaan korban atas tubuh mereka yang direnggut dan seakan dijadikan properti publik. Dilansir dari asumsi.co, ketika kekuasaan seseorang atas tubuh mereka sendiri telah direnggut, kesehatan mental pun beresiko ikut terganggu.

Adapun korban Revenge Porn juga seringkali mengalami ketidakberdayaan akibat payung hukum terhadap tindakan ini masih cukup lemah di Indonesia. 

Menurut (Maiswa Nur, 2022), Hukum terhadap tindakan Revenge Porn belum diatur secara khusus di Indonesia, tetapi apabila menganalisis unsur-unsur tindakannya maka Revenge Porn dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. 

Penetapan pidana terhadap pelaku dapat didasari oleh KUHP, UU Pornografi, dan UU ITE. Sayangnya, di sisi lain landasan hukum tersebut dapat menyebabkan korban dikriminalisasi lantaran rumusan perundang-undangan yang multitafsir. Belum adanya aturan khusus mengenai tindak pidana Revenge Porn tentunya sangat merugikan korban.

Pentingnya Berperspektif Korban
Memang banyak sumber yang menyebutkan upaya dan langkah-langkah untuk menghindari terjadinya Revenge Porn. Namun demikian, bukan berarti pihak korban dapat disalahkan atas peristiwa yang terjadi. Alih-alih menyoroti korban, bukankah perbuatan penyebarluasan konten eksplisit tanpa konsen oleh pelaku yang dapat mengakibatkan dampak psikologis, sosial, dan material berjangka panjang lah yang seharusnya tidak dapat ditoleransi?
SC : twitter.com/markskiess

Sangat penting bagi kita untuk memiliki perspektif korban dalam kasus ini. Kita bisa memulainya dengan tidak ikut menyebarluaskan konten dan melaporkan muatan yang merujuk pada Revenge Porn. 

Terlepas dari sudut pandang sosial budaya, terjadinya Revenge Porn telah memberikan dampak yang sangat buruk bagi korban. Mulailah untuk mencoba tidak ikut tergesa-gesa menghakimi dan menyudutkan korban. Sebab, kekerasan siber berbasis gender ini sama sekali tidak pernah diharapkan dan merupakan kejadian diluar dugaan dari korban. Adapun kekerasan berbasis gender merupakan permasalahan yang rentan menimpa siapapun, terutama perempuan. Begitu pula Revenge Porn yang sebagian besar korbannya merupakan perempuan. 

Sebagaimana dilansir dari cyber civil right initiative bahwa 90 persen dari total korban Revenge Porn merupakan perempuan. Lantas sampai kapan kita akan terus melanggengkan anggapan publik atas perempuan sebagai objek dan setengah manusia? ingat, dalam kasus Revenge Porn penyintas adalah korban dan sama sekali bukan objek seksualitas publik. Di sisi lain, tingginya persentase perempuan sebagai korban Revenge Porn tetap saja tidak menutup resiko laki-laki terhadap jenis kekerasan cyber ini.***