SYAWALUDDIN | Suara Tamiang jur_nalis@yahoo.com Hujan yang berkepanjangan diwilayah hulu sungai Aceh Tamiang, menyebabkan banjir b...
Hujan yang berkepanjangan diwilayah hulu sungai Aceh Tamiang, menyebabkan
banjir bandang kiriman, memporakporandakan delapan desa di dua Kecamatan;
Tamiang Hulu dan Tenggulun. Sebelas desa diantaranya, Trenggulun, Sumber Mulya,
Purwodadi satu, dua, Adil Makmur satu, dua dan Tani Jaya—Kecamatan
Tenggulun—sedang Kecamatan Tamiang Hulu; Harum Sari, Jambor Rambong, Serba dan
Wonosari.
Banjir kiriman dari wilkayah hulu Sungai Tamiang tersebut
adalah akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di daerah yang
ber elevasi (kemiringan) 30 – 45 derjat, baik di gunung Titi Akar dan
pengunungan bukit tiga kilo di wilayah tenggulu.
Hingga tadi malam, ketinggian air banjir kiriman mencapai 2
meter. Tidak ada korban jiwa, namun banjir telah memporak porandakan pertanian
serta harta benda masyarakat di sebelas desa. "Saya kira, banjir
diakibatkan degradasi dan deporestasi hutan, dari alih fungsi menjadi perkebunan
sawit". Kata sayed zainal direktur Eksekutif LembAHtari kepada suara
tamiang.
Dikatakan, ini akibat salah kebijakan, yang dilaakukan oleh
pemerintahan aceh tamiang masa lalu. Dimana Pemkab Aceh Tamiang mengeluarkan
rekomendasi pembukaan perkebunan sawit tanpa memandang aspek lingkungan. Sayed
mengkawatirkan; pada tahun 2017 Aceh
Tamiang akan mngalami banjir bandang yg bisa melebihi tahun 2006 lalu, dimana
pengelolaan lingkungan yang sewenang wenang dan tidak berkelanjutan.
"Saya kira, orang yg paling bertanggungjawab adalah
dinas kehutanan dan perkebunan sebagai leading sector nya pemkab Aceh
Tamiang". Kata Sayed. Selain itu Sunarno, warga Desa Wonosari menyayangkan
pemberian ijin lahan perkebunan terhadap PT Sinar Kaloy Perkasa Indo (SKPI),
sebagai biangkerok penyebab banjir.
Tiga hari lalu, tiga desa, Harum Sari, Wonosari, Jambo
Rambong dan Serba juga mendapat banjir kiriman dari gunung Titi Akar, akibat
penggunduilan hutan diwilayah gunung tersebut. Sampai malam ini sebelas desa
tersebut masih digenangi air bah. Berdasarkan data LembAHtari rata-rata hujan
mencapai 200-300 milimeter perdetik.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada statemen pemkab Aceh Tamiang
untuk menanggulangi efek banjir yang dirasakan penduduk. Seperti sektor
kesehatan, kerusakan infrastruktur, kerugian materia yang dialami penduduk.
Akankah, tamiang tenggelam?...jika ini dibiarkan terus menerus secara membabi
buta diekploitasi kandungan hutan yang tinggal sejumput itu?...hanya mereka
punya nurani tahu jawabannya. (***)