HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

‘Sengkarut’ Konflik Tanah Di Tamiang ‘Bergeming’

Unjukrasa di PT Seumadam (Foto: Syawaluddin/STC) SYAWALUDDIN | Suara Tamiang journalistfoto07@gmail.com Konflik lahan perkebu...

Unjukrasa di PT Seumadam (Foto: Syawaluddin/STC)
SYAWALUDDIN | Suara Tamiang
journalistfoto07@gmail.com

Konflik lahan perkebunan antara masyarakat dengan pemerintah masih terus berkepanjangan di wilayah ujung timur Aceh ini (Aceh Tamiang), ibarat menguak simpul benang kusut di dalam tepung, mengurai tak berujung. PT Anugrah Sekumur, PT MPLI dan PT SKPI terus merajalela menguasai lahan dan pembersihan lahan—leanclearing—tanpa memiliki dokumen Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK).

Haruskah, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang (Atam) terus berdiam diri, pertanyaan tertumpu pada kinerja Bupati definitif Hamdan Sati – Iskandar Zulkarnain yang baru dilantik dua bulan lalu. Masih tanda Tanya besar, mampu atau tidak, Hamdan Cs mengurai sengkarut benang kusut kasus di Atam. Kita tunggu realisasinya?.

Kritik demi kritik bergulir, atam terus berselemak korupsi, ‘bayi’ berumur 10 tahun berjalan itu, seakan ter-dehidrasi cairan tubuh, lunglai tak mampu merangkak. Padahal sector perkebunan dan pabrikan terbesar di wilayah Aceh, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sector ini tergerus ke pundi-pundi korupsi para pejabat.

Sampai kapan Atam terdehidrasi?...agaknyanya cabinet Hamdan Sati cs harus bisa berupaya meningkatkan suplemen bagi penyelesaian konflik lahan dan pembangunan yang berkelanjutan di Atam. Tetapi masyarakat apatis terhadap cabinet ini, sebab belum memiliki formula dalam menggawangi Atam kearah lebih baik, percaya atau tidak, tapi fakta yang bicara…

Konflik PT AS, PT MPLI dan PT SKPI
Membuka  Lahan tanpa ijin seluas 850 hektar di kawasan desa Pematang Durian dan Desa Sekumur  Kecamatan Sekrak PT AS melakukan tindakan ilegal, sedangkan PT MPLI mengerjakan tanpa ijin land clearing lanjutan dari Gubernur di wilayah Blutan desa Kaloy dan  PT Sinar Kaloy Perkasa Indo membuka perluasan HGU 200 hektar di kawasan konservasi gunung titi akar di desa Wono Sari dan Harum Sari di Aceh Tamiang; mulai tersudut.

Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal MSH; minta kasus Kadishutbun Aceh Tamiang (Atam) diproses secara hukum (penyelidikan dan penyidikan), sebab telah mengangkangi wewenang dan melakukan salah kebijakan terhadap PT Anugrah Sekumur (PT AS), PT Mestika Prima Lestari Indah (PT MPLI) dan PT Sinar Kaloy Perkasa Indo (PT SKPI).

“Saya minta kepada pihak Polres untuk melakukan Penyelidikan dan penyidikan terhadap Kadishutbun Atam; Syahri SP, terkait laporan LembAHtari di bulan Juli 2010 dan Somasi terhadap Kadishutbun Atam. Kita minta ini segera diproses.” Tegas Sayed kepada wartawan di Posko Pengaduan LembAHtari Minggu lalu.

Sayed mengungkapkan, bukti-bukti lapangan sudah di paparkan LembAHtari dalam pertemuan tim di Aula Polres Aceh Tamiang pada tanggal 13 April 2011 lalu. Hadir dalam pertemuan tersebut perwakilan dari lahan Revitalisasi, Kelompok Tani Fajar Tamiang, Kelompok Tani Wonolestari dan Perangkat Desa Kaloy serta masyarakat tiga desa yang menjadi imbas pembukaan lahan tanpa ijin tersebut.

Anugrah Sekumur (AS)
LembAHtari mendesak agar Polres Aceh Tamiang segera menindaklanjuti pengaduan yang sudah lama tertunda. Mengingat hasil monitoring LembAHtari bersama warga masyarakat desa Pematang Durian dilapangan 19 Maret dan 14 April 2011 menemukan 4 unit Escavator dan 1 unit Bulldozer yang sedang bekerja membuka lahan perkebunan.

Sayed membeberkan; PT AS yang sama sekali belum memiliki Ijin Usaha Perkebunan Besar (IUP-B), Hak Guna Usaha (HGU) Ijin, Pembukaan Lahan, Ijin Penggunaan Alat Berat, bahkan Perusahaan melanggar komitmen UKL-UPL—Unit Pemantau Lingkungan dan Unit Pengelolaan Lingkungan—sesuai dengan qanun nomor 21/2002 tentang pengelolaan sumber daya alam.

Selanjutnya PT AS juga melanggar Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Fakta yang kami temukan dilapangan ternyata; PT AS telah mengerjakan lahan mencapai 450 hektar dari usulan HGU 850 hektar dengan membuat teresan , penanaman, penggunaan alat berat bahkan diduga membuat dan memasang patok BPN fiktif sampai ke desa.” Kata Sayed.

Menurutnya itu sudah merupakan penyimpangan hukum dan atauran serta pembohongan public dan telah menjurus kepada sanksi pidana. “ini akibat salah kebijakan yang dilakukan oleh Syahri, sebab membiarkan perusahaan terus bekerja, tanpa melihat aturan dan kaidah yang ada. Saya minta Syahri segera dip roses hokum.” Katanya.

Mestika Prima Lestri Indah (MPLI)
Disisi lain PT MPLI melakukan lean clearing meskin ijin leanclearing dari Gubernur Pemerintah Aceh Irwandi belum keluar. Hasil monitoring LembAHtari menemukan PT MPLI membelah bukit-bukit dengan membuka alur—diameter tinggi 4 meter dan lebar 3 meter—yang di tembuskan ke sungai.

Kondisi ini akan memperparah terjadinya potensi banjir bandang jika terjadi hujan deras dengan debit air lebih. Pihak perusahaan juga memindahkan patok yang dipasang oleh BPN—menggeser—dengan tujuan untuk melebarkan HGU mereka.

“Ini kejahatan lingkungan dan tidak bisa di tolerir, apalagi dokumen UKL-UPL perusahaan baru diurus; mereka sudah melakukan kegiatan dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah aspek lingkungan dan Undang-Undang serta aturan Pemerintah.” Tegas Sayed.

Disamping itu, tindakan penghentian dari Dishutbun Atam hanya selogan saja, buktinya hingga kini mereka—ke tiga perusahaan—terus bekerja. Sepertinya ada indikasi penyimpangan yang dilakukan Syahri terhadap perusahaan.

“Buktinya, untuk apa seorang kepala dinas mau mengurus dokumen dan administrasi perusahaan ke Pemerintah Aceh. Padahal sudah kita ketahui bersama kalau apa yang dilakukan perusahaan sudah menyalahi aturan. Ada apa?...” tanyanya.
****

Tanah Politeknik; Kontroversi vs Markup
Desa Sapta Jaya dan Tualang Baru, terletak di Kecamatan Manyak Payed; 15 kilometer arah barat kota Karang Baru, Ibukota Kabupaten Aceh Tamiang, tiba-tiba sontak, ramai menjadi bahan cibiran pejabat, pengamat tak tertinggal juga masyarakat.

Betapa tidak, seyogiyanya tanah 22,2 hektar milik Negara, dibeli oleh Negara dan dibayarkan kembali oleh Negara, lahan peruntukkan pembangunan Gedung Politeknik. Nilainya sangat fantastis, Rp.31,5 miliar yang dibayar Negara kepada salah satu keluarga pengusaha di Aceh Tamiang.

Anehnya, lahan perkebunan yang berstatus tanah negara di Desa Satpta Jaya dan  Tualang Baru, Kecamatan Manyak Payed, Aceh Tamiang, bisa menjadi milik pribadi keluarga pengusaha di Aceh Tamiang.

Tanah bersertifikat BPN tahun 2007. Luasnya sekitar 22,2 hektare (Ha); kini dijual kepada  Pemkab Aceh Tamiang dijadikan lahan pembangunan kampus Politeknik. Hasil investigasi Leusoh; tanah itu terletak tepat di samping Batalyon Infanteri (Yonif) 111/KB Tualang Cut, Aceh Tamiang. Didalam areal tanah itu, kurang lebih 2 hektar terdapat tanaman kelapa sawit yang telah berumur 15 – 25 tahun, seperti tak terurus dan tidak produktif lagi.

Kontradiktif dengan tanah yang dibeli Pemko Langsa; peruntukkan Universitas Samudera Langsa  di desa Cot Kala, kurang lebih seluas 50 hektar, hanya seharga Rp.5 miliar yang diplot dari dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Aceh (APBA). Penasaran?....