Bentrokan antar organisasi kemasyarakatan (ormas) terus terjadi. Tidak hanya di Jakarta, kasus serupa sering terjadi di beberapa daerah la...
Bentrokan antar organisasi kemasyarakatan (ormas) terus terjadi. Tidak hanya di Jakarta, kasus serupa sering terjadi di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Terakhir, Anggota Forum Betawi Rempug (FBR) melakukan pengerusakan terhadap posko Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) di Jakarta Barat, Rabu (18/7).
Peristiwa itu sendiri dipicu pengerusakan sebuah gardu milik Forkabi dan dua buah warung oleh FBR. Betrokkan itu diduga merupakan aksi balasan yang terjadi. Polisi sudah mengamankan 15 orang selama bentrok berlangsung.
Bentrok kedua ormas itu menambah daftar panjang rangkaian peristiwa serupa yang sudah terjadi sebelumnya. Aksi-aksi anarkis itu membuat masyarakat merasa resah, tak hanya itu, sebagian meminta agar ormas-ormas yang terlibat untuk ditindak atau dibubarkan.
Anggota komisi II DPR Abdul Malik Haramain mengatakan, untuk menindak berbagai ormas anarkis dibutuhkan ketegasan dan keberanian pemerintah. Tindakan dapat dilakukan tanpa menggunakan disahkannya undang-undang tentang ormas.
"Tanpa undang-undang ormas, pemerintah bisa memakai undang-undang lama, yakni No 8 Tahun 1985 pemerintah sudah bisa lakukan tindakan administratif. Memang kita sedang perbaiki payung hukum. Tapi jika tindakan anarkis dan intensitas semakin tinggi, memakai undang-undang lama sudah bisa," ujar dia kepada merdeka.com, Kamis (19/7).
Meski demikian, langkah pembubaran diterapkan menjadi pilihan terakhir terhadap ormas anarkis. "Pembubaran itu langkah terakhir kalau ormas tidak bisa lagi diingatkan, peringatan, teguran," tandasnya.
Sebelum pembubaran, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dapat mengirimkan surat teguran sebanyak dua kali. Jika tidak mendapat respons, maka ormas tersebut dapat dibekukan.
"Sekali lagi menyangkut hak-hak dasar orang berkumpul dan berekpresi. Langkah pembubaran bisa dilakukan lewat mekanisme pengadilan dan itupun belum pernah dilakukan," lanjut dia.
Pembubaran terhadap ormas-ormas anarkis harus dilakukan dengan melepaskan pertimbangan politik. Terlebih, jika aksi kelompok organisasi massa ini telah melakukan pelanggaran hukum, mengganggu keamanan atau mengancam kebebasan orang lain. "Harus ada ketegasan, jangan sampai negara kalah," ucapnya.
Harmain menjelaskan, RUU Ormas yang masih dalam pembahasan akan menerapkan dua macam sanksi, yakni sanksi administratif dan sanksi hukum. Sanksi administrasi dilakukan dengan memberikan peringatan dan membekukan aktivitas organisasi. Sedangkan sanksi hukum melalui proses peradilan untuk membubarkan ormas yang dianggap anarkis.
"Saat masuk pengadilan, 30 hari langsung putus, mekanisme seperti di Kemdagri. Jadi, pengadilan cukup memutuskan," katanya. | Yulistyo Pratomo, Merdeka.com
Peristiwa itu sendiri dipicu pengerusakan sebuah gardu milik Forkabi dan dua buah warung oleh FBR. Betrokkan itu diduga merupakan aksi balasan yang terjadi. Polisi sudah mengamankan 15 orang selama bentrok berlangsung.
Bentrok kedua ormas itu menambah daftar panjang rangkaian peristiwa serupa yang sudah terjadi sebelumnya. Aksi-aksi anarkis itu membuat masyarakat merasa resah, tak hanya itu, sebagian meminta agar ormas-ormas yang terlibat untuk ditindak atau dibubarkan.
Anggota komisi II DPR Abdul Malik Haramain mengatakan, untuk menindak berbagai ormas anarkis dibutuhkan ketegasan dan keberanian pemerintah. Tindakan dapat dilakukan tanpa menggunakan disahkannya undang-undang tentang ormas.
"Tanpa undang-undang ormas, pemerintah bisa memakai undang-undang lama, yakni No 8 Tahun 1985 pemerintah sudah bisa lakukan tindakan administratif. Memang kita sedang perbaiki payung hukum. Tapi jika tindakan anarkis dan intensitas semakin tinggi, memakai undang-undang lama sudah bisa," ujar dia kepada merdeka.com, Kamis (19/7).
Meski demikian, langkah pembubaran diterapkan menjadi pilihan terakhir terhadap ormas anarkis. "Pembubaran itu langkah terakhir kalau ormas tidak bisa lagi diingatkan, peringatan, teguran," tandasnya.
Sebelum pembubaran, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dapat mengirimkan surat teguran sebanyak dua kali. Jika tidak mendapat respons, maka ormas tersebut dapat dibekukan.
"Sekali lagi menyangkut hak-hak dasar orang berkumpul dan berekpresi. Langkah pembubaran bisa dilakukan lewat mekanisme pengadilan dan itupun belum pernah dilakukan," lanjut dia.
Pembubaran terhadap ormas-ormas anarkis harus dilakukan dengan melepaskan pertimbangan politik. Terlebih, jika aksi kelompok organisasi massa ini telah melakukan pelanggaran hukum, mengganggu keamanan atau mengancam kebebasan orang lain. "Harus ada ketegasan, jangan sampai negara kalah," ucapnya.
Harmain menjelaskan, RUU Ormas yang masih dalam pembahasan akan menerapkan dua macam sanksi, yakni sanksi administratif dan sanksi hukum. Sanksi administrasi dilakukan dengan memberikan peringatan dan membekukan aktivitas organisasi. Sedangkan sanksi hukum melalui proses peradilan untuk membubarkan ormas yang dianggap anarkis.
"Saat masuk pengadilan, 30 hari langsung putus, mekanisme seperti di Kemdagri. Jadi, pengadilan cukup memutuskan," katanya. | Yulistyo Pratomo, Merdeka.com