HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Perlukah Pilkada di Aceh?

Oleh : Saifuddin Bantasyam   Tidak ada keraguan sedikit pun untuk mengatakan bahwa 2016 ini merupakan tahun politik bagi Serambi Mekkah....

Oleh : Saifuddin Bantasyam
 
Tidak ada keraguan sedikit pun untuk mengatakan bahwa 2016 ini merupakan tahun politik bagi Serambi Mekkah. Puncaknya adalah pada pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada Februari tahun depan (2017). Tidak tanggung-tanggung, di samping ada pilkada untuk posisi gubernur dan wagub, pilkada tahun depan itu juga berlangsung di 20 kabupaten/kota di Aceh. Karena itu, banyak energi yang dicurahkan selama sekitar 15 bulan mulai dari sekarang. Diperkirakan akan ada berbagai konflik, benturan, saling sikat dan sikut, menipu kawan seiring, menggunting dalam lapitan, atau menendang dari belakang (sipak tumèt). Ada marah, kesal, dan sakit hati. Ada yang kehilangan harapan atau mimpi, menjadi pecundang, dan juga akan ada pemenang. Berbagai macam rasa nantinya juga “dinikmati” oleh tim sukses dan para pendukung masing-masing pasangan.

Kepolisian Aceh tentu menjadi lembaga yang terdepan dalam mengatasi berbagai gesekan tersebut, yang bisa berwujud ekstrem dalam bentuk kekerasan atau kejahatan-kejahatan politik. Pengalaman Pilkada 2012 menunjukkan berbagai bentuk pelanggaran pidana pemilu dan kekerasan politik terjadi seiring dengan keberlangsungan kampanye sampai pada hari H. Ada kekerasan dengan senjata api, pelemparan granat, di samping ada kasus-kasus penganiayaan, pembakaran posko dan kenderaan partai, diikuti dengan berbagai bentuk pelanggaran lainnya. Sekian nyawa juga hilang, yang memunculkan rasa takut di kalangan masyarakat pada masa itu.

Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang diberi amanah oleh UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, akan “tertimpa” tugas yang tidak ringan, sekaligus juga dihadapkan dengan masalah yang berat, misalnya persoalan keuangan. Menurut peraturan perundang-undangan, daerah penyelenggara pilkada bertanggung jawab terhadap pendanaan pilkada, yang dialokasikan di dalam APBD. Untuk pilkada Aceh, KIP yang mengajukan anggaran Rp 180 miliar dari pagu awal Rp 203 miliar, namun hanya disetujui Rp 110 miliar oleh pemerintah Aceh. Hal yang sama mungkin dihadapi juga oleh berbagai kabupaten/kota lainnya di Aceh.

Berbagai partai politik (parpol) pun berada dalam kegalauan, tidak hanya dalam mencari sosok internal partai yang punya kapasitas, baik sebagai kepala daerah maupun sebagai wakil kepala daerah, melainkan juga mencari dukungan dari parpol-parpol lain. Pengecualian untuk kasus tersebut adalah Partai Aceh (PA) yang untuk level provinsi dan beberapa kabupaten/kota memiliki kursi dalam jumlah yang cukup untuk mengusung pasangan calon (paslon) sendiri.

Bekerja keras
Parpol di luar PA harus membangun koalisi agar syarat minimal jumlah kursi yang ditentukan oleh UU untuk mengajukan paslon kepala daerah terpenuhi. Jadi, mau tidak mau, saling merapat, makan siang, makan malam, minum kopi, lobi-lobi membangun komunikasi politik, adalah suatu kemestian. Paslon yang berencana maju melalui jalur independen juga harus bekerja sangat keras, untuk memperoleh dukungan dalam bentuk fotocopy KTP sekian persen dari jumlah penduduk.

Keseluruhan pemaparan pada bagian awal di atas menandakan tahun 2016 ini dan 2017 adalah tahun yang berat. Sedemikian berat sehingga muncul pertanyaan, perlukah pilkada, atau untuk apa pilkada? Tentu saja jawabannya tetap perlu. Seperti telah disebutkan, pilkada adalah ajang demokrasi di dalam mana rakyat mendapat kesempatan untuk memilih pemimpin yang bisa membawa berbagai perubahan ke arah yang lebih baik.

Karena itu, mari membayang-bayangkan tidak ada pilkada di Aceh dalam konteks munculnya bakal calon yang mampu meraih suara mayoritas, tanpa pesaing yang berarti, sehingga diistilahkan dengan “sebenarnya tidak perlu pilkada” atau “pilkada sekadar formalitas.” Dalam pilkada serentak Desember 2015 lalu, Abdullah Azwar Anas dan Yusuf Widiatmoko di Kabupaten Banyuwangi, menjadi contoh melalui kemenangan telak dengan suara 89 persen.

Sosok lain yang fenomenal adalah Tri Rismaharani yang berpasangan dengan Wisnu Sakti Buana di Kota Surabaya. Pasangan itu meraih sekitar 83 persen suara pemilih. Berikutnya warga di Kota Solo juga memberi kepercayaan kepada pasangan petahana FX Rudyatmo-Achmad Purnomo, yang meraih 60 persen suara pemilih.

Dengan adanya paslon-paslon yang hebat itu, maka penyelenggara, keamanan, dan warga masyarakat tidak perlu terlalu berpayah-payah. KIP dan panitia pengawas, tidak stress. Kepolisian juga bisa santai. Tak kurang daripada itu, paslon juga tak perlu banyak mengeluarkan keringat. Karena apa? Karena sudah terpilih sebelum pilkada berlangsung. Bagi mereka, pilkada akhirnya hanya semacam formalitas demokratik untuk sah secara de jure.

Tetapi adakah paslon-paslon seperti nama-nama tersebut di atas di Aceh, baik yang berstatus petahana (sedang menjabat) atau paslon yang bukan petahana, baik yang sudah pernah bertarung, dan kalah, dan kemudian maju lagi ke medan pertarungan? Untuk level provinsi, sudah ada beberapa calon gubernur, termasuk yang petahana (Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf), kemudian Irwandi Yusuf, dan Tarmizi Karim. Ahmad Farhan Hamid juga pernah dimunculkan. Beberapa nama lain pun digadang-gadang menjadi wakil gubernur.

Kenduri besar
Dengan nama-nama seperti itu, akankah fenomena “tidak perlu pilkada” itu terjadi di level provinsi? Adakah di antara sosok cagub nanti, terlepas dari siapa pun pasangan (wakilnya) yang maju tanpa pesaing yang berarti, yang meraih di atas 60-80 persen suara sah, misalnya? Jika ada, maka fenomena ini akan jadi kenduri besar bagi rakyat.

Kemudian di 20 kabupaten/kota di Aceh. Jika diasumsikan masing-masing kabupaten/kota memiliki lima paslon, berarti ada 100 paslon. “Perlukah pilkada” di tingkat dua ini? Atau “sama sekali tidak perlu pilkada” karena petahana atau bukan, di masing-masing kabupaten/kota di Aceh, yang memiliki kecakapan seperti Risma-Wisnu, Anas-Yusuf, dan Rudyatmo-Achmad, yang sangat populer tapi juga memiliki elektabilitas yang tinggi? Setiap figur yang mencalonkan diri dalam pilkada di Aceh, sebaiknya menyadari pentingnya memiliki dua hal di atas; populer dan elektabel. Demikian juga kepada timses, jangan sekedar menghembuskan angin surga kepada paslon yang didukung timses.

Risma di Surabaya meraih kemenangan besar karena rakyat merasakan manfaat program yang dijalankan Risma selama lima tahun menjabat. Saluran air dilebarkan, kota bebas sampah, dan jalan alternatif ditambah. Risma betul-betul membangun Kota Surabaya, mau turun ke bawah dalam arti sebenar-benarnya, tidak memoles citra, bahkan sampai menyapu menunjukkan keteladanan. Dia kemudian fokus pada pengentasan kemiskinan dan penurunan angka pengangguran, sambil menyiapkan warganya menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Apa yang dilakukan Anas-Yusuf? Mereka dulu membangun birokrasi yang ramah, menggerakkan ekonomi kreatif warga, dan kebijakan “pulang melahirkan langsung bawa akta”. Mereka membangun jalan sampai ke desa-desa, menggerakkan ekonomi warga di seluruh wilayah, membuka keterisolasian Banyuwangi dari daerah luar. Infrastruktur bandara diperbaiki, penerbangan komersial dibuka, jaringan internet dibangun hingga ke desa-desa, sampai kursus gratis tiga bahasa asing di setiap desa. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) meningkat dari 64,5 pada 2010 menjadi 67,3 pada 2014. Pendapatan per kapita Rp 14,9 juta pada 2010, naik menjadi Rp 25,5 juta setelah empat tahun dia menjabat sebagai kepala daerah.  

Pertanyaannya, adakah paslon-paslon yang seperti mereka itu di Aceh, sehingga “tidak lagi perlu pilkada” atau “pilkada hanya sekadar formalitas”, sebab prestasi atau kemampuan mereka yang sudah begitu moncreng sudah menjadi suatu jaminan? Adakah paslon-paslon yang betul-betul memiliki kapasitas yang mumpuni, sehingga jika terpilih nanti bisa misalnya seperti Anas-Yusuf yang mampu meningkatkan income per kapita rakyatnya dalam jumlah yang sangat signifikan? Jika ada, bukannya tidak perlu pilkada, melainkan pilkada itu hanya formalitas. Rakyat tak pusing, pejam peta langsung coblos, tinggal menunggu pelantikan saja. Wallahu ‘alam bisawab.

Saifuddin Bantasyam, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: saif.bantasyam@gmail.com
Sumber : Serambi Indonesia