HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

MIMPI BURUK LEMBAGA ANTI RASUAH

Oleh : Mohd. Assad  Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Lentera24.com   -- Bangsa ini masih memerlukan upaya yang lu...

Oleh : Mohd. Assad Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Lentera24.com -- Bangsa ini masih memerlukan upaya yang luar biasa dalam pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan perwujudan upaya luar biasa itu. Agar pemberantasan korupsi benar-benar tuntas, penguatan KPK menjadi syaratnya. Semangat penguatan inilah yang terus menggema dari ruang publik.

Penguatan baik sisi kewenangan maupun integritas para personelnya. Publik sangat mendukung agar KPK diisi sosok-sosok terbaik demi menyelamatkan Indonesia dari cengkraman para koruptor.

Kecintaan bangsa ini terhadap KPK inilah yang juga melatari munculnya pro dan kontra atas transformasi di tubuh lembaga anti rasuah ini. Kini internal KPK tengah melakukan peralihan status kepegawaian menjadi aparatur sipil negara sesuai amanat Undang-Undang 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peralihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, seolah telah membuka tirai duka kematian pemberantasan korupsi di negeri ini. Ditambah tidak lulusnya 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai persyaratan alih status mereka menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) seperti menyembunyikan lonceng kematian komisi anti rasuah.

Dalam tes tersebut, muncul berbagai pertanyaan aneh, seperti soal lepas jilbab, mengucapkan selamat hari raya kepada umat beragama lain, hukuman mati untuk penista agama, LGBT, kebijakan pemerintah yang tidak disetujui, hingga soal tata cara beribadah.

Opini publik hari-hari ini tidak dapat dibendung, bahwa asesment yang di lakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) tersebut penuh dengan kejanggalan. Mulai dari materi tes yang dianggap rasis dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kebutuhan integritas pegawai KPK. Bahkan sebagian publik juga mempertanyakan mengapa tes wawasan kebangsaan tidak diberlakukan juga kepada kimisioner KPK.

Bukankah seorang komisioner KPK pernah diganjar sanksi etik lantaran gaya hidup mewahnya? Bukankah mentalitas yang demikian itu juga berpontensi besar merusak nasionalisme KPK dalam melawan korupsi dinegeri ini?.

Sulit terbantahkan, bahwa skenario mengamputasi KPK sejak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi telah mempreteli sejumlah kewenangan komisi anti rasuah ini, bahwa telah mendorong pemberantasan korupsi di negeri ini nyaris ketitik nol. Mereka ingin menjadikan Komisi Pemberantasan Korupsi kelak sebatas “Orang-Orangan Sawah” di hadapan komplotan koruptor yang kian bringas.

Gangguan politik terhadap upaya pemberantsan korupsi bukanlah barang baru di Negara ini, yang masih menjadikan demokrasi sekedar praforma, demokrasi yang akomodatif terhadap para elite yang mengakumulasi kekuasaan berbasis transaksi dan rente. Di sini kemudian muncul apa yang disebut sebagai “Negara bayangan (pseudo-state)” (White,1999). Ini tempat para elite (pemilik kekuasaan) dan investor politik (pemilik modal) berjejaring dan bersinergi memaksimalkan perburuan fulus dan mengakumulasi kekuasaan secara manipulative demi keberlangsungan mutualisme politik-ekonomi. Jargon-jargon demokrasi tak lebih sebagai kain pembungkus libido rasuah para koruptor yang tamak.

Dalam situasi patologis tersebut, institusi hukum, termasuk “mesin” anti korupsi (KPK), tidak lagi dapat menunjukan taring dan independensi nya karena sudah terbawa arus dan dikendalikan oleh para plutocrat. Bahkan mereka seakan-akan memiliki tanggung jawab moral yang tinggi guna melindungi elite kekuasaan dan bisnis dari jerat hukum. Bocornya rencana KPK melakukan penyelidikan ke sejumlah tempat di negeri ini rasanya telah agak mebenarkan hal tersebut.

Tidak mengherankan jika kemudian sebagian besar elite politik (partai politik) yang terjerat korupsi justru berasal dari actor-actor demokrasi yang sebelumnya selalu lantang meneriakkan perang terhadap korupsi dengan intonasi moral yang tampak mengagumkan. Alih-alih menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi, mereka malah kian melanggengkan lingkaran setan korupsi tanpa ujung. Lingkaran inilah yang sedang berupaya “membunuh” KPK yang selama ini telah berperan signifikan dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. KPK seolah-olah menjadi “Anak Haram” yang harus disingkirkan.

Kinerja dan legitimasi kekuasaan yang kokoh untuk membangun rezim demokrasi tidak mungkin terwujud jika para elite politik dan pemerintah tidak serius dan proaktif dalam memimpin dan meperkuat agenda pemberantasan korupsi (Gilley, 2006; Gjefsen, 2012). Sudah lama ditegaskan, setidaknya dalam laporan Global Integrity (2013), bahwa lembaga khusus pemberantasan korupsi seperti KPK tidak dapat berbuat hal hal besar tanpa ada komitmen serius dari para elite politik, terutama yang berada di jantung kekuasaan, guna menghadirkan system pemberantasan korupsi yang transparant dan berintegritas serta akuntable. Tanpa komitmen tersebut dari para elite maka kita bersiap siap guna mengantarkan lembaga anti rasuah ini keperistirahatan panjangnya.

Hasilnya pun telah diumumkan dan 1.274 pegawai dinyatakan memenuhi syarat dan 75 pegawai tidak memenuhi syarat. Sementara itu, dua pegawai tidak mengikuti tes wawasan kebangsaan. Ada yang mendukung hasil tes, ada pula yang menganggapnya sebagai pelemahan KPK. Yang jelas proses asesment yang dilakukan KPK sebagai upaya menjalankan amanat undang-undang.
Bahkan, proses asesmen dilakukan dengan berkerja sama dengan banyak lembaga Negara yang lain, yakni Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan menggandeng Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI, Pusat Intelijen TNI-AD, Dinas Psikologi AD, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Yang muncul kemudian ialah isu bahwa asesment lewat tes wawasan kebangsaan ini dituding untuk menyingkirkan 75 orang tersebut dari KPK, sebagai upaya lanjutan dari usaha panjang untuk memperlemah eksistensi KPK.

Publik harus hati-hati dalam menyikapi polemik yang berkembang mengenai tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Di mana kasus ini mulai mencuat setelah 75 pegawai KPK dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) dalam tes yang untuk alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) sebagaimana diamanatkan UU 19/2019 KPK.[]***