kawasan hutan lindung berubah pungsi suara-tamiang.com, JAKARTA -- Pembangunan menempatkan hutan dalam posisi dilema. Hutan dieksploi...
kawasan hutan lindung berubah pungsi |
Beberapa tahun belakangan, data-data yang dipublikasikan sejumlah lembaga dan media massa menunjukkan dampak negatif pembangunan terhadap kelangsungan hutan di Indonesia.
Deforestasi atau penggundulan hutan terjadi di dalam kawasan hutan negara yang seharusnya dijaga, kalaupun dimanfaatkan harus secara selektif.
Kawasan hutan negara seperti hutan produksi terbatas, hutan lindung maupun kawasan konservasi, seharusnya tidak mengalami deforestasi sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 36 ayat (2) menyatakan, pemanfaatan hutan yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
Sementara itu, Pasal 38 ayat (4) undang-undang yang sama menegaskan larangan kegiatan penambangan dengan pola pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung.
Dalam praktiknya, regulasi kehutanan dijawab dengan fakta yang dipublikasikan Forest Watch Indonesia (2014).
Laju deforestasi yang terjadi di hutan produksi terbatas, hutan lindung dan kawasan konservasi mencapai 1,4 juta hektar dari total luas deforestasi 4,58 juta hektar.
Angka ini setara dengan 31 persen dari total kehilangan hutan yang terjadi di seluruh Indonesia dalam periode yang sama.
Deforestasi hutan, khususnya di area hutan lindung dan konservasi, bisa terjadi oleh berbagai faktor, di antaranya aktivitas pertambangan dan perkebunan yang melanggar ketentuan.
Data Dirjen Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Mei 2014) menunjukkan, ada 124 pemegang izin pertambangan di lima provinsi di Kalimantan yang masih beroperasi di kawasan konservasi.
Dalam data disebutkan, ada 62 pemegang izin di Kalimantan Timur yang berlokasi di kawasan konservasi.
Adapun pemegang izin di kawasan konservasi di Kalimantan Selatan dan Tengah masing-masing ada 30 pemegang izin dan 19 pemegang izin.
Di Kalimantan Barat terdapat 13 pemegang izin non-kehutanan yang menggunakan kawasan konservasi, dan 125 pemegang izin di kawasan lindung.
Hal serupa terjadi di Provinsi Jambi yang mencatat 15 izin tambang di wilayah hutan konservasi dan hutan lindung.
Sebanyak sembilan izin berlokasi di kawasan hutan konservasi dan enam izin lain di hutan lindung.
Manfaat hutan
Degradasi hutan membawa dampak lanjutan pada lingkungan. World Resources Institute yang mendata emisi karbon dioksida di dunia sejak tahun 1850 hingga 2011 mencatat, Indonesia menghasilkan 2,05 miliar ton emisi, menjadikan Indonesia sebagai negara nomor enam penghasil emisi terbesar dunia (Kompas, 15/10/2014).
Penurunan luas kawasan hutan juga berdampak pada konflik lingkungan, antara lain manusia dengan hewan.
Sepanjang tahun 2013 hingga November 2014, sedikitnya 46 ekor harimau Sumatera mati akibat konflik dengan manusia, menurut data Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jambi.
Selain itu, ada 11 kasus konflik harimau Sumatera dengan manusia yang selalu menelan korban jiwa.
Tercatat juga sejumlah konflik antara manusia dan gajah terkait aktivitas perkebunan dalam beberapa tahun belakangan.
Layakkah jika kegiatan pembangunan melalui pertambangan dan perkebunan disalahkan? Kenyataannya, aktivitas ekonomi di kawasan hutan memberi hasil signifikan kepada masyarakat.
Publikasi Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVIII Banda Aceh menunjukkan, Kabupaten Aceh Tamiang memiliki luas hutan lindung sekitar 47.456,02 hektar.
Perubahan fungsi hutan lindung di Aceh sekitar 42.000 hektar. Sementara itu, banyak areal hutan di Aceh Tamiang yang dimanfaatkan untuk perkebunan terutama di wilayah hilir. Hutan mangrove yang seharusnya dilindungi malah dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Meski demikian, produksi dan rupiah dari perkebunan sawit memang menggiurkan. Sebagai gambaran, seandainya 42.000 hektar hutan lindung di Kabupaten Aceh Tamiang berubah fungsi menjadi perkebunan sawit, paling tidak dalam setahun bisa diproduksi sawit segar 1,01 juta ton.
Besaran ini dihitung dengan asumsi 1 hektar lahan bisa menghasilkan rata-rata 24 ton sawit per tahun.
Dengan harga tandan sawit segar saat ini berkisar Rp 1.500 per kilogram, maka produksi sawit tersebut setara dengan nilai Rp 1,51 triliun atau sekitar 116,32 juta dollar AS dalam setahun.
Menegakkan regulasi
Gambaran di atas menjelaskan bahwa pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan bisa berdampak positif sekaligus negatif.
Satu hal yang patut dicermati adalah sebagian besar sisi negatif pengelolaan hutan terjadi akibat lemahnya penegakan regulasi. Inilah yang menjadi akar persoalan.
Salah satu contoh terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah. Mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng Tahun 1999, tercatat luas kawasan hutan 10,44 juta hektar atau atau 72,6 persen luas wilayah Kalteng. Tahun 2003, luas kawasan hutan dalam RTRWP itu direvisi hingga menjadi 67 persen luas wilayah Kalteng.
Namun, di tahun 2012 pemerintah pusat melalui surat edaran Kementerian Kehutanan menambah luasan kawasan hutan menjadi 12,72 hektar atau 82,5 persen luas Kalteng.
Perubahan luas hutan mempengaruhi aktivitas yang bersinggungan dengan kawasan hutan.
Salah satu kegiatan tersebut adalah pertambangan batubara. Pemberian izin yang menyangkut lahan pertambangan batubara pun mengalami tumpang tindih. Ada 120 izin tambang yang tumpang-tindih di Kalteng.
Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan kegiatan koordinasi dan supervisi terkait izin pertambangan mineral dan batubara, terungkap persoalan lain.
Ada 4.751 izin pertambangan belum memenuhi sertifikat clear and clean pertambangan termasuk di Kalteng. Sertifikat ini wajib dimiliki pemegang izin tambang sebagai bagian dari rencana pemerintah untuk membenahi wilayah pertambangan di Indonesia.
Kondisi di Kalimantan Tengah dengan problem penataan hutan dan pertambangan hanyalah satu contoh betapa penting ketegasan dalam menegakkan regulasi. Tanpa ketegasan, regulasi berperan sebagai pedang dengan dua mata. Sisi luar pedang regulasi menjaga hutan dari rakusnya pembangunan.
Sementara, di sisi dalam justru mendorong pembangunan yang giat menebas hutan dan akhirnya merugikan generasi mendatang. (Litbang Kompas)