Oleh MUAMMAR,S.H.,M.H.,CPrM Ketua FORMAPA. Peneliti LE’ MEURIYA CENTRE (LMC). Berdomisili Di Aceh Timur. Pertanyaan dasar dalam disk...
Oleh MUAMMAR,S.H.,M.H.,CPrM
Ketua FORMAPA.
Peneliti LE’ MEURIYA CENTRE (LMC).
Berdomisili Di Aceh Timur.
Pertanyaan dasar dalam diskusi ini adalah apakah semua yang ada atau tertertera dalam udnag-undang nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan aceh merupakan kekhususan/keistimewaan Aceh?, Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka coba kita pilah beberapa hal dengan asumsi bahwa tidak semua yang tertera dalam undang-undang pemerintahan Aceh adalah kekhususan/keistimewaan. Dalam hal ini kita hanya berfokus pada topic pemilihan gubernur, bupati/wali kota.
Menyakut pertanyaan tersebut di atas, maka setidaknya terdapat dua atau tiga kemungkinan jawaban di sini. Pertama, Pemilihan bukanlah kekhususan dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Kedua, Pemilihan merupakan Kekhususan mutlak dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan jawaban. Ketiga, sebagiannya adalah kekhususan dan sebagian merupakan hal yang bersifat umum yang di atur dalam peraturan di luar Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Terkait bahwa pemilihan merupakan bukanlah
kekhususan dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh, hal ini di dasarkan pada
Putusan Mahkamah Agung Nomor.8/KPTS/KIP.Aceh/2017 tentang koreksi putusan KIP
Aceh Barat Daya Nomor.57/KPTS/KIP.Kab/001-434543/2016 tentang penetapan
pasangan calon pemilihan bupati.
Dalam putusan tersebut Mahkamah berpendapat
bahwa penyelesaian sengketa pilkada tidak lagi menjadi wewenang Mahkamah Agung
untuk mengadili perkara tersebut, akan tetapi menjadi wewenang Mahkamah
Konstitusi berdasarkan Pasal 154 ayat (3) Undang-Undang Nomor.10 Tahun 2016
Tentang Pemilihan Umum.
Akan tetapi untuk pihak yang berpendapat
bahwa Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan kekhususan mutlak
terkait pemilihan umum hal ini di dasarkan pada Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang
Pemerintahan Aceh yang berbunyi “bahwa beban pembiayaan Pemilihan Gubernur
dibebankan pada APBA, dan untuk Pembiayaan pemilihan Bupati/Wali Kota menjadi
beban APBA dan APBK”.
Argumentasi ini dibuktikan dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur/ Bupati, Walikota di Tahun 2017 yang apabila memang Undang-Undang Nomor.10 Tahun 2016 tentang Pemilu merupakan kekhususan seharusnya beban pembiayaan penyelenggaran pemilu di tahun 2017 di bebankan kepada APBN sebagaimana di amanatkan oleh Undang-Undang tersebut.
Sedangkan Untuk yang berpendapat bahwa sebahagian dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh bersifat khusus/istimewa dan sebahagian yang lain bersifat umum. Hal ini di dasarkan pada Pasal 199 Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 2015 tentang penetapan PERPUU Nomor. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Umum. Yang berbunyi “ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan pemilihan di provinsi Aceh, Jakarta, Yogjakarta, Papua dan Papua Barat.
Sepanjang tidak di atur lain dalam Undang-Undang tersendiri”. Pendapat ini di perkuat dalam halaman 85 paragraf 3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 31/PHP.Gub/2017 yang menyebutkan andaikatapun dalil Undang-Undang Pemerintahan Aceh merupakan “lex Spesialis” dan Undang-Undang Pemilu merupakan “Lex Generalis” maka sepanjang tidak di atur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh, maka yang di berlakukan adalah Undang-Undang Pemilu. Terkhusus untuk waktu penyelenggaraan Pemilihan di Aceh.
Undang-Undang Pemerintahan Aceh telah mengatur hal tersebut, yakni dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Aceh “bahwa gubernur/ Bupati,Walikota di pilih langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil”. Maka hal tersebut dapat disimpulkan bahwa terkait penyelenggaran pemilihan jelas bahwa yang diberlakukan adalah Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Berdasarkan paparan tersebut, dapat kita lihat bahwa terkait pengaturan Pemilihan di Aceh, terdapat disharmonisasi hukum antara Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang Pemilu. Apabila disharmonisasi hukum tersebut terus berlanjut tanpa dilakukan harmonisasi kedapannya hal ini tidak akan menyelesaikan permasalahan dalam pembangunan nasional kedepan terkhusus menyangkut tentang hukum, karena kita hanya berkutat di permasalahan yang sama.
Menurut Prof Satjipto Rahardjo, Urgensi pengaharmonisasian peraturan perUndang-undangan dewasa ini menjadi semakin signifikan di tengah-tengah kondisi yang semakin kompleks antara lain disebabkan pelaksanaan otonomi daerah dan berbagai hal lainnya, seperti perkembangan globalisasi. Dimana signifikasi yang paling mengemuka terhadap langkah-langkah harmonisasi peraturan perUndang-Undangan tersebut adalah guna terciptanya kepastian hukum terhadap siapapun yang berkepentingan.
Tanpa adanya harmonisasi hukum dan masih mengandalkan pendekatan sektoral/politis, hal ini akan memunculkan permasalahan ketidakpastian hukum, ketertiban dan rasa tidak dilindunginya keinginan publik, dalam perspektif demikian masalah kepstian hukum akan di rasakan sebagai kebutuhan yang hanya dapat terwujud melalui dengan harmonisasi peraturan PerUndang-Undang tersebut.[]