HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Tangan di Bawah

Ilustrasi Google Johansyah | OPINI   NABI Muhammad SAW pernah bersabda bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Hadis ini m...

Ilustrasi Google
Johansyah | OPINI
 
NABI Muhammad SAW pernah bersabda bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Hadis ini memberikan perbandingan jelas mana yang lebih baik antara orang yang suka memberi dengan orang yang suka menerima atau peminta-minta. Tangan di atas melambangkan orang yang gemar memberi, bersedekah maupun darmawan. Sementara tangan di bawah melambangkan orang yang suka meminta, menerima pemberian dari orang lain.

Ada yang aneh menurut penulis, jika Nabi SAW menggambarkan tangan di bawah sebagai personifikasi orang miskin dan malas berusaha yang suka meminta-minta. Sekarang ini justru tangan di bawah itu diperankan oleh para pejabat pemerintahan yang digolongkan sebagai orang berada dan kaya. Hanya saja cara mereka berbeda dengan cara orang peminta-minta di jalanan atau orang yang membawa surat keterangan miskin. Para pejabat meminta dengan cara mengambil langsung hak-hak orang lain melalui cara yang profesional sehingga tidak terkesan meminta dan mengambil hak orang lain. Inilah yang menurut hemat penulis sama maknanya dengan tangan di bawah yang digambarkan Nabi Saw.

Begitulah gelora zaman yang semakin aneh ini, orang yang berada seharusnya menjadi tangan di atas ternyata tidak pernah merasa kenyang dan puas dengan apa yang mereka miliki. Mereka terus-menerus mengejar materi, semakin banyak yang mereka peroleh maka semakin lapar dan buas saja. Tidak ada titik jenuh dari penimbunan harta yang dilakukan orang seperti ini selain kematian. Hanya itulah jalan satu-satunya membuat seseorang sadar bahwa hidup ternyata bukan untuk mengenyangkan isi perut, menikmati kemewahan dunia yang lainnya, melainkan ternyata hanyalah nampak tilas sekejap sebelum seseorang berpindah alam.

Kasus demi kasus korupsi di negeri ini merupakan bukti bahwa orang yang berada seharusnya menjadi para pemberi ternyata mengambil peran orang yang malas dan miskin menjadi orang yang suka meminta bahkan mengambil dan merampas hak orang lain. Kita bisa bayangkan seandainya uang tidak dikorupsikan dan digunakan sebagaimana mestinya, maka sebenarnya kondisi kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia tidak akan seperti saat ini.

Pertanyaan yang dibangun oleh kebanyakan orang juga tidak lagi “apa yang dapat saya berikan” melainkan “apa yang dapat saya peroleh dari pekerjaan ini dan berapa persenkah”. Ini semua merupakan gambaran dari tipe orang-orang tangan di bawah yang pola pikirnya hanya menerima bukan memberi.

Melihat kesemerawutan negara ini, tidak salah jika dikatakan bahwa pola pikir menerima inilah yang menjadi salah satu penyebabnya. Orang yang memiliki kekayaan miliaran akan terus memproteksi kekayaannya untuk tidak berkurang sedikit pun, sebaliknya yang dipikirkan bagaimana agar kekayaan tersebut bertambah dan berlipat ganda agar dapat diwariskan kepada generasi tujuh turunan.

Mirisnya, dana-dana bantuan yang dimaksudkan untuk orang miskin dan jumlahnya sangat kecil, itu pun masih disunat oleh para aparat pemerintahan mulai dari pusat sampai daerah. Bukannya menambah jumlah bantuan, yang mereka pikirkan melainkan berapa yang dapat diperoleh dari bantuan tersebut dengan alasan sudah sibuk mengurusinya, waktu terkuras atau alasan-alasan lain yang kira-kira dianggap logis dan masuk akal.

Kita kadang berkhayal, saat-saat seperti ini berapa orang pejabat dan orang kaya yang perpikir dan mau membagikan hasil kekayaannya untuk mereka-mereka yang membutuhkan?; melalui sedekah, zakat atau cara-cara lainnya, ataukah mereka tidak pernah memikirkan hal itu sama sekali, bahkan tidak memberikan hak orang lain dengan tidak membayar zakat atau pajak.

Di Jerman, para orang kaya, pengusahalah yang mencari orang-orang yang sedang menempuh pendidikan dan mereka menawarkan biaya besar-besaran untuk mendukung pendidikan seseorang. Sementara di negeri ini kebanyakan orang kaya dan penguasa nyaris tidak berpikir ke arah itu, bahkan orang-orang yang butuh ketika mengajukan proposal bantuan tidak dihiraukan sama sekali atau hanya dibantu sekadarnya saja, atau bahkan dihina.

Penguatan Tauhid
Tauhid merupakan landasan utama dalam membangun kepribadian dan karakter umat. Tauhid yang dipahami bukan dalam ranah yang sempit di mana hanya terwujud dalam bacaan secara lisan lailaha illa Allah, melainkan bagaimana konsep tauhid tersebut mampu diwujudkan dalam pola hubungan sosial-horizontal. Seseorang baru diakui betul-betul mengamalkan tauhid ketika  mampu mewujudkan pesan-pesan Allah Swt dalam amal kehidupan sehari-hari. Ketika dia mengaku bahwa sesungguhnya shalat, hidup dan matinya hanya untuk Allah swt maka harus dibuktikan dalam bentuk amal dan aksi nyata. Ketika seseorang mengambil hak orang lain untuk menjadi miliknya maka ketika itu pula ia telah mengingkari pengakuannya sendiri karena sudah melanggar pesan-pesan titah-Nya dalam kitab suci.

Demikian halnya untuk menjadikan muslim sebagai pribadi yang berpola pikir pemberi, di mana mereka harus kuat secara akidah, menyadari bahwa makna satu dan kesatuan itu diukur oleh kebersamaan secara imanen bukan satu yang diukur secara individual personal. Makna satu dalam konteks horizontal ketika seseorang memahami perasaan, dan permasalah yang dihadapi orang lain. Makna kesatuan dalam ranah sosial merupakan senasib dan sepenanggungan. Perbedaan lebih disebabkan oleh motivasi dan spirit individual yang bervariasi untuk bersaing secara positif berlandaskan spirit fastabiq al khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan).

Harus diyakini, bahwa manusia Indonesia tidak akan pernah menemukan solusi cerdas manakala mereka menapikan pesan-pesan kitab suci Alquran yang salah satunya adalah tauhid. Seberapa banyak pun solusi cerdas dan kritis yang ditawarkan para pakar akan non sense jika tidak dilandasi oleh landasan tauhid sosial aplikatif.

Indikator bahwa pola pikir manusia Indonesia ini telah berubah ketika kita banyak melihat bahwa semakin banyak manusia Indonesia yang lebih senang menjadi sosok pemberi dan bukan sosok penerima, lebih nyata lagi ketika sudah kelihatan pemerataan ekonomi di setiap wilayah atau kesenjangan sosial semakin kecil. Artinya bahwa penempatan hak mulai terorganisir dengan baik dan secara umum orang berlomba-lomba menjadi pemberi bukan penerima.

* Penulis adalah mahasiswa PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.